IST |
Mencermati
fenomena saat pergantian pucuk pimpinan atau saat mutasi jabatan, selalu saja
ada fenomena menarik. Satu diantaranya adalah banyak orang-orang yang resah,
galau dan khawatir. Lantas mereka pun sibuk sendiri, bingung mencari-cari. Apa
yang dicari? “Cari Muka.!!!” celetuk seorang
sahabat.
“Lho, memang ‘muka’nya
hilang, kok dicari-cari?”. Kalau manusia tidak punya muka artinya tidak punya
kepala, jadi harusnya mati dong?.
Itulah
logika ungkapan “cari muka”. Persepsi
orang-orang yang hidupnya selalu bergantung pada orang lain, tanpa bekal
kualitas, profesionalitas atau juga mungkin tanpa rasa malu, maka ketika orang
yang menjadi tempat bergantung sudah tidak ada, matilah dia.
Tapi
yang cerdik atau bahkan licik, akan tetap hidup. Ini jika ia kembali sukses
menemukan ‘muka’nya dari orang baru,
yang lagi-lagi akan dijadikannya tempat menggantungkan harapan, Hidupnya
mungkin akan begitu seterusnya, tanpa ia berpikir untuk berubah dan memiliki
landasan mental yang baik.
Beda
halnya dengan orang-orang yang tidak perlu susah payah “cari
muka”. Mentalnya menandaskan keyakinan bahwa ‘muka’nya
selalu melekat dalam dirinya, tak perlu dicari, siapapun dapat melihatnya.
Mereka yang juga tak terlalu ambisius, karena selalu percaya bahwa tugas dan
jabatan itu adalah amanah.
Ya!
Ketika anda memiliki bukti kualitas, potensi, hingga prestasi, tak perlu sibuk “cari
muka”. Karena orang tentu telah dapat menilai kualitas
anda. Yakin sajalah, tetap bekerja dengan baik, ikhlas dan profesional, maka
hal-hal yang mungkin anda inginkan, akan datang dengan sendirinya, sebagai
berkah kerja keras dan Anugerah dari Allah SWT, Tuhan YME.
“Cari muka”
bukan solusi untuk mengejar pangkat, jabatan atau meraih hal-hal yang
menguntungkan bagi diri pribadi, apalagi secara instant tanpa perjuangan. “Cari
muka” adalah virus yang merusak, mulai dari mental hingga
sistem.
Sadarkah
anda ketika virus “cari muka” hinggap, maka ia
akan menggerogoti mental, serta merendahkan martabat dan harga diri anda?
Kenapa? Karena orang “pencari muka” identik dengan “penjilat”.
Membayangkan
asal katanya saja, orang sudah berpikir tentang sesuatu yang kotor dan
menjijikkan. Lalu identik lagi dengan “pengemis”,
dalam hal ini pengemis kekuasaan.
Kemudian
dalam ajaran agama, juga disebut sebagai orang “munafik”.
Jadi, jika punya harga diri, apalagi masih merasa terhormat, maukah anda
dikatakan sebagai penjilat atau pengemis, atau disebut orang munafik..!?.
Dalam
alam birokrasi dan struktur kekuasaan, budaya “cari
muka”, juga merusak sistem. Celakanya, ada sebuah ungkapan
dan mungkin telah menjadi fakta bahwa, “dimana ada yang
berkuasa, disana ada penjilat atau pencari muka”.
Penjilat
di sekitar pemegang kekuasaan, mengotori sistem. Seorang penjilat sangat
ambisius dan oportunis. Dia bekerja bukan semata-mata menjalankan tugas atas
nama kewajiban, tapi lebih pada niat mencari keuntungan, bekerja demi pujian,
uang, jabatan, atau karier semata. Selagi ada kesempatan, segala macam cara
akan ditempuh demi meraih semuanya, tak peduli benar atau salah, halal atau
haram.
Demi
sukses, penjilat menganggap kolega bukanlah teman seperjuangan, tetapi saingan.
Teman yang memiliki kemampuan atau berpotensi melebihinya dianggap rival
terberat. Sehingga, seorang penjilat akan mengeluarkan jurus sikut kiri sikut
kanan, tendang depan tendang belakang, menenggelamkan rekan kerja, serta
menonjolkan diri yang paling baik, paling berpotensi, paling qualified, dan
paling bisa diandalkan, untuk meraih simpati dan perhatian atasan.
Ada
lagi perumpamaan lain dari penjilat, yaitu “bunglon”.
Kebaikannya seringkali cuma kepura-puraan, tidak punya prinsip, sering
berubah-ubah. Dia akan dekat pada orang, teman, atau siapapun pimpinan yang
bisa memberi keuntungan kepadanya.
Virus
penjilat atau pencari muka bukan tidak bisa diatasi atau paling tidak bisa
diminimalkan. Kuncinya terletak pada sang pemimpin. Seorang penjilat akan mati
kutu bila pimpinannya berkualitas, profesional dan idealis. Lidah seorang
penjilat akan tumpul tak bertuah di hadapan pemimpin yang adil dan bijaksana.
Seorang
penjilat akan rontok harga dirinya di mata pemimpin yang lebih percaya pada
kualitas dan prestasi yang dinilai secara objektif, sesuai bukti di lapangan.
Dalam
sebuah organisasi yang sehat, maka para pencari muka atau penjilat di sekitar
kekuasaan, harus bersiap-siap tersingkir. Mereka tidak dibutuhkan, jika tidak
bisa merubah prilaku, mental, kualitas dan profesionalitasnya, serta bersaing
secara sportif dalam pengembangan karier atau jabatan, dengan sesama rekan
kerjanya.
Jadi,
semoga saja pemimpin pilihan kita dapat mengemban amanahnya dengan baik, adil
dan bijaksana, serta selalu objektif dalam melakukan penilaian terhadap
kualitas dan profesionalitas.
Pemimpin
juga diharapkan dapat peka dan harus mampu memilih dan memilah, mana yang baik,
mana yang berkualitas, mana yang tulus, lalu mana pula yang hanya cari muka,
cari aman, atau cari keuntungan, serta berhati-hati dengan para pencari
muka/penjilat di sekitar kekuasaan, yang bisa saja suatu saat dapat
menjerumuskan sang pemimpin. [ferry rahmadi]