BANDA ACEH - Aung San Suu Kyi adalah sebuah ikon, lampu
pencerahan. Presiden Htin Kyaw bersama Aung San Suu Kyi dipercaya mampu membawa
perubahan yang sangat kontruktif bagi Myanmar khususnya untuk penyelesaian
persoalan di dalam negeri, seperti terkait isu desentralisasi kekuasaan dengan
kelompok etnik serta kolaborasi dengan kelompok-kelompok nasionalis.
Aung
San Suu Kyi memilih untuk mengatur Menteri Urusan Kepresidenan dan Menteri
Dalam Negeri ini. Pilihan Aung San Suu Kyi ini akan mendorong membangun
komunikasi dengan masyarakat internasional untuk meggalang investasi asing demi
meningkatkan kemakmuran rakyat Myanmar. Demikian terungkap dalam kuliah tamu
dengan tema “Demokrasi di Myanmar: Peluang dan Tantangan Presiden
Htin Kyaw dan Aung San Suu Kyi” yang dilaksanakan
oleh Pusat Studi Demokrasi dan Pembangunan (PSDP), Kamis 14 April 2016 di Ruang
Sidang Rektorat Universitas Syiah Kuala, Darusalam, Banda Aceh.
“Pada periode
pemerintahan presiden Thien Sein dasar-dasar demokrasi sudah dibentuk. Aung San
Suu Kyi tinggal menguatkannya dan memperbaiki elemen-elemen demokrasi yang
belum terimplementasikan. Memang Aung San Suu Kyi mesti memberikan perhatian
lebih untuk penyelesaian masalah di internal Myanmar. Beda kelompok, beda
fokus, dan beda kepentingan. Ini yang mesti menjadi fokus reformasi internal
Aung San Suu Kyi,” kata Nashruddin, pegiat kemanusiaan yang telah tiga
tahun bekerja di Myanmar.
“Aung San Suu Kyii
adalah seorang politikus ulung. Apa yang dilakukannya adalah untuk kebaikan
masyarakat Myanmar secara menyeluruh. Tentunya untuk meningkatkan level Myanmar
di internasional. Selaku politisi dia telah berhasil berhasil membangun
hubungan yang konstruktif dengan militer yang menguasai 25 % kursi di parlemen.
Strategi ini akan memudahkan dia dalam memperhatikan permintaan-permintaan
rakyat, termasuk kelompok etnis. Ini yang perlu dipahami dan diapresiasi,”
tambah Nashruddin, yang pernah menjadi sebagai Program Manager IRD Aceh pasca
tsunami 2004 lalu.
“ASEAN cukup aktif
membantu Myanmar selama ini. Dengan dorongan moril dan semangat dari ASEAN,
Myanmar menjadi lebih cepat membuka diri. Kebijakan ‘constructive
engagement’ dari ASEAN ini telah mendorong perubahan bagi Myanmar
saat ini. Aung Sang Suu Kyi diharapkan akan terus membawa demokrasi di Myanmar
ke arah yang baik,” lanjut Nashruddin.
Kebutuhan
mendesak di Myanmar saat ini adalah institutional reform yang sudah pasti
membutuhkan kesepakatan bersama antara aktor aktor politik di Myanmar lewat
proses yang bermartabat. “Untuk mencapai kesepakatan ini, dibutuhkan determinasi
dan creativitas dari ibu icon demokrasi ini. Ada faktor kepentingan kelompok
yang harus diakomodir oleh pemerintahan baru demi tercapainya visi dan misi dari
pemerintahan baru ini,” jelas Nashruddin lagi mendetilkan.
“Perubahan konstitusi
ini harus dijalani secara bertahap untuk kepentingan ekonomi Myanmar sendiri.
Pemerintah Myanmar bisa belajar dari transisi demokrasi di Indonesia pasca
reformasi di tahun 1998 lalu. Hanya butuh waktu sekitar 15 tahun saja perubahan
demokrasi dan ekonomi di Indonesia menjadi sangat baik. Myanmar tentu bisa
belajar dari Indonesia,” jelas Radhi Darmansyah, Kepala Pusat Studi Demokrasi
dan Pembangunan.
“Pengalaman Indonesia
menyelesaikan konflik di Aceh dengan perjanjian damai adalah model yang dapat
digunakan untuk menguruskan permintaan desentralisasi dari kelompok etnik
minoritas. Kasus separatisme di Aceh selesai setelah Pemerintah Pusat bijak
berpikir win-win untuk memberikan power dan economic sharing bagi Pemerintah
Aceh. Pasti Myanmar bisa belajar dari penerapan model-model desentraliasi di
Indonesia saat ini,” tambah Radhi.
Saat
ini Myanmar mengarah ke arah desentralisasi yang lebih baik. Negara yang baru
berakhir dari kepemimpinan militer ini memiliki 14 propinsi dengan 7 region
(wilayah) yang didominasi suku Burma dan 7 state (negara bagian) yang merupakan
wilayah kelompok minoritas. Sekitar 89% penduduknya adalah Buddha.
Penanganan Rohingya di Aceh
Sedangkan
penduduk Muslim terpencar dari Rakhine State (Arakan) hingga ke kota Yaagon.
Suku Rohingya di Myanmar memang hingga saat ini belum diakui secara legal oleh
Pemerintah Myanmar. “Rohingya menjadi tantangan tersendiri bagi
pemerintahan Htin Kyaw. Bagaimana Myanmar memberikan perhatian secara khusus
untuk warga muslim yang masih berstatus stateless ini. Rohingya akan terus
menjadi perhatian masyarakat di Indonesia,” jelas Radhi.
Pengungsi
Rohingya yang terdampar ke Aceh masuk ke wilayah Aceh Jaya, Aceh Besar, Sabang,
Aceh Timur, Aceh Utara, Langsa dan Aceh Tamiang. Sebagiannya terdampar langsung
ke daratan Aceh dan ada juga yang dibantu serta ditarik oleh nelayan Aceh
sampai ke daratan setelah berhari-hari terkatung-katung di laut. Saat ini
sebagaian pengungsi Rohingya ini masih menempati posko pengungsian di Adoe,
Aceh Utara dan Bireun Bayeun, Langsa.
Menurut
Tarmizi, komandan Tagana Aceh, ada sekitar 2.599 pengungsi yang ditangani oleh
Tagana Aceh sejak beberapa tahun lalu. Tagana didanai oleh Dinas Sosial
Propinsi Aceh. Biasanya pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh akan diberikan
penanganan tanggap darurat selama 3-7 hari. Para pengungsi ini juga diberikan
bantuan family kit lengkap.
IOM
dan UNHCR, serta beberapa LSM lokal seperti RUMAN Aceh, PKPU, Yayasan
Geutanyoe, ACT, dan lainnya juga aktif membantu pengungsi Rohingya. Bantuan
bagi pengungsi Rohingya ini juga datang cukup banyak dari masyarakat Aceh
secara sukarela.
Saat
ini, hanya tinggal sekitar seratusan pengungsi Rohingya saja yang masih
bertahan di Aceh. Sisanya sudah dipindahkan ke tempat lain di Indonesia.
Sebagian pengungsi ini juga ada yang melarikan diri dari kamp penampungan yang
ada di Adoe dan Bireun Bayeun. [rls/pin]