-->

Fenomena Kepemimpinan Bersifat Feodal dan Penjilat

13 April, 2016, 08.53 WIB Last Updated 2016-04-13T01:59:29Z
IST
Sudah 70 tahun Republik Indonesia merdeka, namun tidaklah bisa disangkal bahwa masih banyak kelompok-kelompok yang terus berusaha mempertahan gaya kepemimpinan 'bersifat' feodal yang hanya menekankan pada nafsu kekuasaan semata.

Kelompok-kelompok tersebut, sebagian besar masih menggenggam kekuasaan di negeri ini, baik itu kekuasaan dalam ruang lingkup kepemerintahan maupun kekuasaan di bidang birokrasi. 

Seharusnya, di negeri yang sudah merdeka seperti Indonesia 'tidak ada lagi' muncul sosok kepemimpinan yang bersifat feodal. Pasalnya kepemimpinan seperti itu merupakan warisan jaman penjajahan Kolonial Belanda 'TEMPOE DOELOE' yang hanya senang bila para bawahan bersedia menjilat.

Para pemimpin yang bersifat feodal selalu ingin di hormati, bahkan terkadang 'GILA HORMAT' karena patut diduga bahwa nenek moyang mereka terlalu lama dijajah oleh Kolonialis Belanda (350 tahun) sehingga mental penjajah yang telah tertanam akan muncul dalam diri mereka, bahkan terlihat jelas dalam gaya kepemimpinan mereka.

Sudah saatnya para pemimpin bersifat feodal harus dihapuskan dari bumi pertiwi, karena hakikatnya mereka merupakan sumber dari praktek kejahatan yang mengarah pada tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Bila di suatu pemerintahan ataupun instansi/lembaga memiliki pemimpin yang bergaya/bersifat feodal, maka janganlah heran bila ada bawahan/anak buah yang memiliki pendidikan bagus, cara pandang yang berbeda, anti KKN, anti penjilat, maka akan mulai ogah-ogahan dalam bekerja.

Pasalnya, kerja bukanlah lagi sebagai tujuan bersama, melainkan tujuan untuk menaikkan pamor seseorang (pemimpin yang suka bila bawahanya menjilat). Jilat menjilat atasan yang menjadi budaya kerja orang-orang tertentu akan merajalela dan akhirnya orang yang kerja dengan betul-betul tanpa ada intrik kotor akan mulai dicarikan cara untuk disingkirkan secara perlahan-lahan, tapi pasti!

Dalam mengelola personil yang menjadi bawahannya, pemimpin feodalistik akan mempolarisasi anak buahnya menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah orang-orang yang dipandang sangat loyal kepadanya, orang-orang yang pandai menjilat kepadanya.

Golongan lainnya adalah berisi orang-orang yang dipandang sebagai pembangkang. Golongan kedua ini biasanya terdiri dari orang-orang yang tidak suka menjilat, tidak se-visi, tidak se-ideologi atau tidak menyukai gaya kepemimpinannya.

Oleh karena dia telah melakukan polarisasi seperti itu, maka sikap, pikiran dan perilakunya tentu berbeda terhadap kedua golongan tersebut. Pada golongan loyalis yang pandai menjilat, bersikap sangat afirmatif, sering memuji-muji, menganggap semua usulan dan kinerja kelompok ini pasti baik dan benar, sering memberi reward, baik finansial maupun kedudukan.

Sebaliknya, terhadap kelompok yang dianggap pembangkang, dia bersikap sangat negatif. Di matanya, sedikit sekali hal benar dari kelompok ini. Pekerjaan apa pun yang dilakukan kelompok ini dipandang salah. Semua ide yang keluar dari mereka selalu dipandang dengan kecurigaan.

Sikap dan perilaku sang pemimpin yang bersifat feodal terhadap kelompok yang dipandang sebagai pembangkang akan dilakukan penekanan, teror, ditakut-takuti dan juga akan diancam.

Sikap yang berbeda terhadap bawahan seperti itu menghasilkan akibat yang berbeda pula terhadap kinerja masing-masing kelompok. Kelompok loyalis, karena merasa selalu mendapat dukungan dari pimpinan, biasanya akan mengembangkan tehnik-tehnik menjilat yang semakin canggih.

Fokus kinerja mereka adalah memberi 'service yang memuaskan' bagi sang pimpinan. Sisi baik dari kelompok ini adalah segala perintah pimpinan akan mereka lakukan dengan sebaik mungkin. Sisi negatifnya, karena fokus mereka pada menyenangkan pimpinan, maka tanggung-jawab mereka dalam melaksanakan tugas tidaklah bisa diharapkan sepenuhnya.

Ide-ide kreatif pegawai yang suka menjilat, biasanya mandul. Mereka tidak berani mengambil keputusan cerdas tanpa restu pimpinan. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki sifat kemandirian. Dan yang lebih parah lagi, demi mengambil hati sang pimpinan yang suka menjilat maka para loyalis sangat hobby menjelek-jelekkan kelompok yang dipandang sebagai pembangkang di hadapan sang pimpinan.

Mereka beranggapan, semakin mereka bisa menunjukkan 'permusuhan' dengan para pembangkang maka mereka akan semakin mendapat tempat di hati sang pimpinan yang bergaya feodal.

Di pihak lain, kelompok yang dianggap pembangkang karena merasa memperoleh perlakuan yang tidak adil dari pimpinan yang bergaya feodal maka rasa tidak suka dengan sang pimpinan semakin hari semakin tinggi.

Dan perasaan tidak suka tersebut pada sebagian orang akan diperlihatkan dalam bentuk pembangkangan secara terang-terangan dan pada sebagian lainnya dilakukan bentuk yang tersembunyi. Bawahan yang memiliki integritas pribadi yang kuat dan prinsip hidup yang jelas akan melakukan pembangkangan secara terbuka.

Sedangkan bawahan yang kurang memiliki integritas akan melakukan secara sembunyi-sembunyi. Meski berbeda dalam menyikapi kepemimpinan model ini, keduanya memiliki pola kinerja yang sama, yakni menunjukkan performance yang pasif, rendah dan kurang memiliki tanggung-jawab pribadi.

Mereka melakukan pekerjaan semata-mata bertujuan untuk menghindari ancaman pecat atau mutasi dari pimpinan saja. Performance mereka sangat minim, sekadar untuk mencari selamat.

Lebih parahnya lagi, kelompok ini tak segan-segan melakukan perbuatan yang justru menjatuhkan lembaga atau organisasinya sendiri, semata-mata untuk menunjukkan kegagalan dari pimpinannya.

Selain ditujukan kepada pimpinannya, kebencian kelompok pembangkang ini juga dialamatkan kepada kelompok loyalis/penjilat. Akibat dari permusuhan ini, kemudian muncul isu-isu saling menjatuhkan yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak.

Suasana kerja bagai bara dalam sekam. Jika tidak segera disadari, suasana ini semakin hari akan semakin panas. Akhirnya, energi, waktu dan tenaga dari setiap personil banyak tersita untuk melakukan 'perang isu'. Keduanya kurang memiliki fokus pada pekerjaannya masing-masing.

Dari penjelasan di atas, kiranya bisa disimpulkan bahwa di bawah model kepemimpinan yang feodalistik sangat sulit diharapkan adanya kinerja yang baik dari lembaga yang mereka pimpin.

Hal ini karena para bawahannya sangat disibukkan oleh adanya 'permusuhan' antara golongan loyalis dan golongan pembangkang. Di samping itu, karena model managemen yang dikembangkan relatif tidak memungkinkan seluruh bawahan yang ada untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, penentuan tujuan maupun controlling, maka perfomance yang ditampilkan sekadar untuk mencari selamat.
Di bawah pemimpin yang feodalistik peluang karyawan seakan disumbat. Segala ide, kreativitas dan inovasi yang diusulkan bawahan dipotong oleh pimpinan. Satu-satunya pemikiran yang boleh dikembangkan adalah yang berasal dari atasan atau atasannya lagi.

Pimpinan berasumsi bahwa hanyalah dia seorang yang paling mengerti segala macam urusan organisasi tersebut, bawahan dianggapnya tidak mengerti apa-apa. Satu-satunya kewajiban mereka adalah melaksanakan perintahnya.

Inilah kekeliruan asumsi yang digunakan pemimpin ini. Dia lupa bahwa bawahanlah yang paling mengerti dan menguasai medan pekerjaannya masing-masing. Mestinya, dari merekalah bisa diperoleh data dan usulan yang akurat mengenai keadaan riil di masing-masing unit kerja.

Mengabaikan data dan usulan dari kelompok ini akan menyebabkan sering terjadi pembuatan keputusan yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
Dari logika seperti itu jelas bahwa kemajuan, perubahan dan pelayanan yang baik sangat sulit terjadi.

Justru sering terjadi sebaliknya dari yang diharapkan. Ketidakpuasan mereka terhadap pekerjaan 'dilemparkan' kepada masyarakat yang harus dilayani. Masyarakat dilayani dengan cara yang sangat 'menyakitkan'.
Jadi jelas bahwa dibawah kepemimpinan feodal, birokrasi menjadi brengsek, mudah terjadi korupsi, kolusi, nepotisme serta kualitas pelayanan minimal.

Pimpinan seperti ini mestinya segera dibasmi dari muka bumi Indonesia. Jika tidak, bangsa ini akan terus terpuruk!
 


Oleh: Zulfadli Idris
Komentar

Tampilkan

Terkini