Sya'roni, Sekjen Humanika |
JAKARTA - Kunjungan Dubes AS Robert O Blake dan Dubes Inggris
Moazzam Malik ke Papua dalam waktu yang hampir bersamaan tidak boleh dianggap
sebelah mata. Patut dicurigai ada agenda terselubung yang dibawa oleh kedua dubes
tersebut untuk memuluskan suatu tujuan tertentu.
Hal
tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan
dan Keadilan (Humanika), Sya'roni, dalam siaran persnya yang diterima
lintasatjeh.com, Rabu (20/1/2016).
Kecurigaan
tersebut bukan tanpa alasan, jelas Sya'roni, pasalnya Papua saat ini sedang
menjadi sorotan internasional terkait dengan masa depan Freeport di Indonesia.
Bisa dikatakan posisi Freeport saat ini sedang mengalami rongrongan yang sangat
dahsyat. Tuntutan nasionalisasi terus menggema seiring dengan terkuaknya kasus
"papa minta saham".
Kasus
yang diinisiasi oleh Ma'roef Syamsuddin, telah memakan banyak korban, diawali
dari terjungkalnya Setya Novanto dari kursi Ketua DPR dan kemudian secara
berturut-turut diikuti dengan pengunduran diri Jim Bob dan Ma'roef Syamsuddin
dari posisi strategis di Freeport.
Dengan
memandang begitu strategisnya posisi Freeport bagi AS, maka bisa diduga bahwa
kunjungan Dubes AS dan Dubes Inggris masih ada kaitan untuk mengamankan posisi
Freeport di Indonesia. AS dan Inggris adalah dua negara yang sangat kuat
persekutuannya. Keduanya sudah saling bahu-membahu mengamankan kepentingan satu
dengan yang lainnya.
Oleh
karena itu, pemerintah Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan. Tidak boleh
lengah sedikit pun. Tidak boleh lagi memanjakan Freeport dengan
kebijakan-kebijakan yang terkesan "mengalah". Akibatnya, Freeport
makin berani memandang sebelah mata negara Indonesia dengan menawarkan harga
yang tidak wajar untuk divestasi sahamnya.
Dari
gelagatnya, Freeport sudah mulai mempersiapkan "perang terbuka"
dengan Indonesia. Jim Bob dan Ma'roef Syamsuddin dianggap bukan lagi prajurit
tangguh, sehingga harus diganti dengan petarung yang lebih kuat.
Kalau
Freeport berani menekan kedua petingginya untuk mengundurkan diri, maka
Presiden Jokowi juga seharusnya berani menekan Menteri ESDM Sudirman Said untuk
angkat koper dari Kabinet Kerja.
Menurutnya,
agar tidak dijungkalkan oleh Freeport, maka Presiden Jokowi harus secepatnya
mengganti Menteri ESDM Sudirman Said. Dapat disimpulkan bahwa Sudirman Said
adalah sosok yang lemah ketika menghadapi tekanan-tekanan Freeport. Padahal,
saat ini sosok yang dibutuhkan adalah figur yang tidak gentar menghadapi
gertakan Freeport, AS beserta sekutunya. [pin]