IST |
Hubungan
negeri China dengan Nusantara sudah ada sejak berabad lalu. Namun, migrasi
masif etnis Tionghoa ke Kota Medan dan sekitarnya dimulai dengan dibukanya
perkebunan tembakau besar-besaran di Kesultanan Deli.
Suburnya
lahan di Sumatera Timur menarik perhatian seorang warga Belanda, Jacob
Nienhuys. Dia mulai mengusahakan perkebunan tembakau di wilayah Kesultanan Deli
setelah kedatangannya pada pertengahan 1863.
Saat
Nienhuys pertama kali tiba di Kesultanan Deli, sudah ada etnis Tionghoa yang
tinggal di daerah ini. Dikutip dari jurnal 'Masuknya Bangsa China ke Pantai
Timur Sumatera' yang ditulis Jufrida dan diterbitkan Universitas Sumatera utara
(USU), saat itu di kampung Labuhan Deli tempat Nienhuys menetap terdapat
sekitar 20 orang Tionghoa dan 100 India dari sekitar 1.000 penduduk yang
tinggal di sana. Selebihnya merupakan penduduk lokal Melayu.
Nienhuys
kemudian mendirikan Deli Maatschappij pada 1869, setelah mendapat hak konsesi dari
Sultan Deli. Perusahaan ini terus berkembang pesat.
Perkembangan
perkebunan membuat Deli Maatschappij memerlukan pekerja. Sementara jumlah
penduduk lokal masih sedikit dan kurang berminat bekerja di bidang perkebunan.
Deli
Maatschappij pun mendatangkan kuli kontrak dari China, Pulau Jawa dan India.
Para kuli didapat dari agen di Penang dan Singapura.
Namun,
di awal kedatangannya, ratusan kuli kontrak yang baru didatangkan dari China
meninggal karena penyakit. "Pada 1869-1870, terdapat 217 kuli China yang
baru didatangkan meninggal," kata sejarawan Belanda, Dirk A Buiskool
beberapa waktu lalu.
Meninggal
atau sakitnya kuli kontrak memberi kerugian besar bagi Deli Maatschapij. Mereka
pun membangun Hospital van de Deli Maatschappijyang belakangan dikenal dengan
nama RS Tembakau Deli di Jalan Putri Hijau. "Rumah sakit itu dibangun
sebagai tempat pemeriksaan kesehatan para kuli China yang didatangkan sebagai
pekerja di perkebunan," jelas Briskool.
Namun,
tidak semua etnis Tionghoa datang ke Medan untuk menjadi kuli kontrak. Ada juga
yang merantau ke Deli dengan mengandalkan kemampuan dan keahliannya berdagang,
seperti Tjong A Fie, yang di kemudian hari menjadi seorang taipan.
Kedatangan
pekerja kontrak asal China, Jawa, dan India ini juga membuat komposisi penduduk
Medan berubah. Warga Tionghoa bahkan sempat dominan di kota ini.
Hasil
volkstelling atau sensus 1930, etnis Tionghoa merupakan kelompok terbesar di
Kota Medan. Jumlahnya tertinggi dibanding etnis lain atau mencapai 35,6 persen
dari keseluruhan penduduk. Mereka bahkan mengalahkan etnis Jawa, yang umumnya
juga kuli kontrak, yang hanya 24,89 persen, dan etnis lokal Melayu cuma
berkisar 7 persen. Kemudian pada sensus penduduk 1980 persentasenya menyusut
menjadi 12,8 persen. Lalu pada 2000 menjadi 10,65 persen.
Meski
persentasenya dalam demografi menurun, bukan berarti warga Tionghoa tidak
menonjol di Medan. Mereka umumnya tinggal di pusat kota, meskipun kawasan
pecinan pun tetap ada, yaitu di sekitar rumah susun Sukaramai, sekitar Asia
Mega Mas.
Warga
Tionghoa di Medan bahkan terkesan semakin eksklusif. Kesan ini setidaknya
muncul karena mereka umumnya tetap menggunakan bahasa ibunya hingga sekarang.
Eksklusivitas
itu bukan hanya soal bahasa dan pergaulan. Sektor industri dan perdagangan Kota
Medan umumnya juga dikuasai pengusaha Tionghoa. Kawasan bisnis, Jalan Asia,
Jalan Thamrin, Jalan Sutomo, dan lainnya hampir seluruhnya milik etnis Tionghoa
yang mudah dikenali dengan ruko berteralis. Geliat bisnis di mal juga sama.
Penguasaan
etnis Tionghoa pada sektor bisnis di Medan dapat terlihat dari sejumlah taipan
yang muncul dari kota ini. Jika di masa lalu ada nama Tjong A Fie, saat ini ada
sejumlah nama yang menonjol seperti Bachtiar Karim bos Grup Musim Mas; Sukanto
Tanoto alias Tan Kang Ho, bos Royal Golden Eagle (RGE); dan Martua Sitorus
alias Thio Seeng Haap, bos Wilmar Group.
Kesimpulannya,
setelah melewati sejumlah fase sejarah, mulai dari zaman Belanda, pendudukan
Jepang, Kemerdekaan, Orde Lama, pergolakan 1965, Orde Baru, reformasi, dan pascareformasi,
etnis Tionghoa sudah membuktikan mereka bisa membalikkan keadaan. Dari kaum
kuli menjadi kelompok eksklusif. [Merdeka]