IST |
LHOKSUKON - Wacana pemekaran ALA-ABAS yang menjadi isu hangat
dalam sepekan terus menuai pro-kontra di kalangan masyarakat Aceh, Ketua umum
LSM Acheh Future Razali Yusuf, berpendapat ihwal tuntutan masyarakat wilayah
barat selatan dan tengah tenggara, harus disikapi secara bijaksana oleh
pemerintah Aceh dan harus melihat esensi persoalan secara objektif.
Menurutnya,
wacana tersebut sebenarnya bukanlah isu baru, tapi telah didengungkan
sejak beberapa tahun lalu. Anehnya ketika isu tersebut kembali muncul para elit
Aceh sepertinya kembali terbangun dari tidurnya, merespon dengan cepat dan
sigap dengan berbagai komentar di media dan sebagainya.
Lahirnya
tuntutan pemekaran kata Razali, adalah sebuah dinamika politik dan demokrasi
rakyat, tentunya bagi mereka mempunyai alasan kuat, apalagi undang-undang di
Indonesia diberikan ruang dan kesempatan suatu daerah yang ingin melakukan
pemekaran daerahnya, bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan,
terlepas dari adanya kepentingan individual elit-elit politik yang bermain.
Begitu
juga sebaliknya, lanjutnya, yang menolak pemekaran AlA-ABAS, memiliki
alasan-alasan tertentu terutama dalam aspek historis dan teritorial, bila Aceh
terbelah historisnya akan hilang serta alasan kuat lain.
"Dalam
kontek ini saya melihat lahirnya tuntutan pemekaran tak terlepas dari
persoalan kesenjangan sosial dan pemerataan pembangunan serta persoalan rentang
jarak pusat pemerintahan Aceh yang saat ini tidak relevan lagi berkedudukan di
Kota Banda Aceh," katanya kepada lintasatjeh.com, Rabu (10/9/2016).
Menanggapi
hal ini Razali Yusuf memberikan solusi terkait persoalan ini, di samping adanya perhatian dan pemerataan pembangunan dari pengambil kebijakan di
pemerintahan Aceh. Serta segera memindahkan secepatnya pusat pemerintahan
Aceh ke daerah yang lebih dekat dijangkau oleh semua daerah yang ada di Aceh,
karena selama ini masyarakat yang tinggal di daerah Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Aceh Selatan untuk kebutuhan administrasi ke kantor Gubernur memerlukan waktu dua hari perjalanan dan
biaya transportasi yang sangat mahal menuju ke Banda Aceh, bayangkan bila
masyarakat hanya keperluan menghantarkan proposal ke kantor gubernur, harus
menyiapkan uang sampai 1 juta rupiah.
"Kota
yang selama ini menjadi ibu kota provinsi Aceh, jadikanlah sebagai kota yang
bersejarah," tutupnya. [Red]