IST |
JAKARTA - Sejarah mencatat bahwa Mei 1998 menghadirkan
rangkaian cerita panjang yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto.
Setelah
berbagai peristiwa panjang, baik itu aksi demonstrasi yang menuntut Soeharto
mundur hingga kerusuhan disertai kekerasan yang berbasis prasangka rasial,
Soeharto pun mengakhiri masa kekuasaannya pada 21 Mei 1998.
Bapak
Pembangunan Indonesia lengser keprabon.
Angin
politik memang tidak berhembus sejuk ke Jalan Cendana, tempat keluarga Soeharto
tinggal di Jakarta, sepanjang Mei 1998.
Padahal,
gugatan terhadap kekuasaan Soeharto sebenarnya sudah terjadi sejak periode
1980-an. Pada pemilu 1982 misalnya, gugatan terhadap hasil pemilu yang
memenangkan Golongan Karya sebagai mesin politik Soeharto mulai terdengar.
Dilansir
dari arsip Harian Kompas yang terbit pada 2 Januari 1982, Presiden Soeharto
bahkan sudah membantah anggapan kecurangan pemilu, meskipun pemilu baru
berlangsung pada 4 Mei 1982.
Saa
itu bahkan Soeharto menjanjikan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Periode
1980-an juga diwarnai sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, yang menjadi
catatan hitam kekuasaan Orde Baru.
Pelanggaran
HAM berat itu di antaranya penembakan misterius alias petrus, Peristiwa Tanjung
Priok 12 September 1984, penggusuran paksa untuk waduk Kedung Ombo, juga
Peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989.
Tidak
hanya pelanggaran HAM, kekuasaan Orde Baru juga disertai dengan catatan pelanggaran
terhadap hak demokrasi.
Jurnalisme
dibelenggu dengan penerbitan surat izin usaha penerbitan pers. Kritik terhadap
pemerintah, dipastikan menjadi jalan untuk dicabutnya SIUPP, yang berarti
perusahaan pers dipaksa berhenti beroperasi.
Belenggu
yang dihadirkan rezim Orde Baru malah menumbuhkan aktivis demokrasi. Sejumlah
gerakan perlawanan muncul, yang kemudian segera dibungkam pemerintah dengan
cepat. Salah satu tonggaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996.
Setelah
peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedi Kudatuli itu, dinamika politik
semakin panas, apalagi menjelang Pemilu 1997.
Periode
ini juga ditandai dengan penculikan sejumlah aktivis demokrasi. Beberapa
aktivis bahkan masih hilang hingga sekarang.
Namun,
angin kencang yang dapat menggoyang kekuasaan Orde Baru terjadi pada
pertengahan 1997, akibat krisis ekonomi.
Dikutip
dari buku Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi
(2006) yang ditulis presiden ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie, krisis moneter
itu "berkembang menjadi krisis multidimensional berkepanjangan di berbagai
bidang".
Krisis
menyebabkan Presiden Soeharto meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk
ikut membantu. Namun, IMF tidak dapat membantu. Krisis berlanjut, yang
menyebabkan 16 bank harus ditutup.
Buku
yang ditulis Habibie itu mencatat, pada akhir Januari 1998, nilai rupiah
terpuruk di angka Rp 11.050. Krisis bahan pokok juga terjadi. Pengangguran pun
makin meningkat, dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998.
Krisis
itu juga yang menyebabkan rakyat menuntut perubahan kepemimpinan. Wacana
reformasi pun bergulir, bermula dari diskusi dan aksi di dalam kampus, hingga
akhirnya demonstrasi terbuka yang dilakukan mahasiswa di jalan raya.
Demonstrasi
mahasiswa semakin membesar, terutama setelah terjadi penembakan terhadap
mahasiswa yang melakukan demonstrasi di depan Universitas Trisakti. Penembakan
yang terjadi pada 12 Mei 1998 itu menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
kerusuhan
yang terjadi di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia pada 13 dan 14 Mei
1998. Harian Kompas pada 18 Mei 1998 memberitakan bahwa kerusuhan yang terjadi
di Jakarta saja menyebabkan kerugian fisik hingga Rp 2,5 triliun.
Buntut
penembakan Trisakti adalah semakin beraninya mahasiswa melakukan aksi
demonstrasi. Hingga pada 18 Mei 1998, mahasiswa mulai masuk ke pelataran
halaman DPR dan menduduki kompleks parlemen tersebut.
Mahasiswa
se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998,
menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa
melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat
ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak
mereka.
Pendudukan
gedung DPR/MPR oleh mahasiswa menyebabkan tuntutan mundur tidak hanya
disampaikan arus bawah. Pada 18 Mei 1998, pimpinan DPR yang diketuai Harmoko
pun meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya.
Internal
pemerintahan pun goyah, terutama setelah Menteri Pariwisawata, Seni, dan Budaya
Abdul Latief memilih mundur pada 17 Mei 1998. Menurut sumber Kompas, Abdul
Latief mundur karena persoalan keluarga.
Presiden
Soeharto sebenarnya juga menyiapkan sejumlah langkah agar transisi kekuasaan
berjalan mulus. Salah satunya, rencana pembentukan Kabinet Reformasi. Namun,
rencana itu bahkan tidak didukung sejumlah menteri di kabinet.
Kompas
memberitakan, 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin),
menyatakan tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi.
Pernyataan dalam Deklarasi Bappenas itu membuat Soeharto merasa terpukul.
Hingga
pada 21 Mei 1998, pada pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan sebuah keputusan
bersejarah.
Dari
credentials room di Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur dan menyerahkan
kekuasaan kepada BJ Habibie yang saat itu menjabat wakil presiden.
Orde
Baru yang dibangun Soeharto pun berakhir. [Kompas]