-->

Kelapa Sawit Merupakan Produk Ekspor Unggulan Tanah Air?

23 April, 2016, 17.43 WIB Last Updated 2016-04-23T10:48:07Z
JAKARTA - Tidak boleh minta konsensi lagi. Artinya, tidak boleh minta konsensi lagi yang dipakai untuk lahan kelapa sawit

Demikian dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan terjadinya tumpang tindih penggunaan hutan konservasi dan hutan lindung. Serta, mendefinisikan komitmen pelestarian lingkungan oleh pemerintah Indonesia.

Padahal, kelapa sawit merupakan produk ekspor unggulan Tanah Air. Terbukti, devisa yang dihasilkan dari ekspor produk kelapa sawit tahun 2014, mencapai US$ 19,56 miliar atau setara dengan Rp 250 triliun.

Potensi kelapa sawit juga sangat besar. Data Kementerian Pertanian (Kemtan) mengungkapkan luas areal perkebunan kelapa sawit hingga tahun 2015, sebesar 11,3 juta hektar. Itu baru 48,6 persen potensi lahan yang bisa dimanfaatkan, yaitu 23,25 juta hektar. Kemudian, dari areal seluas 11,3 juta hektar tersebut, mampu dihasilkan 31 juta ton Crude Palm Oil (CPO).

Belum lagi, sesuai kebijakan energi nasional yang termaktub dalam PP No.79/2014, menyatakan bahwa minyak sawit menjadi sumber baku energi terbarukan utama, yaitu biodisel sampai tahun 2050. Meskipun, penggunaan CPO untuk biodiesel tahun 2015, baru ditargetkan 15 persen (B15) atau setara dengan 4,31 juta ton CPO.

Tetapi, target penggunaan CPO sebagai biodiesel akan terus meningkat, tahun 2016 menjadi 20 persen (B20) atau setara dengan 8,34 juta ton CPO, tahun 2020 menjadi 30 persen (B30) atau setara dengan 15,66 juta ton CPO.

Namun, moratorium digaungkan oleh pemerintah pusat. Kemtan mendukung dengan akan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang pedoman Penetapan Alokasi Ruang Budidaya Kelapa Sawit.

Butuh Peremajaan dan Benih Unggul

Untuk memenuhi target lebih dari 40 juta ton CPO, di tengah pagar moratorium, para petani di Sumatera Barat hanya membutuhkan dukungan bibit yang unggul dan biaya peremajaan lahan kelapa sawit dari pemerintah pusat. Demikian dikatakan Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Barat,  Fajaruddin.

Diungkapkannya, dulu sewaktu masih di bawah pengawasan perusahaan asal Jerman, perkebunan kelapa sawit Ophir di Sumatera Barat mampu menghasilkan 36 juta ton CPO.  Tetapi, kini hanya mampu menghasilkan 800 ribu ton CPO per tahun.

Menurutnya, menurunnya produksi CPO dikarenakan benih yang digunakan dalam perkebunan rakyat  adalah ilegitim atau benih tidak bersertifikat sehingga buah yang dihasilkan tidak baik atau maksimal.

Di tambah lagi, dari 390.380 hektar, seluas 8.000 hektar perkebunan kelapa sawit yang berada di Sumatera Barat mendesak untuk diremajakan.

“PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Sumbar, 26 persen dari sektor perkebunan. Tetapi, saat ini 8.000 hektar mendesak diremajakan. Para petani juga butuh benih dan bibit yang baik,” ungkap Fajaruddin.

Hal itu, sangat ironi bagi Fajaruddin karena kualitas CPO hasil perkebunan di Sumatera Barat, terutama Pasaman Barat adalah yang terbaik. Bahkan, jika di bandingkan dengan hasil dari Pekanbaru, Riau ataupun Jambi.

Perkebunan rakyat di Pasaman Barat, diungkapkannya masih bertahan dikarenakan pola kemitraan, berbentuk Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUB) yang kembali dihidupkan, di areal lahan seluas 4.800 hektar bekas Ophir.

Kelompok Tani 41 adalah salah satu saksi dari bertahannya perkebunan rakyat di Pasaman Barat. Dengan 40 hektar dan bantuan dana Rp 300.000 juta, pada tahun 2011, sebanyak 20 hektar lahan kelapa sawit berhasil diremajakan. Kemudian, ditanami bibit kelapa sawit dengan metode tumpang sari.

Tumpang Sari Kelapa Sawit Dukung Kedaulatan Pangan

Meskipun, bukanlah hal yang baru, metode tumpang sari terbukti berhasil memperpanjang kehidupan para petani kelapa sawit di Pasaman barat. Bahkan, Kelompok Tani 41 berhasil membantu peremajaan 20 hektar lahan sisa yang belum diremajakan karena keterbatasan bantuan.

Sekretaris Kelompok Tani 41, Syafrizal mengungkapkan selain bantuan peremajaan, Dinas Perkebunan Sumatera Barat,  juga memberikan 2.700 batang bibit kelapa sawit dan 300 kg bibit jagung.

Kemudian, pasca peremajaan dan penanaman kembali kelapa sawit tahun 2012, penanaman jagung di lahan kelapa sawit di mulai tahun 2013. Hasilnya, 3-4 ton jagung per hektar per tahun didapatkan. Petani pun terbantu dengan adanya penghasilan mencapai Rp 600 juta per tahun. Sebab, dalam setahun, jagung bisa tiga kali panen.

Tumpang sari, dianggap cara terbaik untuk mendapatkan sumber pendapatan tambahan disaat menunggu pohon kelapa sawit menghasilkan buahnya secara maksimal setelah berumur 3,5 tahun.

Demikian juga dilakukan petani kelompok Demplot Bukit Gambir, Sumatera Barat. Tumpang sari menjadi cara ampuh petani memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai membeli baju baru untuk dipakai di Hari Raya Idul Fitri tahun lalu.

Tanaman yang disandingkan adalah kacang dan padi gogo.  Dengan jumlah anggota 40 orang, setiap anggota dipercayakan mengelola setengah sampai dua hektar lahan dari 20 hektar lahan yang tersedia. Dari hasil tanam tahun lalu, berhasil dipanen 640 kg per hektar kacang tanah. Sedangkan, hasil dari padi gogo yang dalam beberapa bulan lagi dapat dipanen, diperkirakan 3 ton per hektar.

Oleh karena itu, Kepala Seksi Benih Dinas Tanaman Pangan Sumatera Barat, Zulhendi mengatakan pola tanam tumpang sari akan dikembangkan di areal perkebunan rakyat lainnya di Sumatera Barat. Sebab, dianggap membawa manfaat besar bagi petani.

Dengan pola tanam tumpang sari juga dikatakannya membantu mewujudkan pencapaian kedaulatan pangan atau swasembada pangan tahun 2017, khusus untuk padi, jagung dan kedelai.

Bahkan, Menteri Pertanian (Mentan) mentargetkan swasembada padi di tahun 2016 ini. Dengan bantuan alokasi anggaran sebesar Rp 20 triliun, terbagi menjadi Rp 16 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 dan Rp 4 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK), diharapkan target produksi 75,13 juta ton tercapai. [Suara Pembaruan]
Komentar

Tampilkan

Terkini