IST |
JAKARTA - Menkopolhukam Luhut Pandjaitan menggelar acara 'Coffe
Morning' dengan media di Kantornya pagi ini. Dalam acara tersebut, turut
dihadiri oleh sejumlah wartawan dari media asing.
Mayoritas wartawan dari media asing terkesan kompak mencecar
Luhut Pandjaitan terkait jumlah korban peristiwa tragedi 1965. Luhut menyatakan
orang asing tak perlu mencoba mendikte terkait peristiwa 1965 tersebut. Sebab,
tak ada sejarah yang mencatat berapa jumlah korban yang tewas dalam peristiwa
itu.
Maka dari itulah, pemerintah menggelar Simposium Peristiwa
1965 yang bertujuan untuk mengumpulkan pelbagai informasi terkait peristiwa
tersebut.
"Kalau saya boleh pesan keadaan negeri ini sedang
tambah bagus. Jangan kita mau digodok dan digoreng orang asing. Kasus 1965 ya
kita terbuka dan fair. Jangan Indonesia mau didikte orang lain dan ada
pengadilan di Belanda. Kita akan bikin di sini," kata Luhut, Kamis (21/4).
Luhut menjelaskan pemerintah tidak memiliki data akurat
tentang berapa jumlah korban yang berjatuhan dalam peristiwa tersebut. Dia
menceritakan pula wartawan asing yang kritis terhadap peristiwa 1965 juga tak
memiliki data valid saat ia meminta bantuan mencari informasi yang akurat.
"Kami belum ada buktinya. Tapi aduan selalu datang dari
bawah, maka kita gelar simposium. Ada yang bilang jumlah meninggal 400 ribu,
itu tidak mungkin. Ada yang bilang 80 ribu, juga enggak mungkin. Itu
melebih-lebihkan. Saya kira paling hanya 100-200 korban," katanya.
"Kemarin juga ada wartawan asing bilang ke saya tahu
jumlahnya. Saya minta buktinya. Mereka bilang dapat dari film di Youtube. Saya
tunggu sampai sekarang belum kasih bukti ke saya," katanya menambahkan.
Maka dari itu, Luhut meminta kepada wartawan asing maupun
lainnya untuk memberikan informasi yang berdasarkan fakta bukan berdasarkan
dari rumor.
"Kalau kasih bukti, tahu di mana kuburan massalnya,
saya janji tindaklanjuti. Tapi kalau hanya rumor-rumor, I chase (kejar)
you!" tegasnya.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan ini lalu menegaskan bahwa
pemerintahan Jokowi berkomitmen untuk membuka segala kasus pelanggaran HAM.
Sehingga, tak hanya berfokus pada peristiwa 1965.
"Ini berlaku di semua pelanggaran HAM, yang di Papua
termasuk juga, total ada 24 pelanggaran HAM, mau kita buka dan investigasi oleh
orang Indonesia," tukasnya. [Merdeka]