Banyak yang mencibir atas terpilihnya Setya Novanto sebagai
Ketua Umum Partai Golkar dalam Munaslub yang digelar beberapa waktu lalu. Tidak
sedikit yang menyimpulkan bahwa kemenangan Setya Novanto tidak terlepas dari
campur tangan Istana. Bahkan banyak yang menuduh bahwa Presiden Joko Widodo
sengaja menyandera Partai Golkar dengan mendukung kandidat yang terjerat kasus
hukum. Selain itu ada juga yang menghembuskan isu politik uang sebagai salah
satu faktor penentu kemenangan Setya Novanto.
Sayang tidak ada yang melihat bagaimana proses demokratisasi
yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar berjalan dengan sangat kompetitif dan
bisa dibilang yang paling demokratis diantara perhelatan serupa dalam
parpol-parpol lainnya. Dilihat dari jumlah kandidat yang tampil jelas parpol
lain jauh tertinggal dibanding Partai Golkar karena hampir semua parpol lainnya
saat ini sengaja ramai-ramai mengusung politik aklamasi, sebut saja PDIP,
Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, Partai Hanura, dan PPP.
Sementara dalam Munaslub Partai Golkar kandidat yang tampil
sebanyak 8 orang yang kesemuanya memiliki kualifikasi dan kompetensi yang tidak
jauh berbeda antar satu kandidat dengan kandidat lainnya. Iklim kompetisi sudah
sangat terasa jauh hari sebelum perhelatan Munaslub dan puncaknya adalah voting
demokratis yang akhirnya memunculkan Setya Novanto sebagai pemenang.
Pertarungan demokratis inilah yang tidak bisa disaksikan dalam pemilihan pucuk
pimpinan parpol lainnya, hanya PAN saja yang bisa mengikuti Partai Golkar dalam
menghadirkan iklim kompetisi meskipun hanya menghadirkan dua kandidat.
Atas terpilihnya Setya Novanto maka patut diselidiki kenapa
kader Partai Beringin lebih memilih Setya Novanto padahal yang bersangkutan
terjerat kasus ‘Papa Minta Saham’. Ternyata kader Partai Golkar memiliki
rasionalisasi tersendiri dalam menentukan pemimpinnya. Partai Golkar adalah
partai besar dan partai yang paling dinamis sehingga harus dipimpin oleh figur
yang benar-benar sudah teruji dalam melalui berbagai badai polemik.
Dalam perjalanannya, memang nama Setya Novanto sudah
beberapa kali dikaitkan dengan berbagai kasus mulai kasus cessie Bank Bali
(1999) hingga yang teranyar kasus ‘Papa Minta Saham’. Aneh bin ajaib, Setya
Novanto selalu berhasil lolos dari lubang jarum dan selalu menemukan solusi
atas berbagai kasus tersebut. Maka tak berlebihan jika kemudian menyandingkan
Setya Novanto sejajar dengan Akbar Tandjung, mantan Ketua Umum Partai Golkar
yang sudah lebih dahulu dikenal licin bak belut dan yang berhasil membawa Partai
Golkar keluar dari krisis politik di awal-awal era reformasi dan akhirnya
membawa Partai Golkar menjadi terunggul di Pemilu 2004 dengan memperoleh 120
kursi atau 22,44% penguasaan di parlemen.
Para kader Partai Golkar pasti memiliki cita-cita agar
Partai Golkar kembali menduduki peringkat teratas dalam perhelatan Pemilu. Maka
tidak ada jalan lain kecuali harus memiliki pemimpin yang ulet dan licin bak
belut. Dan harapan tersebut ada dalam diri Setya Novanto yang diharapkan mampu
mengatasi krisis merosotnya perolehan kursi dari Pemilu ke Pemilu. Fenomena
Akbar Tandjung pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, ingin kembali diulang pada
Pemilu 2019 yang kali ini di bawah kepemimpinan Setya Novanto.
Mengenai Setya Novanto yang pernah heboh dengan kasus ‘papa
minta saham’, ternyata jika diamati secara seksama hampir semua elit politik
Indonesia pernah terkait kasus hukum. Misalnya, Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri pernah dikaitkan dengan kasus SKL BLBI, Ketua Umum PKB Muhaimin
Iskandar pernah dikaitkan dengan kasus suap kardus durian, Ketua Umum Partai
Nasdem Surya Paloh pernah dikaitkan dengan kasus suap Bansos Sumatera Utara,
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo dan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto juga
pernah dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM tahun 1998, dan bahkan Presiden
Joko Widodo pun namanya pernah dikait-kaitkan dengan kasus impor bus
Transjakarta dari China semasa masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Berbagai kasus yang pernah melingkupi para elit tersebut ternyata tidak
menghalangi kepemimpinannya dalam partai politik.
Partai Golkar saat ini telah memiliki pemimpin baru dan siap
bertarung dalam setiap kompetisi politik baik itu Pilkada 2017, Pilkada 2018
dan Pemilu 2019. Selain ketua umum baru, dalam struktur kepengurusan terpampang
nama Idrus Marham sebagai Sekretaris Jenderal, juga dikenal sebagai seorang
politisi yang sarat dengan pengalaman. Diyakini duet Setya Novanto dan Idrus
Marham akan membawa Partai Golkar mampu meraih kemenangan demi kemenangan dalam
setiap rivalitas demokratis. Partai Golkar di bawah kepemimpinan yang baru siap
menebar ancaman bagi parpol-parpol lainnya. Tidak menutup kemungkinan sukses
Partai Golkar di Pemilu 2004 akan kembali terulang dalam Pemilu 2019.
Jakarta, 20 Mei 2016
SYA’RONI
Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat
Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika)