IST |
LHOKSEUMAWE – Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Provinsi Aceh menyayangkan pemberhentian sementara
seorang perawat RS Arun, Mutia karena tuduhan bersalah dalam kasus tranfusi
darah terhadap seorang pasien bernama Badriah pada tanggal 3 Maret 2016 lalu.
Yang lebih memprihatinkan,
polisi terkesan bekerja serampangan menetapkan tersangka. Penyidik Polres
Lhokseumawe hanya menetapkan perawat RS tersebut (Mutia) dan petugas UTD PMI
Aceh Utara sebagai tersangka.
“Seharusnya, pihak-pihak terkait
kasus dugaan tranfusi darah tersebut termasuk pimpinan RS Arun dan UTD PMI Aceh
Utara, harus bertanggung jawab,” demikian disampaikan Wakil Ketua Bidang Hukum
dan Pemberdayaan Politik PPNI Aceh, T. Iskandar Faisal kepada LintasAtjeh.com,
Minggu (10/4/2016).
Setelah kejadian tersebut
mencuat, kata Iskandar, PPNI Aceh dan PPNI Kota Lhokseumawe langsung melakukan
investigasi dengan Mutia, perawat RS Arun yang diberhentikan sementara karena tuduhan
bersalah dalam kasus tranfusi darah.
Adapun hasil diperoleh
dalam pertemuan itu, diantaranya tentang kronologi kejadian transfusi darah
tersebut :
1. Yang bertugas saat
kejadian yaitu 1 orang perawat (Mutia) dan 2 orang bidan di Ruang Penyakit Dalam.
(Catatan 1: Manajemen RS Arun salah menempatkan bidan di ruang perawatan yang tidak
berkaitan dengan pasien kebidanan).
2. Yang melakukan tranfusi
darah bukan perawat tetapi bidan, Mutia bertugas sebagai Leader.
3. Tranfusi darah dilaksanakan
atas order Dr. Mawaddah Fitri, Sp.PD tanggal 2 Maret 2016, dalam bentuk tulisan
di status pasien.
4. Permintaan darah ke UTD
PMI dilaksanakan tanggl 3 Maret 2016, pukul 18.00 WIB, disertai sampel darah.
5. Tanggal 3 Maret 2016,
pukul 22.00 WIB, kantong darah tiba di ruang perawatan. Perawat Meutia, melihat
label golongan darah B, Meutia menghubungi pihak UTD dan petugas Laboratorium
untuk konfirmasi bahwa golongan darah pasien O (hasil pemeriksaan RS). Jawaban
UTD bahwa hasil cross check UTD golongan darah B bukan O, kemudian petugas lab
juga menguatkan bahwa golongan darah B bukan O. Dan pihak lab RS Arun/PMI
meminta Meutia mencoret surat permintaan darah dari tulisan O menjadi B.
6. Tanggal 3 Maret 2016, pukul
23.00 WIB, darah di tranfusi pada pasien, reaksi pasien menggigil dan dokter
meminta diberikan suntikan obat dan pasien tidak menggigil lagi setelah disuntikkan
obat tersebut.
7. Tanggal 7 Maret 2016, pasien
pulang dengan kondisi baik.
8. Tanggal 8 Maret 2016, pasien
dibawa kembali ke RS Arun dengan kondisi hypoglikemia (KGD 45).
“Dalam hal ini, Mutia
merasa tidak bersalah atas kasus tersebut. Tapi pada pemanggilan sebelumnya,
pihak polisi mengatakan Mutia bersalah. Dan tanggal 11 April 2016, Mutia justru
dipanggil Reskrim Polres sebagai tersangka. Ini khan aneh, polisi secepat itu
menetapkan tersangka,” ujar T. Iskandar Faisal.
Kata Iskandar, sebenarnya
untuk membuktikan golongan darah pasien, dapat dilakukan pemeriksaan golongan
darah ulang. Kalau golongan darah B berarti yang masuk ke tubuh pasien benar,
apabila golongan darah O berarti dapat dikatakan salah tranfusi.
“Dalam menetapkan seseorang
sebagai tersangka minimal ada 2 buah alat bukti. Harus dibuktikan bahwa darah yang
masuk itu golongan darah B. Kalau ada bungkusnya bisa diuji laboratorium. Sepanjang
itu belum bisa dibuktikan, polisi salah besar menetapkan Mutia menjadi tersangka,”
bebernya.
Imbuhnya, tidak boleh polisi
menggunakan opini sebagai bukti untuk menetapkan tersangka. Harusnya dia maju dengan
argumentasi keilmuan kesehatan dalam mengungkap kasus itu.
“Mutia dijadikan
tersangka, RS Arun ibarat Kapal Rusak. Kalau kapal rusak itu, main tempel sana
tempel sini sekenanya asal kapal masih bisa digunakan. Jadi, asalkan rumah
sakit masih bisa beroperasi dan tidak terancam dicabut izinnya, pihak RS justru
lebih mengorbankan perawatnya,” sindir T. Iskandar Faisal.
Dalam hal ini, saya
berpendapat bahwa Dokter ikut bersalah dalam kasus ini karena perintah tranfusi
dari dokter. Kemudian yang memasang jarum tranfusi darah adalah bidan bukan
Mutia, sehingga yang dikatakan “Malpraktik” adalah bidan tersebut bukan Mutia. Petugas
lab RS Arun juga bersalah karena informasi berubah-ubah terkait golongan darah
untuk transfusi darah pasien.[red]