IST |
JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo
menyatakan, dirinya bakal terus berkoordinasi dengan Menteri Agama (Menag)
Lukman Hakim Saifudin terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menag
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Secara
khusus, dia menilai salah satu syarat pendirian rumah ibadah harus disetujui 90
orang, tidak tepat.
“Soal SKB, kami terus
kontak kepada Menag. Nanti kami kaji. Izin mendirikan tempat ibadah yang
harusnya 90 orang harus dikurangi, kalau perlu enggak ada,”
kata Tjahjo dalam pertemuan dengan Peserta Jambore Perempuan, di Gedung
Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Jakarta, Senin (9/11).
Dia
menyatakan, negara harus memberikan jaminan kebebasan untuk setiap warga negara
memeluk agamanya masing-masing. “Mau pengajian di
mana, ibadah di mana, bangun gereja, bangun masjid di mana harus dijamin
kebebasannya,” tegasnya.
“Ada orang bangun
gereja, mayoritas memenuhi, kok dilarang kenapa? Karena namanya kiai ini. Lalu
enggak boleh bangun masjid karena namanya Antonius ini. Ini masih terjadi di
Indonesia,” tukasnya.
Menurutnya,
saat ini sebetulnya masalah kerukunan umat beragama tidak perlu diperdebatkan. “Kalau
bahas kerukunan lagi ya repot, mayoritas minoritas ya repot. Masing-masing
punya hak,” imbuhnya.
Peserta
Jambore yang bertemu dengan Mendagri sekitar 36 orang perempuan. Kaum perempuan
yang hadir terdiri dari beragam latar belakang seperti buruh tani, pekerja
rumah tangga serta aktivitas pejuang perdamaian dari Aceh.
“Kami telah banyak
kajian perda (peraturan daerah) diskriminatif, sudah ditemukan Komnas
Perempuan, kita kaji apakah perda diskriminatif konstitusional atau tidak atau
perlu direvisi. Kami juga melakukan pendampingan kelompok minoritas beragama.
Kami banyak menemukan, berkembangnya tafsir konservatif yang berujung pada
kekerasan yang diilhami produk hukum nasional,”
kata perwakilan perempuan dari Fahmina Institute, Alif.
Dia
mencontohkan beberapa produk hukum itu seperti UU Nomor 1/1965 tentang Penodaan
dan Penistaan. “Publik banyak menafsirkan sesat dari UU ini,”
ujarnya.
Adapun
produk hukum lainnya yakni SKB Mendagri, Menag dan Jaksa Agung tentang Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat. SKB tersebut mengilhami penyerangan
dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah di sejumlah daerah.
Selanjutnya
yang disoroti yakni SKB dua menteri yang salah satunya mengatur pendirian rumah
ibadah. “Kemudian SKB dua menteri. Ini telah menyebabkan umat
Kristen tidak bisa beribadah.
Solusinya,
kami minta kepada Mendagri segera melakukan sinkronisasi semua produk hukum
dengan konstitusi negara dengan cara melakukan review dan pembatalan produk
hukum yang terbukti memicu diskrimnasi,” ucapnya. [Suara Pembaruan]