Logo Pemkab Aceh Singkil. (Foto:IST) |
SINGKIL - Penegakan hukum di Aceh Singkil sudah di ambang pintu
hukum rimba, pilih tebang dalam penegakan hukum sudah menjadi tontonan biasa,
hukum terkesan begitu berpihak kepada penguasa, tajam ke bawah tumpul keatas.
Pasca bentrok berdarah pada hari
selasa tanggal 13 Oktober 2015 lalu, di desa Dangguran yang
menewaskan 1 orang pemuda muslim dan 1 orang luka tembak serta 1 orang luka
tombak hingga kini tidak kunjung selesai, sementara untuk pelaku pembakar rumah
ibadah sudah ditangkap dan akan menjalani persidangan.
Hal itu dikatakan oleh
Koordinator Mahasiswa dan
Pemuda Peduli Singkil (AMPPES), Mawardi, dalam siaran
persnya, Minggu (27/12/2015).
Selain itu, menurutnya problema
mendasar konflik Aceh Singkil adalah tentang pembangunan rumah ibadah ilegal
alias rumah ibadah liar, yang tidak sesuai dengan peraturanj dan kesepakatan
perjanjian antar ummat beragama, namun hal itu tidak pernah ditindak lanjuti
secara tegas oleh pemkab hingga kini. Padahal sudah ada kesepakatan yang
dicapai antar tokoh-tokoh pemuka agama baik dari muslim maupun non muslim
dihadapan pemda Aceh Singkil untuk menutup gereja-gerja yang tidak memiliki
ijin.
Apalacur, ironisnya lagi pelaku
penembakan hingga kini masih tertawa manis di kedai tuak, aktor intelektual
masih menikmati kursi kebebasan dan seolah-olah tidak ada nilai-nilai toleransi
untuk kaum minoritas di aceh singkil. Bahkan kondisi kian memprihatinkan, pada
perayaan natal beberapa hari lalu sudah ada himbauan dari pemerintah Aceh agar kaum
minoritas non muslim untuk melakukan perayaan natal di gereja-gereja yang sudah
memiliki izin, namun lagi-lagi dengan alasan yang antah berantah itu mereka
mendirikan tenda-tenda dilokasi rumah ibadah yang sudah dibongkar
agar terkesan bahwa mereka terdiskriminasi dan terzhalimi.
Sungguh naif, pemerintah daerah dalam
hal ini Bupati dan Wakil Bupati Aceh Singkil hanya diam dan tidak
mengklarifikasi masalah ini. Ditambah lagi, Kapolres Aceh Singkil tidak
mengambil tindakan tegas atas pelanggaran yang dilakukan kaum minoritas non
muslim singkil. Persoalan-persoalan ini pula yang menunjukkan ada
persekongkolan Pemerintah dan pihak penegak hukum dengan non muslim yang
mengarah kepada kebenaran adanya perjanjian Bupati dan Wakil Bupati Aceh
Singkil dengan non Muslim
tempo hari.
Dia menyebutkan, pada hari Kamis tanggal
24 Desember
sekitar pukul 23.00 WIB telah
ditangkap Ustadz Zainal
Abidin dan Yakarim Munir oleh kapolres Aceh Singkil dengan tuduhan “Dua warga
Aceh Singkil itu ditahan karena kumpul-kumpul naik mobil dan hendak bertemu
bupati malam-malam”. Hingga kini sudah dibebaskan ustadz Zainal masih ditahan,
sementara Yakarim Munir dilepas. Alasan penahanannya kepemilikan sebuah pisau
ukuran 1 hasta (± 30 cm), kenapa cuma karena persoalan sepele tersebut
urusannya panjang dan dikenakan sanksi hukum.
“Kalau kita
lihat orang ke sawah saja bawa pisau, bagaimana dengan yang pakai senjata api,
apa itu dibenarkan. Penangkapan ini jelas-jelas merupakan tindakan
kriminalisasi terhadap masyarakat muslim di Aceh Singkil, karena mereka tidak
melakukan apa-apa dan hanya berkumpul-kumpul saja,” tegas Mawardi.
Maka dari itu, Aliansi
Mahasiswa dan Pemuda Peduli Singkil (AMPPES) menyatakan sikap :
1.Mengutuk keras Kapolres Aceh Singkil dan penegak hukum atas
penangkapan semena-mena terhadap masyarakat muslim, jelas ini bentuk kezaliman.
2.Mengutuk keras Bupati dan Wakil Bupati Aceh
Singkil karena tidak sigap dan lamban dalam menertibkan gereja-gereja liar/tidak memiliki ijin, dan terkesan
membela non muslim. Kalau jadi Bupati dan Wakil Bupati Aceh Singkil untuk
menjual atau menggadaikan agama, lebih baik mundur saja.
3.Meminta
kepada kapolda Aceh untuk melepaskan tokoh FUI, Zainal Abidin karena
penahanannya dapat memberikan efek yang berbahaya bagi keberlanjutan hubungan
harmonis antar ummat beragama di Kabupaten Aceh Singkil. Jangan sampai kapolres
baru menjadi alat pemegang rezim untuk menzalimi rakyat. [red]