![]() |
IST |
BANDA ACEH - Pengalokasian dana aspirasi anggota dewan dalam APBA
tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Setidaknya itu adalah salah satu
kesimpulan diskusi terbatas “Menyoal APBA 2016”
yang diadakan oleh Ombudsman RI Perwakilan Aceh di kantornya, Kamis 21 Januari
2016.
“Tidak ada dasar hukum
dan nomenklatur dana aspirasi dalam perundang-undangan,”
ujar Syukri Abdullah, pakar ekonomi Unsyiah. Pernyataan senada juga di
ungkapkan oleh beberapa peserta diskusi lainnya, seperti Prof Yusni Saby
(Mantan Rektor IAIN), Alfian (Koordinator LSM MaTA), Munawar Liza Zainal
(Mantan Walikota), Naimah Hasan (Tokoh Perempuan), Abdul Manan (Mantan Ketua
DPRK Sabang) dan Syarifah Rahmatillah (Tokoh Perempuan). “
“Dana Aspirasi adalah
kebijakan sesat,” tegas Alfian, yang ditimpali Munawar Liza Zain bahwa
dana aspirasi adalah kebijakan yang sangat salah dan idealnya tidak boleh ada. “Sudah
ada Musrenbang sebagai mekanisme yang diatur oleh undang-undang dalam menjaring
dan mengelola aspirasi masyarakat,” pungkas mantan juru
runding GAM tersebut.
Peserta
diskusi lainya, Burhanuddin, mantan anggota DPRA 2004-2009 menceritakan awal
mula sejarah dana aspirasi tersebut. “Awalnya tiap anggota
mendapat 1 miliar, itu pada tahun 2006,” ceritanya, yang
ditambahkan oleh Alfian bahwa awal mula pengalokasian dana aspirasi tersebut
terjadi di DPRK Lhokseumawe yang kemudian diadopsi oleh DPRA. “MaTA
sudah telusuri dan menolak dana aspirasi sejak 2006,”
tegasnya.
Disisi
lain, para peserta juga menaruh harapan besar terhadap keberadaan Ombudsman RI.
“Ombudsman harus mengingatkan DPRA dan Pemerintah Aceh
untuk kembali kejalan yang benar, menjadikan RPJM sebagai acuan
pembangunan," pinta Naimah Hasan. Tak ketinggalan, pakar hukum, Mawardi
Ismail meminta Ombudsman untuk ikut fokus mengawasi APBA.
”Ombudsman harus
serius mengawasi kegiatan-kegiatan yang berdampak pada pelayanan publik,
seperti proses pengesahan APBA ini,” ungkapnya, malah
untuk APBA 2017 Ombudsman hendaknya meminta DPRA dan Pemerintah Aceh untuk
membuat time table pembahasan anggaran beserta tahapan-tahapannya. “Setiap
tahapan diingatkan dan senantiasa diawasi. Semua elemen bisa mengawal,”
usul Munawar Liza.
Diskusi
yang difasilitasi langsung oleh Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin
Husin itu berlangsung dinamis. Para peserta yang terdiri dari akademisi, tokoh
masyarakat, tokoh perempuan, insan pers, politisi, tokoh lsm dan birokrat serta
para pegiat anti korupsi dengan bebas menyampaikan konstribusi ide dan sharing
informasi guna mencari solusi alternative yang kiranya dapat ditindaklanjuti
secara formal maupun nonformal oleh Ombudsman RI sebagai lembaga Negara
pengawas pelayanan publik.
“Diskusi ini juga
sebagai bagian dari upaya untuk mengoptimalkan peran Ombudsman RI yang salah satu
kewenangannya adalah mereview kebijakan,” ujar Taqwaddin.
[Rajali]