Umat Kristen Aceh Singkil beribadah di tenda sementara dekat gereja yang dibakar di Desa Suka Makmur, Aceh Singkil pada 18 Oktober 2015. (IST) |
SINGKIL - Pemerintah provinsi Aceh mengimbau agar umat Kristen di
Kabupaten Aceh Singkil tak lagi menggunakan lokasi gereja yang sudah dibongkar
sebagai tempat peribadatan Natal. Pemprov meminta agar peribadatan dilakukan di
rumah-rumah ibadah yang ada izinnya.
Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Aceh Frans Dellian
mengatakan bahwa tidak ada larangan terhadap perayaan Natal yang berlangsung di
rumah-rumah pribadi umat, asal dilakukan “sesuai dengan ketentuan yang
disepakati”.
“Maksudnya, kalau seandainya di rumah, tapi dalam jumlah
besar, di luar anggota keluarga itu, itu kan berarti harus sesuai ketentuannya
yang diatur di sana. Jadi kalau (diadakan) di rumah, berarti hanya untuk orang
(penghuni) rumah yang bersangkutan, kalau nanti mengundang (orang), kan
skalanya banyak lagi. Nah itu kan ada kesepakatannya di sana,” ujar Frans.
Menurut Frans, yang berubah dalam perayaan Natal di Aceh
Singkil tahun ini hanya lokasi.
“Jika dulu merayakan di rumah ibadah yang sekarang sudah
ditutup kemudian, pindah ke rumah ibadah yang sudah ada izin. Itu aja masalah
penggeseran, ” kata Frans lagi.
Namun pemimpin Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi Elson
Lingga yang mewakili umat Kristiani di Aceh Singkil mengatakan rencana
pemerintah tersebut sulit dilakukan.
Alasannya, menurut Elson, alternatif tempat ibadah yang
tersedia adalah ke Tapanuli Tengah yang lokasinya sekitar 40 km dari Aceh
Singkil. “Ke tempat pengungsian yang dulu, itu kan penuh risiko, selain juga
biaya tinggi, kendaraan juga sulit, Risikonya itu, kalau rombongan-rombongan
berjalan itu justru tidak aman. Kekhawatiran mereka itu, kalau dilarang (di
lokasi gereja), kalau di rumah juga dilarang,mereka ketakutan, gimana kami
itu,” ujar Elson.
Menurut Elson, ada permintaan lisan yang disampaikan oleh
pemerintah kepada umat Kristiani di Aceh Singkil dalam pertemuan dua hari
terakhir agar mereka tak lagi menggunakan tempat ibadah yang sudah dibongkar
atas dasar “tekanan dari pihak intoleran yang akan bertindak.”
Frans mengatakan bahwa pemerintah sudah menyiapkan bus yang
selama ini digunakan untuk mengangkut anak sekolah agar digunakan bagi
transportasi umat yang harus pindah rumah peribadatannya.
Namun ketika disinggung soal bus yang dijanjikan pemerintah,
“Ya nggak ada lah. Tapi gimana caranya itu, besok tanggal 24-25 Natal, sekarang
dijanjikan, gimana caranya itu. Ini kan bukan cuma 1 gereja, (tapi) 10 gereja,
gimana caranya itu?”
Informasi yang kita dapat, mereka hanya diperbolehkan di
gereja yang memiliki izin, padahal yang punya izin hanya dua, gereja. Sementara
jumlah umatnya ditotal mencapai 30 ribu warga.
Wakil ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos
mengatakan bahwa tak semestinya pemerintah melarang peribadatan Natal di
rumah-rumah pribadi bagi kelompok dalam jumlah besar.
“Tidak ada larangan bagi sebuah kelompok untuk melakukan
kebaktian, upacara Natal, di suatu tempat yang bukan gereja, apalagi dalam
keadaan darurat seperti ini,” ujar Bonar.
Bonar menyebut bahwa konstitusi menyatakan setiap WNI bebas
menjalankan agama dan kepercayaan, sekaligus juga memiliki hak kebebasan
berkumpul sehingga dia menilai imbauan Pemprov Aceh ini “melanggar konstitusi”.
“Negara boleh melakukan pengaturan, membuat undang-undang,
tapi bukan kemudian merampas hak tersebut. Kecenderungan selalu seperti ini.
Dengan alasan menjaga keamanan, ada protes dari kelompok lain, kemudian mereka
yang kecil diminta untuk mengalah, bahkan haknya diabaikan, ini kecenderungan
terus berulang, bukan hanya masa sekarang ini, tapi di masa SBY, Soeharto. Ini
ada toleransi semu sebenarnya yang terjadi sekarang ini,” ujar Bonar.
Pemerintah menurut Bonar seharusnya bisa memberi bantuan
lebih agar hak warga negara untuk beribadah tetap terpenuhi, di tengah situasi
yang “darurat”. [BBC]