LHOKSUKON - Forum Komunikasi Pemberdayaan Pemuda Aceh (FKPPA) mengecam
pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo yang menyatakan akan
memangkas Peraturan Daerah (Perda) atau qanun di Aceh tentang wajib jilbab bagi
perempuan.
"Kami
menyesalkan pernyataan Mendagri tersebut, ini jelas sangat melukai hati rakyat
Aceh," tegas ketua FKPPA, Rajali, kepada lintasatjeh.com, Kamis (25/2).
Menurut
Rajali, Tjahjo Kumolo tidak memahami tentang kewenangan dan kekhususan Aceh, di
bawah payung hukum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tantang Pemerintahan Aceh
(UUPA). Harusnya, dia tahu bahwa UUPA itu juga undang-undang yang juga hasil
kesepakatan bersama antara Pemerintah Pusat dan Aceh.
FKPPA
meminta Pemerintah Pusat tidak sewenang-wenang terhadap kekhususan Aceh, karena
dalam MoU Helsinki sudah sangat jelas disebutkan tentang kewenangan Pemerintah
Aceh dan Pemerintah Pusat yaitu Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua
sektor publik termasuk administrasi sipil dan peradilan, kecuali hubungan luar
negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kekuasaan
kehakiman, dan kebebasan beragama (1.1.2.a). Prinsip ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004, dimana daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya, yaitu semua sektor publik
berikut aktivitas administrasi dan peradilannya, kecuali keenam urusan
pemerintahan tadi yang merupakan kewenangan mutlak pemerintah pusat.
Selama
ini, Rajali menambahkan, rakyat Aceh selalu dibuat kecewa dan dikendorkan
semangat oleh Pemerintah Pusat di antara organisasi dan partai yang sedang
memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh. Sebenarnya rakyat Aceh tidak
bertentangangan dan cekcok lagi dengan pemerintah pusat karena sudah lahir
Perdamaian dan MoU dengan kedua belah pihak.
"Kita
semua sudah sehati, sejiwa, senasib, sepenanggunggan, se-tujuan, dan sekata. Kita
saat ini cuma butuh koordinasi, berkonsultasi dan saling mendukung, baik secara
pribadi, organisasi, LSM, OKP, dalam bentuk doa, dukungan moral ataupun dukungan
finansial," ujarnya.
Menurutnya
lagi, komunikasi di antara semua pihak menjadi kunci dalam
kondisi ini, demi mempertahankan spirit dan kesatuan dan keutuhan yang telah
terbangun, untuk menjaga perdamaian yang telah ada sehingga tidak dirusak/dikoyak
lagi.
Jangan
gara-gara Perda yang tidak sesuai dengan undang-undang yaitu Perda yang berlaku
di Aceh yaitu Pemerintah Aceh mengeluarkan aturan wajib memakai jilbab bagi
wanita, maka pemerintah sudah kebakaran jenggot lagi.
Apakah
rakyat Aceh harus menggalang dukungan untuk minta "Merdeka" lagi dari
pemerintah pusat? Dan terus melakukan sosialisasi perjuangan untuk memerdekakan
Aceh lagi gara-gara Qanun yang sudah jelas itu merupakan kewenangan pemerintah
Aceh. [Red]