BANDA
ACEH - Redaktur
surat kabar Serambi
Indonesia, Yarmen Dinamika mengatakan problema tawuran, penyalahgunaan
narkotika dan seksual ini merupakan patologi social atau penyakit social yang
terjadi di masyarakat.
Dulu patologi social ini ditangani
melalui pengadilan jalanan, misalkan jika ada yang tertangkap mesum maka
masyarakat merendam yang bersngkutan di sungai dan menikahkannya.
Namun saat ini, khususnya di Aceh
penanganannya dibungkus dalam bentuk qanun, seperti qanun tentang khalwat,
jinayat dan sebagainya.
"Seiring
perkembangan waktu patologi social ini kian banya variannya, bahkan saat ini
sudah ada yang namanya lesbi dan homo seksual," ungkapnya saat menjadi
narasumber pada acara diskusi isu actual yang dilaksanakan Kesbangpol dan Linmas Aceh, Sabtu (19/12/2015) di 3 in 1 Coffe, Banda Aceh.
Ia menambahkan, pada tahun 2014 yang
lalu secara diam-diam dilakukan tes urine pada 10 PTS dan PTN se-kota Banda
Aceh, dengan mengambil sampel 300 orang mahasiswa-mahasiswi. Alhasil, tes
tersebut hanya politeknik Aceh yang 100% bersih dari narkotika. Salah satu hal
yang diterapkan di politeknik yakni kawasan bebas asap rokok. Jika, narkoba
merupakan pintu masuk kejahatan, dan rokok merupakan pintu masuk menuju
narkoba.
Berdasarkan data BNN pada tahun 2013
harga narkotika jenis sabu-sabu diperkirakan mencapai 1,5 Miliar rupiah/kg,
pada tahun 2014 harganya mencapai 2 Miliar rupiah/kg, dan terus meningkat pada
tahun 2015 ini harganya sekitar 2,5 Miliar rupiah/kg. Diasumsikan seorang
pengguna sabu-sabu menghabiskan 200 ribu-300 ribu rupiah setiap harinya,
ujarnya.
Menurut catatan BNN pada tahun 2014 ada
69. 385 orang yang tercatat sebagai pengguna narkoba di Aceh, dan terjadi
penambahan ditahun ini menjadi 73. 201 orang. Dari data-data yang ada
diperkirakan terjadi peningkatan pengguna narkoba di Aceh sebesar 2,01 %
pertahunnya. BNN juga mencatat pengguna narkoba menggunakan jarum suntik pada
tahun 2014 sebanyak 17. 611 orang, dan tahun 2015 jumlahnya melebihi 19. 000
orang. Narkoba ini juga ada korelasinya dengan penyebaran HIV dan AIDS di Aceh.
Sementara itu kata Yarmen, jika
berbicara terkait kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi di Aceh dan sangat
memprihatinkan yaknit terkait bully. Bully
didefenisikan sebagai perbuatan tak menyenangkan baik menggunakan kekerasan
secara fisik maupun kekerasan verbal hingga kekerasan psikologis pada anak,
seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Untuk kasus Bulli terbanyak di Banda Aceh
terjadi di sekolah-sekolah. Untuk itu pihak sekolah harus memperhatikan betul
persoalan ini agar tidak terulang lagi.
Padahal, yang yang lebih miris, diperkirakan jumlah lesbi
di Banda Aceh saja mencapai 200 orang saat ini. Setelah dilakukan razia dan
penangkapan maka kini para lesbian ini berpencar ke seluruh Aceh. Ironisnya
lagi sudah ada di Aceh yang terjangkit penyakit homo seksual.
"Semua
itu perlu diantisipasi dan diminimalisir pengembangannya dimulai dengan dari
komponen terkecil yakni pembinaan dan pengawasan dari keluarga," pungkasnya. [red]