-->

FPRM Aceh : Jadi, Bupati Aceh Tamiang Siapa?

22 Maret, 2016, 00.59 WIB Last Updated 2016-03-21T18:03:49Z

ACEH TAMIANG - Memalukan! Sepertinya tidak ada bahasa yang lebih pantas diucapkan menyikapi perilaku istri Bupati Aceh Tamiang sebagai seorang istri pejabat terhormat. Mungkin saja dirinya sedang kalap akibat namanya muncul dalam pemberitaan media online lintasatjeh.com terkait dugaan mengalirnya dana ratusan juta rupiah dari kegiatan pengadaan tanah untuk pasar tradisional yang terindikasi terjadi pemufakatan jahat sehingga diduga telah merugikan uang negara senilai Rp.2,5 milyar beberapa waktu lalu.

Hasil penelusuran lintasatjeh.com, menyebutkan bahwa isteri Bupati Kabupaten Aceh Tamiang, berinisial IA diduga turut menerima aliran dana mark up tersebut. Dari anggaran yang berjumlah Rp.2,5 Miliar, isteri Bupati diduga mendapatkan jatah  berkisar Rp.200 juta. Uang yang kabarnya jatah untuk Bupati Aceh Tamiang tersebut diserahkan oleh seseorang yang dikenal dengan nama panggilan DA kepada IA.

Uang tersebut diserahkan oleh DA kepada isteri Bupati Hamdan Sati, IA, pada saat IA akan berangkat ke Jakarta pada bulan Februari 2015 lalu dan kabarnya saat itu IA akan mengunjungi pameran craft di Jakarta.

Namun, beberapa waktu lalu mantan Kadisperindagkop Aceh Tamiang, Abdul Hadi, saat dikonfirmasi lintasatjeh.com mengaku tidak berani memberi komentar. "Jangan minta keterangan dari saya pak. Abis nanti saya," ujarnya.

Pemberitaan tersebut ternyata sudah membuat berang IA, padahal wartawan lintasatjeh.com sudah berupaya melakukan konfirmasi berulang kali terkait dugaan mengalirnya dana ratusan juta rupiah tersebut. Tetapi IA membisu seribu bahasa, namun ketika berita tersebut telah dipublikasikan, IA justru melanggar keterbukaan informasi publik bahkan menjurus kepada fitnah, mengintervensi dan menuduh wartawan lintasatjeh.com sebagai wartawan bayaran dari pihak tertentu.

Wartawan lintasatjeh.com, pada hakikatnya bekerja
mengedepankan etika pers dan kode etik jurnalistik serta berlandaskan ketentuan pers yang diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Pemberitaan yang dipublikasikan berdasarkan sumber yang jelas dan berdasarkan data dan fakta yang berimbang. Hal itu untuk menghindari kesalahpahaman maupun fitnah.

“Publik Aceh Tamiang yang cerdas sangat menyayangkan tindakan membabi buta IA. Justru kita berharap, fakta ini akan bisa membuka pemufakatan jahat sehingga Kejari Kuala Simpang akan lebih cepat membuka benang kusut untuk menetapkan tersangka dugaan kasus mark up ganti rugi lahan Asiong yang sudah membeku beberapa tahun ini,” demikian kata Ketua Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM) Aceh, Nasruddin, kepada lintasatjeh.com, Senin (21/3/16).

Menurut Nasruddin, Bupati Aceh Tamiang, Hamdan Sati wajib bertanggungjawab atas segala perilaku tidak benar yang telah diperbuat oleh isterinya. Sebagai suami, Hamdan Sati harus berani bersikap tegas dan berusaha mengajarkan etika serta sopan santun kepada isterinya, IA. 

Anehnya! Hamdan Sati malah ikut-ikutan latah berperilaku tidak baik seperti yang diperbuat oleh IA, yakni berani menuduh sembarangan kepada wartawan lintasatjeh.com, dengan tuduhan sebagai wartawan bayaran dari pihak tertentu. 

“Kok pendek kali cara berfikir Bupati Aceh Tamiang ya? Apakah pemimpin Kabupaten Aceh Tamiang tidak paham tentang hukum fitnah?” tanya Nasruddin.

Nasruddin juga menyampaikan, Bupati Hamdan Sati adalah sosok pemimpin yang harus mampu mengayomi seluruh anak bangsa di Kabupaten Aceh Tamiang. Jika isterinya saja tidak mampu diayomi maka publik tidak akan percaya kepada Hamdan Sati. Jikapun ada yang percaya maka akan kita pertanyakan kapasitas anak bangsa yang berani percaya kepada Hamdan Sati? Apapun alasannya, perilaku IA kepada wartawan lintasatjeh.com adalah kejahatan yang dapat dipidanakan. Seharusnya Bupati Hamdan Sati merupakan figur yang bisa menasehati IA, tapi kenyataannya malah ikut memprovokasi.

"Jadi, yang Bupati Aceh Tamiang itu siapa?" cetus Nasruddin.

"Untuk diketahui, Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan bahwa barang siapa menghalangi-halangi tugas wartawan untuk mengumpulkan informasi maka akan dipidana 5 (lima) tahun kurungan, dan atau denda sebesar Rp. 500 juta. Hal ini agar diketahui semua pihak, baik Instansi Pemerintah maupun swasta, apalagi di era reformasi ini sangat diperlukan keterbukaan agar tidak terjadi staknasi informasi,” tegas Ketua FPRM Aceh.[Redaksi]
Komentar

Tampilkan

Terkini