IST |
JAKARTA - Surat Edaran hate speech atau ujaran kebencian
Kapolri tentang Penanganan ujaran kebencian atau hate speech dinilai bukan
peraturan perundang-undangan. Itu diutarakan Miko Susanto Ginting, Peneliti
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Menurut
Miko, Surat Edaran hate speech atau ujaran kebencian itu hanya perintah lebih
lanjut dari institusi, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia.
"Surat
ini bukan UU, tapi bukan juga disusun tanpa melihat kaidah-kaidah yang berlaku.
Kepolisian harus mengatur secara jelas, ini tujuannya apa? Untuk ujaran
kebencian, tetapi arahnya melebar," kata Miko di kantor Komisi untuk Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Jalan Kramat II Nomor 7, Jakarta Pusat,
Selasa 10 November 2015.
Lanjut
miko menerangkan, SE itu menjadi kabur karena didalamnya memuat pasal
penghinaan atau pencemaran nama baik dari pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Padahal menurut dia, disatu sisi SE itu patut diapresiasi karena
cukup baik.
"Jadi
ada langkah maju institusi mengatur ujaran kebencian. Karena ada banyaknya
kerusuhan dari hate speech seperti di Tolikara dan Aceh," kata dia.
Karena
itu kata Miko, SE itu harus bisa dipertanggung jawaban kepada publik. Hal-hal
apa yang perlu diatur dan apa alasannya memasukkan pasal penghinaan itu.
"Masih
banyak kerancuan sendiri dari hate speech itu, ketika ada pencemaran nama baik
dan perbuatan tidak menyenangkan. Batasannya sampai mana," kata
Miko.
Miko
menambahkan, penghinaan, pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan
itu sifatnya individu, karenanya berbeda sekali dengan hate speech.
"Penghinaan
dan lain-lain itu delik aduan, kalau hate speech bukan. Jadi harus direvisi
surat edaran ini. Jadi cukup itu saja tidak memasukan penghinaan,"
ujarnya.[Viva]