IST |
JAKARTA - Tragedi September 1965 yang dikenal dengan 'G 30 S' menjadi
sejarah kelam bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, keluarga korban pembantaian
massal yang konon dilakukan oleh angkatan darat hingga kini masih mengalami
intimidasi dan stigmatisasi oleh sekelompok masyarakat dan Pemerintah.
Tak hanya itu, tragedi 1965 juga telah memenjara banyak
orang tanpa diadili di pengadilan. Ini menunjukkan betapa kasus pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) di Indonesia pada masa lalu belum tuntas. Negara tampak
masih enggan mengungkap kebenaran sejarah tersebut.
Salah satu korban yang pernah dipenjara tanpa diadili di
tragedi 1965 tersebut adalah Nani Nurani. Perempuan berusia 70 Tahun ini
mengungkapkan bahwa negara telah abai terhadap hak warganya.
Nani mengaku dipenjara tanpa tahu apa kesalahannya. Ia
mengaku mengetahui peristiwa pada 30 September 1965 (pembunuhan para jenderal)
dari radio pukul 10.00 WIB.
Nani tidak tahu menahu penyebab kejadian itu. "Saya
ditangkap dan dipenjara, karena dituduh sebagai Biro Khusus PKI (Partai Komunis
Indonesia). Padahal saya bukan PKI dan tidak tahu salah saya apa,"
ceritanya dalam Simposium Nasional Tragedi 1965/1966 di hotel Aryaduta, Jakarta
Pusat, Senin (18/4/2016).
Nani mengaku ketika pulang ke kampung halamannya di
Cianjur, Jawa Barat, untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga di rumah,
tiba-tiba didatangi oleh dua prajurit angkatan darat bersenjata lengkap.
"Ketika saya berkumpul dengan keluarga tiba-tiba saya ditangkap
oleh dua tentara bersenjata laras panjang dan menodongkannya ke saya. Kemudian
saya dipenjara di Bukit Duri (Jakarta) selama tujuh tahun dan tanpa diadili di
pengadilan," bebernya.
Nani meniai pemerintah menuduhnya sebagai pemberontak hanya
karena pernah mengisi acara HUT PKI sebagai penyanyi. Inilah yang dijadikan
alasan aparat menuduh dirinya terlibat pemberontak bersama PKI.
"Pada Juni 1965 saya diminta menyanyi di acara PKI.
Saya menyanyi sebagai seniman dan saya bekerja di Dinas Kebudayaan. Ketika itu
PKI juga partai yang sah. Saya juga bertugas sebagai penyanyi di Istana
Cipanas kalau Presiden Soekarno ada acara kenegaraan," ungkap dia.
Pada 1975, Nani dibebaskan karena dianggap tidak terbukti
terlibat pemberontakan dan ikut kegiatan PKI. Namun setelah keluar hak
kewarganegaraannya dicabut, Nani tetap dicap sebagai PKI.
"Pada tahun 1975 saya bebas dan disuruh tandatangan dan
disumpah agar tidak menuntut. Namun saat umur saya 62 Tahun saya tidak dapat
KTP seumur hidup," bebernya lagi.
Kemudian sekitar 2003 Nani didampingi LBH Jakarta menggugat
haknya sebagai warga negara agar dapat KTP ke pengadilan tata usaha negara
(PTUN) dan menang. Namun Camat Koja naik banding, kemudian berlanjut ke
Mahkamah Agung dan menang dengan memiliki keputusan hukum tetap atau inkrah.
Lalu pada 2011 ia kembali menuntut rehabilitasi namanya yang
distigma, dicap sebagai pemberontak ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun
Pengadilan mengatakan bukan kewenangannya. Lalu berlanjut ke Pengadilan Tinggi
DKI, hingga sekarang belum juga rampung.
Di usianya yang senja, Nani menegaskan tidak membutuhkan
permintaan maaf dari pemerintah. Ia hanya menginginkan keadilan dan pemulihan
nama baiknya demi anak-anak dan cucunya.
"Saya hanya ingin nama baik saya direhabilitasi, ketika
nanti saya mati saya bisa bahagia dan bisa tersenyum saat bertemu orangtua saya
dikubur. Saya berdoa pada Allah semoga dapat keadilan. Saya yakin Allah selalu
hadir, tidak tidur dan tidak buta. Saya belum rela mati, karena kasus saya
belum tuntas." tutupnya. [Suara]