-->

PPNI Aceh : Mutia Dijadikan Tersangka, Polisi Bekerja Serampangan!

10 April, 2016, 12.46 WIB Last Updated 2016-04-10T05:50:11Z
IST

LHOKSEUMAWE – Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Provinsi Aceh menyayangkan pemberhentian sementara seorang perawat RS Arun, Mutia karena tuduhan bersalah dalam kasus tranfusi darah terhadap seorang pasien bernama Badriah pada tanggal 3 Maret 2016 lalu.

Yang lebih memprihatinkan, polisi terkesan bekerja serampangan menetapkan tersangka. Penyidik Polres Lhokseumawe hanya menetapkan perawat RS tersebut (Mutia) dan petugas UTD PMI Aceh Utara sebagai tersangka. 

“Seharusnya, pihak-pihak terkait kasus dugaan tranfusi darah tersebut termasuk pimpinan RS Arun dan UTD PMI Aceh Utara, harus bertanggung jawab,” demikian disampaikan Wakil Ketua Bidang Hukum dan Pemberdayaan Politik PPNI Aceh, T. Iskandar Faisal kepada LintasAtjeh.com, Minggu (10/4/2016).

Setelah kejadian tersebut mencuat, kata Iskandar, PPNI Aceh dan PPNI Kota Lhokseumawe langsung melakukan investigasi dengan Mutia, perawat RS Arun yang diberhentikan sementara karena tuduhan bersalah dalam kasus tranfusi darah.

Adapun hasil diperoleh dalam pertemuan itu, diantaranya tentang kronologi kejadian transfusi darah tersebut :

1. Yang bertugas saat kejadian yaitu 1 orang perawat (Mutia) dan 2 orang bidan di Ruang Penyakit Dalam. (Catatan 1: Manajemen RS Arun salah menempatkan bidan di ruang perawatan yang tidak berkaitan dengan pasien kebidanan).

2. Yang melakukan tranfusi darah bukan perawat tetapi bidan, Mutia bertugas sebagai Leader.

3. Tranfusi darah dilaksanakan atas order Dr. Mawaddah Fitri, Sp.PD tanggal 2 Maret 2016, dalam bentuk tulisan di status pasien.

4. Permintaan darah ke UTD PMI dilaksanakan tanggl 3 Maret 2016, pukul 18.00 WIB, disertai sampel darah.

5. Tanggal 3 Maret 2016, pukul 22.00 WIB, kantong darah tiba di ruang perawatan. Perawat Meutia, melihat label golongan darah B, Meutia menghubungi pihak UTD dan petugas Laboratorium untuk konfirmasi bahwa golongan darah pasien O (hasil pemeriksaan RS). Jawaban UTD bahwa hasil cross check UTD golongan darah B bukan O, kemudian petugas lab juga menguatkan bahwa golongan darah B bukan O. Dan pihak lab RS Arun/PMI meminta Meutia mencoret surat permintaan darah dari tulisan O menjadi B.

6. Tanggal 3 Maret 2016, pukul 23.00 WIB, darah di tranfusi pada pasien, reaksi pasien menggigil dan dokter meminta diberikan suntikan obat dan pasien tidak menggigil lagi setelah disuntikkan obat tersebut.

7. Tanggal 7 Maret 2016, pasien pulang dengan kondisi baik.

8. Tanggal 8 Maret 2016, pasien dibawa kembali ke RS Arun dengan kondisi hypoglikemia (KGD 45).

“Dalam hal ini, Mutia merasa tidak bersalah atas kasus tersebut. Tapi pada pemanggilan sebelumnya, pihak polisi mengatakan Mutia bersalah. Dan tanggal 11 April 2016, Mutia justru dipanggil Reskrim Polres sebagai tersangka. Ini khan aneh, polisi secepat itu menetapkan tersangka,” ujar T. Iskandar Faisal.

Kata Iskandar, sebenarnya untuk membuktikan golongan darah pasien, dapat dilakukan pemeriksaan golongan darah ulang. Kalau golongan darah B berarti yang masuk ke tubuh pasien benar, apabila golongan darah O berarti dapat dikatakan salah tranfusi. 

“Dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka minimal ada 2 buah alat bukti. Harus dibuktikan bahwa darah yang masuk itu golongan darah B. Kalau ada bungkusnya bisa diuji laboratorium. Sepanjang itu belum bisa dibuktikan, polisi salah besar menetapkan Mutia menjadi tersangka,” bebernya.

Imbuhnya, tidak boleh polisi menggunakan opini sebagai bukti untuk menetapkan tersangka. Harusnya dia maju dengan argumentasi keilmuan kesehatan dalam mengungkap kasus itu.

“Mutia dijadikan tersangka, RS Arun ibarat Kapal Rusak. Kalau kapal rusak itu, main tempel sana tempel sini sekenanya asal kapal masih bisa digunakan. Jadi, asalkan rumah sakit masih bisa beroperasi dan tidak terancam dicabut izinnya, pihak RS justru lebih mengorbankan perawatnya,” sindir T. Iskandar Faisal.

Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa Dokter ikut bersalah dalam kasus ini karena perintah tranfusi dari dokter. Kemudian yang memasang jarum tranfusi darah adalah bidan bukan Mutia, sehingga yang dikatakan “Malpraktik” adalah bidan tersebut bukan Mutia. Petugas lab RS Arun juga bersalah karena informasi berubah-ubah terkait golongan darah untuk transfusi darah pasien.[red]
Komentar

Tampilkan

Terkini