IST |
JAKARTA - Gejolak
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur, pada 1948,
sejak awal sebenarnya sudah terindikasi secara nyata. Pemerintah Kabupaten
Madiun kala itu, berusaha meredam upaya pemberontakan dengan mengumpulkan tokoh
masyarakat, kiai, dan kader PKI di Pendopo Madiun.
Namun, upaya menciptakan
kedamaian di Madiun justru menjadi titik awal perang saudara, yang melibatkan
PKI dan masyarakat. Para tokoh masyarakat, kiai, dan pejabat yang mendatangi
agenda perdamaian itu, tak sampai menginjakkan kaki di pendopo.
"Mereka keburu
diculik dan diangkut menggunakan berbagai kendaraan oleh PKI. Mereka dibawa ke
berbagai tujuan secara berpencar, dan hingga kini tidak pernah diketahui
keberadaannya," kata Kiai Haji Khoirun (93 tahun) saat ditemui di
rumahnya, Desan Doho, Rt 17 Rw 03, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun, Jawa
Timur, Selasa (17/5) siang.
Ayah kandung Khoirun
adalah satu dari korban pembunuhan massal yang dilakukan PKI pada 1948. PKI
dengan cara licik menjebak dan mengelabui para tokoh masyarakat, kiai, dan
pejabat untuk dieksekusi secara kejam.
Seusai peristiwa itu,
Khoirun bertutur, dalam kurun waktu tiga bulan, Madiun seperti kota mati.
Banyak mayat tak diketahui identitasnya berserakan di pinggir-pinggir jalan.
PKI semakin berani menebarkan teror dengan memasang pamflet target pembunuhan
di tiap-tiap gardu atau pos keamanan. Nama Khoirun tertera sebagai salah satu
target pembunuhan.
Ulama Digambarkan Sebagai
Tikus yang Harus Dibasmi
Propaganda PKI untuk menghancurkan
umat Islam terus dilakukan dengan cara menciptakan kampanye antikiai. Ulama
digambarkan sebagai tikus yang harus dibasmi. Secara nyata, ilustrasi itu
tertulis dalam pamflet yang dipasang di berbagai titik keramaian.
Melihat kondisi bangsa
yang terancam dominasi komunisme, naluri Khoirun muda yang saat itu menjadi
santri di Pondok Pesantren Tegal Sari Ponorogo, bergolak. Terlebih, saat dia
mengetahui ada 16 orang santri di Pondok Mermo yang dibantai oleh PKI. Tak hanya
di Madiun, Khoirun juga melanglang buana ke berbagai tempat di wilayah Jawa
Timur. Tujuannya cuma satu: mencari dan membunuh anggota PKI.
Pengalaman terburuk dia
alami saat berperang di wilayah Banyuwangi. Khoirun mendapati kenyataan
mengerikan, 43 warga Nahdatul Ulama (NU) diracun, dibantai, dan dimutilasi
secara bersamaan. Upaya Khoirun mencari dan mengejar PKI pembunuh rekan
rekannya harus dibayar mahal.
Dalam perjalanan mengejar
para pembunuh, ia dan sembilan rekannya terjerat dalam jebakan yang dipasang
anggota PKI. Tak ada pilihan lain, kecuali melawan dan terlibat aksi saling
bunuh dengan anggota PKI. Namun, karena kalah jumlah orang, perlawanan Khoirun
dan rekan-rekannya terhenti.
Mereka yang ditawan,
disiksa dan di bakar dalam tungku berbahan kulit gabah yang terus-menerus
menyala. Seusai dibakar, tubuh 10 pejuang anti-PKI ini diseret ke suatu tempat
yang jauh, dengan siksaan tiada henti dari anggota PKI yang kebetulan melintas
di jalan.
Dalam kondisi sangat
lemah, seluruh kulit tubuh terkelupas, Khoirun dan rekan-rekannya dimasukkan ke
dalam lubang yang telah disiapkan oleh PKI. Tubuh-tubuh tak berdaya itu
dilemparkan ke lubang sedalam 12 meter.
Perjuangan Antara Hidup
dan Mati
Berdasarkan cerita
Khoirun, lubang gelap itu bagaikan neraka. Dia sudah tidak merasa memiliki
harapan untuk hidup. Dengan sisa sisa kesadaran, ia menyaksikan gerombolan PKI
menembaki mereka dari atas. Tak cukup memamerkan kebengisannya, gerombolan PKI
ini juga melemparkan bebatuan berukuran besar ke dalam lubang berisi tubuhtubuh
sekarat.
Antara hidup dan mati,
Khoirun merasa seperti sedang berjalan di sebuah jalan besar. Tiba-tiba, kilatan
petir menyambar tubuhnya, hingga membuat kesadarannya pulih. Khoirun tersadar.
Tak percaya dengan peristiwa yang menimpanya.
Tubuhnya yang penuh dengan
luka bakar, tersandar lemah di sebuah pohon pisang, yang tertanam di atas
lubang tempat ia dan sembilan rekannya dikubur hidup-hidup. Dalam keadaan
telanjang dan kondisi tubuh yang sangat lemah, Khoirun merangkak sejengkal demi
sejengkal untuk mencari pertolongan. Ketika malam tiba, tepian sungai, menjadi
jalur yang ia lewati untuk menyelamatkan diri.
Saat matahari terbit
hingga petang, ia memilih diam agar tak diketahui orang lain yang tidak
dikenal. Hingga akhirnya, Khoirun mendapat pertolongan dari seseorang yang
mengantarkannya ke rumah sakit setempat untuk menerima perawatan.
Bagi Khoirun, kebiadaban
PKI seolah sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Ia mengaku pernah membunuh
sembilan orang wanita PKI yang berusaha membunuh seorang kiai dengan cara
menaburkan racun ke dalam sumur milik sang kiai. Strategi penyamaran para
wanita PKI ini adalah mendatangi rumah kiai dalam keadaan hamil.
Mereka mengaku sebagai
muslimat NU, dan meminta kesempatan untuk tinggal di rumah kiai. Kerelaan sang
kiai membuat mereka leluasa tinggal di rumah sang kiai. Suatu ketika, air di
dalam sumur rumah kiai tersebut diketahui mengeluarkan buih. Berdasarkan
peristiwa sebelumnya yang menewaskan sejumlah kiai, Khoirun langsung membunuh
para wanita kejam tersebut.
Jenazah Muso Dibawa ke
Alun-Alun Ponorogo
Berulang-ulang tertangkap
gerombolan PKI, tidak membuat Khoirun muda menyerah. Sebutir peluru tajam
anggota PKI pernah ditembakkan ke wajahnya dengan posisi moncong senjata di
rahangnya, tetapi peluru itu hanya mampu menggores alis matanya. Kekejaman PKI
terhadap umat Islam sepertinya sudah merasuki darah mereka. Khoirun
menceritakan, seorang gadis muslimat NU harus rela menjadi korban kebengisan,
saat secara tiba-tiba anggota PKI memotong (maaf) payudaranya.
Khoirun muda turut menjadi
saksi terbunuhnya Muso pada 1948. Muso
tertembak oleh pasukan TNI setelah
melalui pengejaran dari wilayah Trenggalek. Setelah terbunuh, warga beramai-ramai
atau diarak membawa jenazah Muso ke Alun-Alun Ponorogo.[Republika]