IST |
JAKARTA - Peristiwa 1965 menjadi catatan kelam sejarah bangsa
ini. Peristiwa berawal dari pembunuhan ke tujuh jendral itu kemudian berujung
dengan pembantaian ratusan orang-orang dicap sebagai komunis. Setengah abad
peristiwa itu telah berlalu, harapan akan adanya penyelesaian terus bergulir.
Banyak kalangan mendesak agar ada pelurusan sejarah di tahun 1965 hingga 1968.
Harapan pun muncul agar pemerintah mengeluarkan sikap tegas.
Simposium
Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4)
lalu dinilai menjadi niat awal yang baik pemerintah dalam mengungkapkan fakta
sejarah. Meski belum menghasilkan sikap final, Direktur Para Syndicate Beny
Sulistyo mengatakan proses ini harus dihargai sebagai jalan meluruskan sejarah
bangsa ini.
Romo
Beny menekankan agar Pemerintah melalui Presiden, harus meminta maaf dan
mengakui bahwa bangsa ini pernah melakukan dan membiarkan pembunuhan masal.
Menurut dia, bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar jika mampu berdamai
dengan masa lalunya.
Berikut
petikan wawancara Romo Beny kepada Marselinus Gual dari merdeka.com mengenai
peristiwa 1965.
Menurut Anda peristiwa 1965 itu seperti
apa?
Sebenarnya
peristiwa 65 itu kita harus mengakui sisi gelap sejarah kita. Artinya, orang
mengatakan sejarah 65 itu adalah kudeta, yang artinya memakan korban masyarakat
sipil. Jadi masyarakat sipil korban, korban dari kudeta. Peristiwa 65 menjadi
persoalan politik besar karena aktor-aktor yang bermain itu merasa seolah-olah
kalau sejarah 65 itu diungkap terkena dirinya. Padahal ini kan sejarah, sejarah
masa lalu yang harus dilewati gitu lho. Lah kita tidak berani melihat sejarah
masa lalu seperti Jerman dengan Hitler-nya mau mengakui jika ada sistim yang
salah. Sehingga mereka membangun ingatan memori seperti museum, patung dan
membuat semacam ingatan bahwa Bangsa Jerman melakukan hal seperti itu.
Nah,
kita gak berani seperti itu, sehingga dalam Simposium itu kan kalau mendengar
kesaksian para korban itu kan ada dua persoalan. Pertama, persoalan tentang
bagaimana negara mengambil alih ini, negara menyatakan sebenarnya memang pada
waktu itu terjadi kudeta dan dalam kudeta itu memakan korban masyarakat sipil.
Maka negara meminta maaf kepada korban itu dan memberi kompensasi atau
rehabilitasi nama baik sehingga rekonsiliasi itu dimulai dengan pemulihan
martabatnya.
Tanpa
pengakuan yang jujur tidak ada rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi itu syaratnya
saya tahu, mau dan sadar. Tahu bahwa memang terjadi kesalahan, mau memperbaiki
kesalahan itu dan sadar, sadar artinya ya harus direhabilitasi nama baiknya.
Sehingga tidak terjadi stigma seperti ini. Jadi peristiwa 65 itu jangan dilihat
korbannya tetapi akibatnya bahwa masa lalu itu sampai sekarang mereka jadi
orang-orang yang tidak lagi memiliki martabat manusia. Sebab ini pengingkaran
terhadap pancasila, yaitu kemanusiaan dan keadilan.
Saya
berharap pemerintahan Jokowi berani mewujudkan Nawacita itu. Dengan apa? Ya
pemulihan, pemulihan. Pemulihan nama baik itu ya mulai dulu dengan Soekarno.
Karena persoalan ini kan kudeta. Jadi Soekarno dipulihkan kembali namanya bahwa
dia tidak ada kaitannya dengan tragedi 65. Peristiwa 65 kan bagian dari perang
dingin Barat dan Timur (AS dan Uni Soviet). Ketegangan itu berimbas karena
Soekarno dituduh terlalu dekat dengan RRC dan Uni Soviet yang pahamnya
komunisme mengancam persoalan yang sebenarnya bukan hanya persoalan tentang
politik tetapi persoalan pada waktu itu dunia memang terjadi ketegangan. Jadi
kita melihat situasi globalnya.
Dengan
keberanian mengakui kekelaman masa lalu akan memutuskan tali dendam itu. Maka
sejarah harus diluruskan kembali. Persoalan sejarah diluruskan kembali ya harus
ada keberanian untuk mengakui ada sistim yang salah pada waktu itu. Sistim yang
salah dengan mengakui dengan konteks Jerman dengan Hitler, Australia juga
melakukannya dengan suku Aborigin, Kamboja dengan sistem pol-polt dan kita
harus mengakui ada sistim yang salah pada waktu itu. Kesalahan kan sejarah dan
kita belajar dari kesalahan sejarah. Jadi menurut saya, dengan mengungkap masa
lalu kita tidak perlu takut justru luka-luka lama yang sembuh itu akan membuat
kita akan jadi bangsa dengan peradaban yang besar.
Bagaimana pandangan Anda dengan adanya
desakan meminta maaf dari masyarakat?
Rekonsiliasi
itu kan dimulai negara meminta maaf dan mengatakan saatnya lah negara itu
mengambil alih dan mengatakan ini proses sejarah sehingga negara membuat memori
ingatan seperti Jerman dan Kamboja. Tetapi sejarah itu titik awalnya pada
rekonsiliasi dengan titik pokok pemulihan martabat. Orientasi pada korban dan
korban ini adalah masyarakat sipil, dua-duanya dengan para jendral. Wong ini
kan persoalan politik kok.
Lalu bagaimana dengan pernyataan
Menkopolhukam dan Wapres menyebut negara tidak perlu meminta maaf?
Ini
kan proses. Sarasehan kemarin jadi awal dalam menciptakan satu keberanian orang
saling memberikan fakta-fakta sejarah, sharing itu penting lho. Dan kedua pihak
saling menerima karena keduanya adalah korban begitu lho. Ini kan persoalan
politik, perebutan kekuasaan. Jadi 65 itu tidak murni pembunuhan masal tetapi
ada persoalan global terkait situasi ketegangan yang ada waktu itu, Uni Soviet
dan AS terkait rivalitas ekonomi dan politik.
Apa yang sebaiknya dilakukan Pemerintah?
Pemerintah
harus melihat fakta-fakta sejarah itu dengan hasil riset lalu kemudian mencoba
membangun seperti simposium-simposium ini untuk mencoba menerima
persoalan-persoalan itu yang menjadi korban. Dialog ini sangat penting, jadi
pemerintah tidak harus segera mengambil sikap tetapi pemerintah melakukan
dengan tidak perlu tergesa-gesa. Yang penting dalam suasana dialog dan ada
keberanian orang tidak berisik pada korban 65 tetapi negara mulai
merehabilitasi nama itu, mulailah dengan Soekarno. Karena Soekarno bagian dari
korban dan yang menjadi korban adalah pengikut Soekarno.
Dalam simposium terdapat perbedaan
jumlah korban 65, bagaimana menurut Anda?
Menurut
saya jumlah korban tidak perlu dipersoalkan tetapi ada korban, iya. Tidak perlu
sebut seratus ribu, satu orang juga banyak. Jangan kita pada persoalan jumlah,
tetapi pada persoalan bahwa peristiwa 65 itu terjadi pembantaian ya itu harus
diakui. Dan korbannya adalah masyarakat sipil. Itu dulu. Nah rekonsiliasi itu
adalah pemulihan kembali itu ada pada sebuah pengakuan yang jujur. Maka
kejujuran dalam menatap sejarah itu penting.
Pelurusan
sejarah tanpa kejujuran itu tidak mungkin. Nah, dari hasil riset dan penelitian
ini memang persoalan politik. 65 itu bagian dari kudeta dan yang jadi korban
adalah pengikut Soekarno. Mereka tidak tahu dan mereka ini kan orang yang
mencoba mengaktualisasikan janji-janji revolusi Soekarno. Nah ini yang jadi
korban sebenarnya, ada guru, intelektual, ada orang yang tidak tahu walau
militer, orang-orang ini setia pada Soekarno.
Para Jendral yang mati juga kan jadi
korban?
Ya
dia kan akibat persaingan politik. Mereka korban juga. Persoalannya adalah
dalam persepsi korban ini kan sebuah pertarungan global, situasi dunia pada
waktu itu. Tetapi sejarah bagi kita sangat baik. Untuk apa? Untuk saatnya
negeri ini berani menatap masa depan dengan melihat sejarah masa lalu. Mungkin
sejarah masa lalu itu pahit itu membawa peradaban yang besar misalnya Jerman.
Dengan masa lalunya muncu lah peradaban katakanlah zaman pencerahan
(aufklarung), muncul orang berpikir tentang teori-teori kritis, muncul
teori-teori humanis dan teori-teori pencerahan. Sejak saat itu peradaban Jerman
mulai sadar bahwa manusia itu menjadi sesuatu yang berarti maka bagi bagi
Bangsa Jerman refleksi tentang Hitler adalah titik balik peradaban.
Kalau
kita bisa menyelesaikan peristiwa 65 dan para korban, bangsa ini akan menjadi
bangsa yang besar. Karena misalnya Korea Selatan maju dengan menyelesaikan masa
lalunya. Jepang selesai masa lalunya setelah pemboman Hiroshima dan Nagasaki.
Jepang memutuskan memulai peradaban baru-nya. Nah kita harus berani sebagai
bangsa yang dewasa untuk menyatakan sejarah kelam bangsa kita untuk memulai
suatu peradaban yang baru. Dan itu bisa kok, karena antara korban sudah ketemu.
Ini kan kalau masih ada resistensi itu biasa. Nah di sinilah keberanian
pemimpin untuk mau menyelesaikan masa lalu itu, apa pun diselesaikan.
Penyelesaian masa lalu itu dilakukan dengan dialog dan menyatakan bahwa hak-hak
korban diakui dan satu dengan yang lain saling memulihkan martabatnya. Dan
ketiga harus ada kehendak negara. Kehendak negara juga harus ada keinginan
politik untuk menyelesaikan masa lalu itu. Jadi ini tidak ada lagi dikotomi
karena semua korban, korban dari pertarungan global.
Untuk meluruskan sejarah ini elemen apa
yang diperlukan?
Menurut
saya para intelek harus duduk bersama pemerintah, para korban dan sejarawan
untuk mencari pola-pola yang cocok dengan kultur budaya Indonesia. Karena di
Indonesia tidak ada tokoh selevel Nelson Mandela ya boleh lah membangun
rekonsiliasi dengan titik tolak lokal-lokal daerah. Dari lokal-lokal ini muncul
tokoh-tokoh yang bisa menjadikan sebuah rekonsiliasi. Dan dari tokoh-tokoh itu
kita bisa membuat jembatan sehingga rekonsiliasi dimulai dari daerah dan
beberapa daerah sudah melakukan itu. Nah ini harus dilanjutkan terus.
Jadi
menurut saya keberanian memutuskan tali dendam itu awal dari rekonsiliasi.
Tetapi rekonsiliasi harus dimulai dengan kesadaran bersama bahwa kita semua
bersalah karena membiarkan tragedi itu terjadi. Semua bersalah, tidak ada yang
salah dan benar tetapi kita harus mengakui dengan tujuan bahwa persoalan 65
adalah sejarah awal peradaban kita.
Artinya adalah negara?
Ya
negara mengambil alih. [Merdeka]