IST |
INFORMASI memiliki peran yang sangat penting
dan strategis dalam proses pelaksanaan pembangunan sebuah bangsa. Oleh karena
itu, publik atau warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi atas
semua urusan yang berkaitan tentang publik.
Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi
manusia. Jadi, keterbukaan informasi publik menjadi sebuah keniscayaan, dan
merupakan salah satu ciri penting dalam sebuah negara yang menganut sistem
demokratis.
Semenjak lahirnya Undang-Undang (UU)
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pada 30 April 2010 lalu, seluruh lembaga
penyelenggara negara atau badan publik, baik lembaga eksekutif, legislatif,
yudikatif serta badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara, tidak lagi bisa (diharamkan) menyembunyikan informasi
manakala ada pihak yang meminta.
Jika selama ini akses dan penyediaan
informasi lembaga penyelenggara negara atau badan publik kurang transparan,
namun kini hal tersebut tidak boleh lagi terjadi. Bahkan, jika ada oknum yang
ngotot (memaksakan diri) tidak menyediakan informasi secara terbuka, maka
berhak dituntut.
Dengan lahirnya Undang Undang (UU) Nomor 14
Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), maka akan dapat
menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik,
program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan
pengambilan suatu keputusan publik.
Juga akan mendorong partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan kebijakan publik, meningkatkan peran aktif masyarakat
dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik,
mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yakni yang transparan, efektif dan
efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Serta dapat mengetahui alasan kebijakan
publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak, mengembangkan ilmu
pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan/atau meningkatkan pengelolaan
dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan
informasi yang berkualitas.
Undang -Undang Keterbukaan Informasi Publik
(KIP) dapat memperkuat kekuatan hukum warga negara untuk berperan aktif mengontrol layanan publik, aliran dan
dana-dana proyek infrastuktur umum, perolehan pendapatan negara dan daerah
otonomnya. Warga negara dapat mengontrol, mengawasi dan mencegah terjadinya
praktek korupsi pada lembaga-lembaga yang didanai oleh APBD dan APBN
Seperti yang didefinisikan dalam pasal 1 UU
KIP, lembaga penyelenggara negara atau badan publik, baik lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Nasional (APBN).
Atau organisasi non pemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.
Sementara itu, pada pasal 2 ayat 2, setiap
informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna
informasi publik. Atas dasar pasal-pasal inilah setiap individu warga negara
berhak penuh memperoleh akses informasi publik untuk turut bisa menciptakan akuntabilitas
pengelolaan pemerintahan.
Lembaga penyelenggara negara atau badan
publik tidak bisa menolak permintaan perorangan yang meminta data-data atas
kinerja layanannya, baik berupa data anggaran, laporan perkembangan kinerjanya
dan data-data yang lain. Menurut UU KIP, utamanya laporan keuangan badan publik
tidak bisa menyembunyikannya lagi dan berlindung dibalik pasal pengecualian
informasi publik.
Untuk menyikapi dan merespon UU KIP,
masyarakat harus pro aktif menggali informasi demi akuntabilitas pengelolaan
pemerintahan dan mengarahkan segala bentuk kebijakan publik agar secara
maksimal hanya untuk kepentingan publik. Termasuk mengungkap informasi yang
dikecualikan badan publik bila diyakini bahwa informasi tersebut secara serta
merta mengancam hajat hidup orang banyak.
Pasal-pasal pengecualian dari UU KIP tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi atau bisa
disebut sebagai lex specialisnya.
Ketentuan pidana pun bisa mengancam badan
publik bila tidak memberikan informasi yang selengkapnya, menyembunyikan
informasi dan tidak memberikan informasi kepada perorangan atau organisasi
masyarakat yang memintanya.
Warga negara dapat menggugat secara hukum
bila mereka tidak puas dan meyakini adanya informasi publik yang disembunyikan
badan publik. Untuk gugatan badan publik pemerintah dapat diajukan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sedangkan untuk badan publik non
pemerintah diajukan melalui Pengadilan Negeri (PN).
Berikut adalah ancaman pidana bagi lembaga
penyelenggara negara atau badan publik yang melanggar UU KIP:
1. Pasal 51 menggunakan informasi publik
melawan hukum, sanksi penjara 1 (satu) tahun, denda Rp. 5 Juta.
2. Pasal 52 badan publik tidak menyediakan, memberikan,
menyediakan informasi berkala, serta merta, setiap saat, sanksi penjara 1
(satu) tahun, denda Rp. 5 juta.
3. Pasal 53, menghancurkan, merusak,
menghilangkan dokumen info publik yang dilindungi negara/kepentingan umum,
sanksi penjara 2 (dua) tahun, denda Rp. 10 juta.
4. Pasal 54 ayat 1, Sengaja/tanpa sengaja
mengakses info yang dikecualikan, sanksi penjara 3 (tiga) tahun, denda Rp. 10
juta.
5. Sengaja memberikan info yang tidak benar
dan menyesatkan, sanksi penjara 1 (satu) tahun, denda Rp. 5 juta.
UU KIP yang diundangkan pada tahun 2008 untuk
diterapkan 2 tahun setelah UU KIP diundangkan bertujuan memberikan kesempatan
badan publik untuk mempersiapkan diri
informasi-informasi yang wajib diberikan kepada warga negara/publik.
Kini UU KIP telah diterapkan hampir genap 8
(delapan) tahun. Pertanyaan kita saat ini adalah "telah siapkah pihak
lembaga penyelenggara negara atau badan publik untuk memberikan keterbukaan
atas kinerja dan anggaran yang mereka kelola? Sudah siapkah warga negara merespon
UU KIP untuk berupaya berpartisipasi mencegah tindakan korupsi yang telah
kronis dan akut di negeri ini?"
Jawabannya adalah "semua tentunya
kembali ke kita sebagai warga negara Indonesia. Relakah negara ini bangkrut dan
nama Indonesia akan hilang pada puluhan tahun kemudian karena para lembaga
penyelenggara negara atau badan publik 'menyembunyikan' informasi publik yang
diduga bertujuan untuk kepentingan pribadi dan kelompok mereka sendiri?
Keterbukaan informasi publik diharapkan mampu
mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Akhirnya terwujud penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif dan
efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.[red]