IST |
Kelompok-kelompok
tersebut, sebagian besar masih menggenggam kekuasaan di negeri ini, baik itu
kekuasaan dalam ruang lingkup kepemerintahan maupun kekuasaan di bidang
birokrasi.
Seharusnya,
di negeri yang sudah merdeka seperti Indonesia 'tidak ada lagi' muncul sosok
kepemimpinan yang bersifat feodal. Pasalnya kepemimpinan seperti itu merupakan
warisan jaman penjajahan Kolonial Belanda 'TEMPOE DOELOE' yang hanya senang
bila para bawahan bersedia menjilat.
Para
pemimpin yang bersifat feodal selalu ingin di hormati, bahkan terkadang 'GILA
HORMAT' karena patut diduga bahwa nenek moyang mereka terlalu lama dijajah oleh
Kolonialis Belanda (350 tahun) sehingga mental penjajah yang telah tertanam
akan muncul dalam diri mereka, bahkan terlihat jelas dalam gaya kepemimpinan
mereka.
Sudah
saatnya para pemimpin bersifat feodal harus dihapuskan dari bumi pertiwi,
karena hakikatnya mereka merupakan sumber dari praktek kejahatan yang mengarah
pada tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Bila
di suatu pemerintahan ataupun instansi/lembaga memiliki pemimpin yang
bergaya/bersifat feodal, maka janganlah heran bila ada bawahan/anak buah yang
memiliki pendidikan bagus, cara pandang yang berbeda, anti KKN, anti penjilat, maka
akan mulai ogah-ogahan dalam bekerja.
Pasalnya,
kerja bukanlah lagi sebagai tujuan bersama, melainkan tujuan untuk menaikkan
pamor seseorang (pemimpin yang suka bila bawahanya menjilat). Jilat menjilat
atasan yang menjadi budaya kerja orang-orang tertentu akan merajalela dan
akhirnya orang yang kerja dengan betul-betul tanpa ada intrik kotor akan mulai
dicarikan cara untuk disingkirkan secara perlahan-lahan, tapi pasti!
Dalam
mengelola personil yang menjadi bawahannya, pemimpin feodalistik akan mempolarisasi
anak buahnya menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah orang-orang yang
dipandang sangat loyal kepadanya, orang-orang yang pandai menjilat kepadanya.
Golongan
lainnya adalah berisi orang-orang yang dipandang sebagai pembangkang. Golongan
kedua ini biasanya terdiri dari orang-orang yang tidak suka menjilat, tidak
se-visi, tidak se-ideologi atau tidak menyukai gaya kepemimpinannya.
Oleh
karena dia telah melakukan polarisasi seperti itu, maka sikap, pikiran dan
perilakunya tentu berbeda terhadap kedua golongan tersebut. Pada golongan
loyalis yang pandai menjilat, bersikap sangat afirmatif, sering memuji-muji,
menganggap semua usulan dan kinerja kelompok ini pasti baik dan benar, sering
memberi reward, baik finansial maupun kedudukan.
Sebaliknya,
terhadap kelompok yang dianggap pembangkang, dia bersikap sangat negatif. Di
matanya, sedikit sekali hal benar dari kelompok ini. Pekerjaan apa pun yang
dilakukan kelompok ini dipandang salah. Semua ide yang keluar dari mereka
selalu dipandang dengan kecurigaan.
Sikap
dan perilaku sang pemimpin yang bersifat feodal terhadap kelompok yang
dipandang sebagai pembangkang akan dilakukan penekanan, teror, ditakut-takuti
dan juga akan diancam.
Sikap
yang berbeda terhadap bawahan seperti itu menghasilkan akibat yang berbeda pula
terhadap kinerja masing-masing kelompok. Kelompok loyalis, karena merasa selalu
mendapat dukungan dari pimpinan, biasanya akan mengembangkan tehnik-tehnik
menjilat yang semakin canggih.
Fokus
kinerja mereka adalah memberi 'service yang memuaskan' bagi sang pimpinan. Sisi
baik dari kelompok ini adalah segala perintah pimpinan akan mereka lakukan
dengan sebaik mungkin. Sisi negatifnya, karena fokus mereka pada menyenangkan
pimpinan, maka tanggung-jawab mereka dalam melaksanakan tugas tidaklah bisa
diharapkan sepenuhnya.
Ide-ide
kreatif pegawai yang suka menjilat, biasanya mandul. Mereka tidak berani
mengambil keputusan cerdas tanpa restu pimpinan. Hal ini disebabkan karena
mereka tidak memiliki sifat kemandirian. Dan yang lebih parah lagi, demi
mengambil hati sang pimpinan yang suka menjilat maka para loyalis sangat hobby
menjelek-jelekkan kelompok yang dipandang sebagai pembangkang di hadapan sang
pimpinan.
Mereka
beranggapan, semakin mereka bisa menunjukkan 'permusuhan' dengan para
pembangkang maka mereka akan semakin mendapat tempat di hati sang pimpinan yang
bergaya feodal.
Di
pihak lain, kelompok yang dianggap pembangkang karena merasa memperoleh
perlakuan yang tidak adil dari pimpinan yang bergaya feodal maka rasa tidak
suka dengan sang pimpinan semakin hari semakin tinggi.
Dan
perasaan tidak suka tersebut pada sebagian orang akan diperlihatkan dalam
bentuk pembangkangan secara terang-terangan dan pada sebagian lainnya dilakukan
bentuk yang tersembunyi. Bawahan yang memiliki integritas pribadi yang kuat dan
prinsip hidup yang jelas akan melakukan pembangkangan secara terbuka.
Sedangkan
bawahan yang kurang memiliki integritas akan melakukan secara
sembunyi-sembunyi. Meski berbeda dalam menyikapi kepemimpinan model ini,
keduanya memiliki pola kinerja yang sama, yakni menunjukkan performance yang
pasif, rendah dan kurang memiliki tanggung-jawab pribadi.
Mereka
melakukan pekerjaan semata-mata bertujuan untuk menghindari ancaman pecat atau
mutasi dari pimpinan saja. Performance mereka sangat minim, sekadar untuk
mencari selamat.
Lebih
parahnya lagi, kelompok ini tak segan-segan melakukan perbuatan yang justru
menjatuhkan lembaga atau organisasinya sendiri, semata-mata untuk menunjukkan
kegagalan dari pimpinannya.
Selain
ditujukan kepada pimpinannya, kebencian kelompok pembangkang ini juga
dialamatkan kepada kelompok loyalis/penjilat. Akibat dari permusuhan ini,
kemudian muncul isu-isu saling menjatuhkan yang dikeluarkan oleh kedua belah
pihak.
Suasana
kerja bagai bara dalam sekam. Jika tidak segera disadari, suasana ini semakin
hari akan semakin panas. Akhirnya, energi, waktu dan tenaga dari setiap
personil banyak tersita untuk melakukan 'perang isu'. Keduanya kurang memiliki
fokus pada pekerjaannya masing-masing.
Dari
penjelasan di atas, kiranya bisa disimpulkan bahwa di bawah model kepemimpinan
yang feodalistik sangat sulit diharapkan adanya kinerja yang baik dari lembaga
yang mereka pimpin.
Hal
ini karena para bawahannya sangat disibukkan oleh adanya 'permusuhan' antara golongan
loyalis dan golongan pembangkang. Di samping itu, karena model managemen yang
dikembangkan relatif tidak memungkinkan seluruh bawahan yang ada untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, penentuan tujuan maupun controlling,
maka perfomance yang ditampilkan sekadar untuk mencari selamat.
Di
bawah pemimpin yang feodalistik peluang karyawan seakan disumbat. Segala ide,
kreativitas dan inovasi yang diusulkan bawahan dipotong oleh pimpinan.
Satu-satunya pemikiran yang boleh dikembangkan adalah yang berasal dari atasan
atau atasannya lagi.
Pimpinan
berasumsi bahwa hanyalah dia seorang yang paling mengerti segala macam urusan
organisasi tersebut, bawahan dianggapnya tidak mengerti apa-apa. Satu-satunya
kewajiban mereka adalah melaksanakan perintahnya.
Inilah
kekeliruan asumsi yang digunakan pemimpin ini. Dia lupa bahwa bawahanlah yang
paling mengerti dan menguasai medan pekerjaannya masing-masing. Mestinya, dari
merekalah bisa diperoleh data dan usulan yang akurat mengenai keadaan riil di
masing-masing unit kerja.
Mengabaikan
data dan usulan dari kelompok ini akan menyebabkan sering terjadi pembuatan
keputusan yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
Dari
logika seperti itu jelas bahwa kemajuan, perubahan dan pelayanan yang baik
sangat sulit terjadi.
Justru
sering terjadi sebaliknya dari yang diharapkan. Ketidakpuasan mereka terhadap
pekerjaan 'dilemparkan' kepada masyarakat yang harus dilayani. Masyarakat
dilayani dengan cara yang sangat 'menyakitkan'.
Jadi
jelas bahwa dibawah kepemimpinan feodal, birokrasi menjadi brengsek, mudah
terjadi korupsi, kolusi, nepotisme serta kualitas pelayanan minimal.
Pimpinan
seperti ini mestinya segera dibasmi dari muka bumi Indonesia. Jika tidak,
bangsa ini akan terus terpuruk!
Oleh:
Zulfadli Idris