IST |
LANGSA - Berdasarkan
sejarah pembentukannya, Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki beserta
terusannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau
disebut UUPA bukan hanya sebatas alat pemutus konflik di masa lalu, akan tetapi
juga merupakan keinginan rakyat Aceh yang dicia-citakan terwujud di masa yang
akan datang.
Sudah hampir sepuluh tahun sejak UUPA disahkan, masih banyak
butir-butir yang belum terealisasi bahkan terkesan mulai dilupakan.
Direktur Eksekutif DPW Pusat Analisis Kajian Advokasi Rakyat Aceh
(PAKAR) Kota Langsa, Khairul Riza, SH mengatakan, “cita-cita rakyat Aceh yang
terkandung dalam UUPA tidak akan terlaksana secara otomatis. Butuh kerja sama
dari semua elemen mulai dari pemerintahan pusat, daerah bahkan masyarakat Aceh
sendiri untuk mewujudkan semua itu.”
Menurutnya, pada saat ini pemahaman masyarakat terhadap MoU
Helsinki dan UUPA masih lemah sehingga mengakibatkan fungsi pengawasan
masyarakat terhadap UUPA tidak berjalan baik. Untuk mengatasi hal tersebut,
Khairul meminta Dinas Pendidikan Aceh memberikan ruang khusus bagi generasi
muda untuk mempelajari MoU Helsinki dan UUPA dalam kurikulum dunia pendidikan
di Aceh.
“Hal tersebut penting untuk menjaga keberlangsungan tercapainya
cita-cita rakyat Aceh yang telah dituangkan dalam UUPA,” katanya melalui siaran
persnya yang diterima lintasatjeh.com, Ahad (15/11/2015).
Khairul menambahkan, Gubernur Aceh dalam hal ini harus segera
mengusulkan Rancangan Qanun yang membahas tentang kurikulum perdamaian MoU
Helsinki di sekolah pada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sesuai janjinya
pada Tahun 2014 silam.
PAKAR akan terus mendorong Pemerintah Aceh dan legislatif Aceh
untuk membentuk sebuah tim khusus, yang bertujuan melahirkan produk hukum baru
atau qanun di Aceh yang diamanatkan dalam UUPA.
“Selain itu, perlu disadari bahwa momentum perdamaian merupakan
kilas balik refleksi masyarakat Aceh dalam memperjuangkan hak-hak mereka kepada
Pemerintah Pusat,” pungkasnya.[red]