-->

Berawal dari Kuli Kontrak, Etnis Tionghoa Menjelma jadi Kelompok Eksklusif

07 Februari, 2016, 19.51 WIB Last Updated 2016-02-07T12:51:39Z
IST
Hubungan negeri China dengan Nusantara sudah ada sejak berabad lalu. Namun, migrasi masif etnis Tionghoa ke Kota Medan dan sekitarnya dimulai dengan dibukanya perkebunan tembakau besar-besaran di Kesultanan Deli.

Suburnya lahan di Sumatera Timur menarik perhatian seorang warga Belanda, Jacob Nienhuys. Dia mulai mengusahakan perkebunan tembakau di wilayah Kesultanan Deli setelah kedatangannya pada pertengahan 1863.

Saat Nienhuys pertama kali tiba di Kesultanan Deli, sudah ada etnis Tionghoa yang tinggal di daerah ini. Dikutip dari jurnal 'Masuknya Bangsa China ke Pantai Timur Sumatera' yang ditulis Jufrida dan diterbitkan Universitas Sumatera utara (USU), saat itu di kampung Labuhan Deli tempat Nienhuys menetap terdapat sekitar 20 orang Tionghoa dan 100 India dari sekitar 1.000 penduduk yang tinggal di sana. Selebihnya merupakan penduduk lokal Melayu.

Nienhuys kemudian mendirikan Deli Maatschappij pada 1869, setelah mendapat hak konsesi dari Sultan Deli. Perusahaan ini terus berkembang pesat.

Perkembangan perkebunan membuat Deli Maatschappij memerlukan pekerja. Sementara jumlah penduduk lokal masih sedikit dan kurang berminat bekerja di bidang perkebunan.

Deli Maatschappij pun mendatangkan kuli kontrak dari China, Pulau Jawa dan India. Para kuli didapat dari agen di Penang dan Singapura.

Namun, di awal kedatangannya, ratusan kuli kontrak yang baru didatangkan dari China meninggal karena penyakit. "Pada 1869-1870, terdapat 217 kuli China yang baru didatangkan meninggal," kata sejarawan Belanda, Dirk A Buiskool beberapa waktu lalu.

Meninggal atau sakitnya kuli kontrak memberi kerugian besar bagi Deli Maatschapij. Mereka pun membangun Hospital van de Deli Maatschappijyang belakangan dikenal dengan nama RS Tembakau Deli di Jalan Putri Hijau. "Rumah sakit itu dibangun sebagai tempat pemeriksaan kesehatan para kuli China yang didatangkan sebagai pekerja di perkebunan," jelas Briskool.

Namun, tidak semua etnis Tionghoa datang ke Medan untuk menjadi kuli kontrak. Ada juga yang merantau ke Deli dengan mengandalkan kemampuan dan keahliannya berdagang, seperti Tjong A Fie, yang di kemudian hari menjadi seorang taipan.

Kedatangan pekerja kontrak asal China, Jawa, dan India ini juga membuat komposisi penduduk Medan berubah. Warga Tionghoa bahkan sempat dominan di kota ini.

Hasil volkstelling atau sensus 1930, etnis Tionghoa merupakan kelompok terbesar di Kota Medan. Jumlahnya tertinggi dibanding etnis lain atau mencapai 35,6 persen dari keseluruhan penduduk. Mereka bahkan mengalahkan etnis Jawa, yang umumnya juga kuli kontrak, yang hanya 24,89 persen, dan etnis lokal Melayu cuma berkisar 7 persen. Kemudian pada sensus penduduk 1980 persentasenya menyusut menjadi 12,8 persen. Lalu pada 2000 menjadi 10,65 persen.

Meski persentasenya dalam demografi menurun, bukan berarti warga Tionghoa tidak menonjol di Medan. Mereka umumnya tinggal di pusat kota, meskipun kawasan pecinan pun tetap ada, yaitu di sekitar rumah susun Sukaramai, sekitar Asia Mega Mas.

Warga Tionghoa di Medan bahkan terkesan semakin eksklusif. Kesan ini setidaknya muncul karena mereka umumnya tetap menggunakan bahasa ibunya hingga sekarang.

Eksklusivitas itu bukan hanya soal bahasa dan pergaulan. Sektor industri dan perdagangan Kota Medan umumnya juga dikuasai pengusaha Tionghoa. Kawasan bisnis, Jalan Asia, Jalan Thamrin, Jalan Sutomo, dan lainnya hampir seluruhnya milik etnis Tionghoa yang mudah dikenali dengan ruko berteralis. Geliat bisnis di mal juga sama.

Penguasaan etnis Tionghoa pada sektor bisnis di Medan dapat terlihat dari sejumlah taipan yang muncul dari kota ini. Jika di masa lalu ada nama Tjong A Fie, saat ini ada sejumlah nama yang menonjol seperti Bachtiar Karim bos Grup Musim Mas; Sukanto Tanoto alias Tan Kang Ho, bos Royal Golden Eagle (RGE); dan Martua Sitorus alias Thio Seeng Haap, bos Wilmar Group.

Kesimpulannya, setelah melewati sejumlah fase sejarah, mulai dari zaman Belanda, pendudukan Jepang, Kemerdekaan, Orde Lama, pergolakan 1965, Orde Baru, reformasi, dan pascareformasi, etnis Tionghoa sudah membuktikan mereka bisa membalikkan keadaan. Dari kaum kuli menjadi kelompok eksklusif. [Merdeka]
Komentar

Tampilkan

Terkini