IST |
JAKARTA - Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini meminta agar Surat
Edaran (SE) Kapolri terkait penanganan ujaran kebencian (hate speech) tak
menjadi alat baru membungkam suara rakyat.
Diakui
Jazuli, di satu sisi, ada semangat positif dari surat itu, yakni demi meredam
sesuatu yang bisa memancing kebencian dalam kehidupan masyarakat.
"Tapi
harus dicermati jangan sampai disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu
untuk membungkam suara rakyat dalam memberikan masukan yang positif dan
konstruktif untuk melakukan perbaikan," kata Jazuli, Senin (2/11).
Jazuli
juga mengatakan, Komisi III DPR RI dapat meminta penjelasan Kapolri bila surat
edaran ternyata bisa membungkam kebebasan rakyat.
Di
luar itu, Jazuli juga mengingatkan agar mulai saat ini, masyarakat harus
mengedepankan etika dalam menyampaikan aspirasinya.
Seperti
diketahui, Kepala Polri Jenderal Polisi Badrodin Haiti membenarkan sudah
menandatangani Surat Edaran tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate
Speech. Surat dengan Nomor: SE/06/X/2015 itu ditandatangani Kapolri pada 8
Oktober 2015 lalu.
Pada
Nomor 2 huruf f Surat itu, disebutkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa
tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan
pidana lainnya di luar KUHP.
Bentuknya
antara lain penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak
menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong dan semua
tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi,
kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Pada
huruf (g) disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas,
bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau
kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek suku,
agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna
kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.
Pada
huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian
dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain misalnya dalam orasi
kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian
pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak atau
elektronik dan pamflet.
Pada
nomor 3 SE itu, diatur prosedur kepolisian polisi dalam menangani perkara
tersebut.
Pertama,
setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai
bentuk-bentuk kebencian.
Kedua,
personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di
masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Ketiga,
setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi
dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran
kebencian.
Keempat,
setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan
kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran
kebencian.
Apabila
ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian,
maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan. Antara lain memonitor dan
mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat, melakukan
pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian.
Kemudian,
mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran
kebencian, mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan
memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di
masyarakat.
Terakhir,
jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka
penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum.
Upaya
itu harus sesuai dengan KUHP, UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, UU nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis. Kemudian, UU nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial. [Suara Pembaruan]