BANDA ACEH - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyelenggarakan
workshop pengenalan tools review izin perusahaan sektor perkebunan, sektor
kehutanan dan juga sektor pertambangan. Kegiatan ini melibatkan peserta dari
unsur LSM dan juga beberapa akademisi Fakultas Hukum Unsyiah dilaksanakan di
Hotel Oasis Banda Aceh, Kamis (14/4).
Dalam
kegiatan ini, MaTA menghadirkan fasilitator dari Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), Ohiongyi Marino.
Penyelenggaraan
workshop pengenalan tools review izin bertujuan untuk memberi pemahaman kepada
peserta tentang tools review izin dan tata cara penggunaannya. Sehingga
nantinya diharapkan akan lahir orang-orang yang mampu melakukan review terhadap
perizinan perusahaan, baik perkebunan, kehutanan maupun pertambangan yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah.
Review
izin atau peninjauan kembali izin merupakan salah satu sarana untuk melihat
ketaatan izin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Review izin pada
prinsipnya adalah pemeriksaan penerbitan izin berdasarkan hukum yang berlaku
atau dapat juga disebut pemeriksaan legalitas izin. Pelaksanaan review ini
membutuhkan adanya pemahaman utuh terhadap hukum perizinan, yang mana hukum ini
senantiasa berubah dan membutuhkan adanya keterampilan hukum untuk memahaminya.
Berdasarkan
pemantauan MaTA khususnya di sektor perkebunan, selama ini pemerintah Aceh dan
pemerintah 23 kabupaten/kota di Aceh terus saja menerbitkan izin-izin usaha
perkebunan di Aceh, akan tetapi belum pernah melakukan review terhadap
izin-izin tersebut. Padahal review izin ini penting dilakukan, baik untuk
melihat ketaatan prosedural pemberian izin maupun kepatuhan di lapangan. Misal,
apakah setelah mendapatkan izin perusahaan telah menjalankan kewajibannya? Atau
apakah luas areal yang digarap sesuai dengan izin yang diberikan?
Dari
hasil review izin nantinya akan terlihat, perusahaan mana yang taat dan tidak
taat terhadap aturan-aturan yang berlaku, menjalankan atau tidak menjalankan
kewajiban-kewajibannya. Kalau nantinya terbukti melanggar, pemerintah dapat
mencabut izin usahanya sehingga ini bisa menjadi pembelajaran bagi
perusahaan-perusahaan lain. Oleh karena itu, MaTA mendesak agar pemerintah
segera melakukan review terhadap izin-izin usaha perkebunan yang selama ini
telah diterbitkan.
Di
sisi lain, MaTA juga berharap agar Gubernur Aceh segera menghentikan penerbitan
izin usaha perkebunan pemegang HGU. Kasus yang terjadi di Kabupaten Aceh
Tamiang harusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Dari 1.957,02 km2 luas
Aceh Tamiang, 80 persennya telah dikuasai oleh pemilik HGU. Sehingga hal ini
menyulitkan pemerintah untuk membangun fasilitas pelayanan publik. Dan bukan
tidak mungkin, kalau izin usaha perkebunan tidak segera dihentikan, dalam 10
tahun ke depan Aceh tidak lagi memiliki lahan.
Beberapa
persoalan ini harus menjadi perhatian serius bagi Gubernur Aceh, apalagi
periode pemerintahan gubernur saat ini hampir berakhir. Paling tidak, ada
beberapa hal penting yang dihasilkan pada masa pemerintahan sekarang dalam
menjaga keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup di Aceh. Ini nantinya
juga akan menjadi bukti komitmen Gubernur Aceh dalam menjaga kelestarian
lingkungan hidup di Aceh. [rls/pin]