JAKARTA
- “Tidak boleh minta konsensi lagi. Artinya, tidak boleh
minta konsensi lagi yang dipakai untuk lahan kelapa sawit”
Demikian
dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan terjadinya tumpang
tindih penggunaan hutan konservasi dan hutan lindung. Serta, mendefinisikan
komitmen pelestarian lingkungan oleh pemerintah Indonesia.
Padahal,
kelapa sawit merupakan produk ekspor unggulan Tanah Air. Terbukti, devisa yang
dihasilkan dari ekspor produk kelapa sawit tahun 2014, mencapai US$ 19,56
miliar atau setara dengan Rp 250 triliun.
Potensi
kelapa sawit juga sangat besar. Data Kementerian Pertanian (Kemtan)
mengungkapkan luas areal perkebunan kelapa sawit hingga tahun 2015, sebesar
11,3 juta hektar. Itu baru 48,6 persen potensi lahan yang bisa dimanfaatkan,
yaitu 23,25 juta hektar. Kemudian, dari areal seluas 11,3 juta hektar tersebut,
mampu dihasilkan 31 juta ton Crude Palm Oil (CPO).
Belum
lagi, sesuai kebijakan energi nasional yang termaktub dalam PP No.79/2014,
menyatakan bahwa minyak sawit menjadi sumber baku energi terbarukan utama,
yaitu biodisel sampai tahun 2050. Meskipun, penggunaan CPO untuk biodiesel
tahun 2015, baru ditargetkan 15 persen (B15) atau setara dengan 4,31 juta ton
CPO.
Tetapi,
target penggunaan CPO sebagai biodiesel akan terus meningkat, tahun 2016
menjadi 20 persen (B20) atau setara dengan 8,34 juta ton CPO, tahun 2020
menjadi 30 persen (B30) atau setara dengan 15,66 juta ton CPO.
Namun,
moratorium digaungkan oleh pemerintah pusat. Kemtan mendukung dengan akan
diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang pedoman
Penetapan Alokasi Ruang Budidaya Kelapa Sawit.
Butuh Peremajaan dan Benih Unggul
Untuk
memenuhi target lebih dari 40 juta ton CPO, di tengah pagar moratorium, para
petani di Sumatera Barat hanya membutuhkan dukungan bibit yang unggul dan biaya
peremajaan lahan kelapa sawit dari pemerintah pusat. Demikian dikatakan Kepala
Dinas Perkebunan Sumatera Barat, Fajaruddin.
Diungkapkannya,
dulu sewaktu masih di bawah pengawasan perusahaan asal Jerman, perkebunan
kelapa sawit Ophir di Sumatera Barat mampu menghasilkan 36 juta ton CPO.
Tetapi, kini hanya mampu menghasilkan 800 ribu ton CPO per tahun.
Menurutnya,
menurunnya produksi CPO dikarenakan benih yang digunakan dalam perkebunan
rakyat adalah ilegitim atau benih tidak bersertifikat sehingga buah yang
dihasilkan tidak baik atau maksimal.
Di
tambah lagi, dari 390.380 hektar, seluas 8.000 hektar perkebunan kelapa sawit
yang berada di Sumatera Barat mendesak untuk diremajakan.
“PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) Sumbar, 26 persen dari sektor perkebunan. Tetapi, saat ini
8.000 hektar mendesak diremajakan. Para petani juga butuh benih dan bibit yang
baik,” ungkap Fajaruddin.
Hal
itu, sangat ironi bagi Fajaruddin karena kualitas CPO hasil perkebunan di Sumatera
Barat, terutama Pasaman Barat adalah yang terbaik. Bahkan, jika di bandingkan
dengan hasil dari Pekanbaru, Riau ataupun Jambi.
Perkebunan
rakyat di Pasaman Barat, diungkapkannya masih bertahan dikarenakan pola
kemitraan, berbentuk Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUB) yang kembali
dihidupkan, di areal lahan seluas 4.800 hektar bekas Ophir.
Kelompok
Tani 41 adalah salah satu saksi dari bertahannya perkebunan rakyat di Pasaman
Barat. Dengan 40 hektar dan bantuan dana Rp 300.000 juta, pada tahun 2011, sebanyak
20 hektar lahan kelapa sawit berhasil diremajakan. Kemudian, ditanami bibit
kelapa sawit dengan metode tumpang sari.
Tumpang Sari Kelapa Sawit Dukung
Kedaulatan Pangan
Meskipun,
bukanlah hal yang baru, metode tumpang sari terbukti berhasil memperpanjang
kehidupan para petani kelapa sawit di Pasaman barat. Bahkan, Kelompok Tani 41
berhasil membantu peremajaan 20 hektar lahan sisa yang belum diremajakan karena
keterbatasan bantuan.
Sekretaris
Kelompok Tani 41, Syafrizal mengungkapkan selain bantuan peremajaan, Dinas
Perkebunan Sumatera Barat, juga memberikan 2.700 batang bibit kelapa
sawit dan 300 kg bibit jagung.
Kemudian,
pasca peremajaan dan penanaman kembali kelapa sawit tahun 2012, penanaman
jagung di lahan kelapa sawit di mulai tahun 2013. Hasilnya, 3-4 ton jagung per
hektar per tahun didapatkan. Petani pun terbantu dengan adanya penghasilan
mencapai Rp 600 juta per tahun. Sebab, dalam setahun, jagung bisa tiga kali
panen.
Tumpang
sari, dianggap cara terbaik untuk mendapatkan sumber pendapatan tambahan disaat
menunggu pohon kelapa sawit menghasilkan buahnya secara maksimal setelah
berumur 3,5 tahun.
Demikian
juga dilakukan petani kelompok Demplot Bukit Gambir, Sumatera Barat. Tumpang
sari menjadi cara ampuh petani memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai membeli
baju baru untuk dipakai di Hari Raya Idul Fitri tahun lalu.
Tanaman
yang disandingkan adalah kacang dan padi gogo. Dengan jumlah anggota 40
orang, setiap anggota dipercayakan mengelola setengah sampai dua hektar lahan
dari 20 hektar lahan yang tersedia. Dari hasil tanam tahun lalu, berhasil
dipanen 640 kg per hektar kacang tanah. Sedangkan, hasil dari padi gogo yang
dalam beberapa bulan lagi dapat dipanen, diperkirakan 3 ton per hektar.
Oleh
karena itu, Kepala Seksi Benih Dinas Tanaman Pangan Sumatera Barat, Zulhendi
mengatakan pola tanam tumpang sari akan dikembangkan di areal perkebunan rakyat
lainnya di Sumatera Barat. Sebab, dianggap membawa manfaat besar bagi petani.
Dengan
pola tanam tumpang sari juga dikatakannya membantu mewujudkan pencapaian
kedaulatan pangan atau swasembada pangan tahun 2017, khusus untuk padi, jagung
dan kedelai.
Bahkan,
Menteri Pertanian (Mentan) mentargetkan swasembada padi di tahun 2016 ini.
Dengan bantuan alokasi anggaran sebesar Rp 20 triliun, terbagi menjadi Rp 16
triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 dan
Rp 4 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK), diharapkan target produksi 75,13
juta ton tercapai. [Suara Pembaruan]