-->

Era Baru Pers Indonesia

10 Februari, 2016, 11.50 WIB Last Updated 2016-02-10T04:50:59Z
Ketika saya masih awam akan ilmu Jurnalis mengira media itu hanya sebagai saluran pipa air. Artinya jika didalam tangki air bening keluarnya juga air bening, pipa hanya saluran saja yang mengantarkan air itu sampai kedalam ember kecil. Begitu juga dengan media, jika di TKP (Tempat Kejadian Perkara) kebakaran sampai kedalam berita baik text, gambar, video dan audio adalah sama, isinya kebakaran. Begitulah kira-kira pemahaman saya sebelum terlalu jauh mengenal jurnalistik.

Walaupun awam saya diatas ada benarnya namun salahnya bukan sedikit. Karena media sekarang tidak demikian. Media hanya rekontruksi dari TKP kedalam berita, rekontruksi bisa jadi persis dengan di TKP dan juga bisa saja beda, namanya juga berusaha. Walaupun mereka dituntut untuk tidak boleh beropini atau berpendapat dalam mengabarkan berita, namun lagi-lagi hal ini mudah bagi media.

Kenapa saya katakan itu mudah bagi media, karena media itu dipengaruhi oleh pemilik modal, pengiklan, politik dan ideology. Maka dari itu terjadilah timpang siur informasi dimasyarakat, Media A mengabarkan Ayam Jantan sedangkan Media B mengabar Kambing Jantan. Ini sudah sering terjadi dalam masalah kampanye politik di Indonesia yang secara terang-terangan menghantam lawan politiknya.

Sebutkan saja contoh pemberitaan media terhadap kereta cepat Bandung-Jakarta, media yang tidak mendukungnya proyek tersebut akan habis-habisan menghamtamnya dengan mengabarkan kondisi transpotasi tempat lain yang sangat dibutuhkan masyarakat ketimbang Bandung-Jakarta yang sudah banyak jalur transportasi. Mereka juga akan mewawancarai pihak-pihak politik yang tidak setuju dengan proyek tersebut.

Bagi media yang mendukung proyek kereta cepat Bandung-Jakarta akan memberitakan secara realtime tentang masa depan proyek tersebut dan bisa mengalahkan teknologi Jepang dan Cina sekaligus. Mereka juga akan mewancarai pendapat para politisi yang mendukung proyek tersebut dengan berbagai macam alasan.

Dari kasus diatas media atau wartawan tidak beropini atau berpendapat mengenai proyek itu, dalam beropini atau berpendapat proyek itu bagus atau buruk. Media tersebut akan mencari kaki tangan ketiga  yaitu mencari narasumber untuk menyampaikan opininya. Karena kalau wartawan beropini atau berpendapat di media dia bisa dituntut.

Jelas sudah alur informasi di media dan pendapat awam saya dulu sangat simpang siur dengan realita sekarang. Kalau air biasa dalam tangki bisa mengeluarkan air susu atau kopi melalui saluran pipa yang diolah sesuai selera konsumen. Begitu juga dengan media, mereka akan mengolah informasi sesuai dengan selera pembaca atau pendengarnya.

Disinilah yang kemudian muncul wartawan ambal-ambalan seperti yang dikatakan oleh Muhajir Juli di acehtrend.co 3/2/2016. Wartawan yang berkerja untuk memeras pemerintah jika tidak mau barter kerja sama dengan mereka. Didaerah tertentu bahkan pemerintah yang bayar wartawan atau media sehingga yang diberitakan yang baik-baik saja. Ada juga yang professional dalam ilmu jurnalisnya namun mereka yang ditikam dengan money politik juga akan menulis dengan kata-kata “diduga”, karena kata ini ampuh digunakan untuk membungkam lawan politiknya.

Dari fenomena yang digambarkan Muhajir Juli inilah yang kemudian muncul Good News dan Bad News. Tugas jurnalistik adalah tugas yang sangat mulia, yaitu menyampaikan berita gembira dan peringatan kepada masyarakat, layaknya tugas para Nabi dan Rasul. Dalam hal inilah yang menginpirasikan Naufal Mahfudz memberikan pencerahan kepada kami mahasiswa untuk menjadi Jurnalisme Profetif.

Jurnalisme Profetik yang gambarkan Direktur SDM & Umum Antara ini pada 18/8/2015, yaitu “paham Jurnalistik yang mencatat dan melaporkan berita secara akurat, lengkap, jujur, bertanggung jawab dan memberikan pentujuk dan arahan trasformasi berdasarkan profetif dan cita-cita Islam.”

Semoga setelah Hari Pers Nasional 2016 ini dapat membawa dampak positif kepada para jurnalis untuk mengabarkan perkara yang sebenar-benarnya, sebagai mana yang digambarkan Naufal Mahfudz, di Kampus B Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Muhammad Natsir Jakarta. Pers yang cerdas akan membawa bangsa yang pintar, generasi yang gemilang. Selamat Hari Pers Nasional 2016

Oleh: Amriadi Al Masjidiy (Penulis Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir Jakarta asal Aceh).
Komentar

Tampilkan

Terkini