Muzakir Manaf. (Dok: LA) |
ACEH TAMIANG - Saat Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf yang akrab
dipanggil Mualem melakukan silaturrahmi dan temu ramah dengan tokoh masyarakat
Kabupaten Aceh Tamiang di Aula Hotel Grand Arya, Sabtu (16/4/2016) malam, ada
sebuah kisah memilukan yang disampaikan oleh salah seorang perwakilan
masyarakat, Marsinem, tentang persengketaan lahan HGU antara
warga di empat desa dengan pihak perkebunan PT. Rapala yang akhirnya berujung
pada insiden kriminalisasi terhadap sebelas pejuang atas lahan tersebut.
Marsinem
selaku perwakilan masyarakat tertindas oleh kebijakan sang penguasa, sangat
mengharapkan agar Mualem selaku wakil Gubernur Aceh saat ini, dapat segera membantu
penyelesaian tentang permasalahan sengketa lahan HGU Perkebunan PT Rapala
dengan pihak masyarakat di empat desa yakni, Paya Rehat, Kecamatan Banda Mulia,
Desa Senebok Aceh, Tanjong Lipat dan Tengku Tinggi, Kecamatan Bendahara.
Cerita
pilu yang disampaikan oleh Marsinem dengan kesedihan dan deraian air mata, juga
dikuatkan dengan argument dari salah seorang tokoh masyarakat Kabupaten Aceh
Tamiang yakni, Drs Ilyas WD.
Secara
tegas Ilyas WD menyampaikan bahwa persengketaan panjang antara masyarakat Paya
Rehat, Kecamatan Banda Mulia, Desa Senebok Aceh, Tanjong Lipat dan Tengku
Tinggi, Kecamatan Bendahara dengan pihak perkebunan sawit bekas PT. Parasawita
tersebut tidak akan terjadi jika Bupati kabupaten berjuluk Bumi Muda Sedia memiliki
ketegasan pada saat perpanjangan HGU perkebunan itu beberapa waktu yang lalu.
"Apapun
ceritanya, Bupati Kabupaten Aceh Tamiang turut bersalah atas belum adanya
penyelesaian terkait persengketaan lahan HGU yang saat ini telah dikuasai pihak
perkebunan PT. Rapala," ungkap Ilyas WD.
Senada juga diungkapkan oleh salah seorang tokoh dari Partai Aceh (PA) yang
juga Ketua DPRK Aceh Tamiang, Ir. Rusman. Menurutnya, proses
perpanjangan izin HGU eks PT. Parasawita yang kini menjadi HGU PT. Rapala tidak
memenuhi syarat dan dinilai cacat hukum.
"Pasalnya,
dalam proses perpanjangan HGU perkebunan yang berlokasi di Kecamatan Banda
Mulia dan Bendahara tersebut tidak pernah melibatkan pihak masyarakat dan
muspika setempat," beber Rusman.
Atas
dasar itu, Mualem menyampaikan, penerbitan HGU dan Izin Prinsip untuk PT.
Rapala memang gila!
Mualem
mengatakan, secara ketentuan perundang-undangan Negara, seharusnya. pihak
perkebunan PT. Rapala wajib mengeluarkan
lahan HGU sebesar 25% sampai 30% untuk kepentingan masyarakat sekitar kebun
(lahan plasma).
Mualem
meminta agar masyarakat menunggu saja nanti setelah terbit Peraturan Pemerintah
(PP) yang saat ini masih tahap revisi untuk kewenangan Provinsi Aceh dalam hal
mengatur tentang lahan perkebunan di Aceh. Dan akan kita 'sikat' sebahagian
lahan tersebut untuk masyarakat yang selama ini telah memperjuangkan hak atas
lahan tersebut.
"Masak
segitu saja pihak masyarakat meminta lahan tidak diberikan. Nanti pihak
perkebunan akan kita berikan pilihan, berikan separoh atau ta paroh?,"
pungkas Mualem. [zf]