IST |
BANDA ACEH - Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, menganggap
Presiden Joko Widodo keliru jika memberikan amnesti kepada Din Minimi. Sebab,
menurut Hendra, Din Minimi bukan kelompok yang melakukan pemberontakan kepada
negara untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Status Din Minimi, kata Hendra, sebagai anggota GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) yang sudah mendapatkan amnesti dari pemerintah Indonesia pada
2005 lalu. “Bukan merampok dan menyulitkan masyarakat sebagaimana pernah
diucapkan oleh Kepala BIN Sutiyoso,” kata Hendra saat dihubungi Tempo pada
Rabu, 6 Januari 2015.
Hendra mengatakan pengampunan bagi Din Minimi sangat tidak
pantas. Din Minimi harus diproses secara hukum terlebih dulu karena sampai saat
ini masih masuk dalam daftar pencarian orang Kepolisian Daerah Aceh. Din
teridentifikasi melakukan serangkaian kejahatan di Aceh.
“Kalau kejahatan yang dilakukannya hanya kriminal biasa,
layak untuk diproses secara hukum. Bukan diberi amnesti yang merupakan
konsensus politik,” ucapnya. “Apa seorang warga bisa dapat double amnesty?”
kata Hendra.
Karena status Din Minimi merupakan pelaku tindak kriminal,
kata Hendra, Polda Aceh seharusnya segera menangkap dan memproses hukum. Hendra
mempertanyakan pengawalan terhadap Din Minimi yang bukan berasal dari pihak
yang berhak mendapatkan perlindungan.
Hendra meminta Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso
memperjelas status Din Minimi. “Kalau memang tahanan, tahanan apa? BIN
fungsinya sebagai apa? Kenapa harus diamankan sampai segitunya,” ujarnya.
Kontras Aceh meminta upaya penegakan hukum terhadap Din
Minimi tetap berjalan. Sebab, bila dibiarkan akan berdampak buruk bagi
penegakan hukum di Aceh. Justru, kata dia, pemberian amnesti berpotensi
menimbulkan kejadian yang terulang. “Kasus kriminal di Aceh akan dengan mudah
mendapat amnesti. Setelah dapat amnesti, berbuat jahat lagi, amnesti
lagi."
Sebelumnya, Kepala BIN Sutiyoso optimistis Presiden Joko
Widodo akan mengabulkan pengajuan amnesti untuk Nurdin Bin Ismail alias Din
Minimi. Hal ini, kata Sutiyoso, telah
disampaikan Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Papua pada Kamis, 31 Desember
2015. "Beliau sudah mengatakannya. Itu hak prerogatif Presiden. Beliau sudah
mempertimbangkan secara matang," kata Sutiyoso kepada Tempo, Jumat, 1
Januari 2015. [Tempo]