IST |
JAKARTA - Tahun ini, persis 50 tahun terjadinya peristiwa pembantaian massal pada tahun 1965. Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan,
diperkirakan 500 ribu sampai tiga juta orang di berbagai daerah menjadi
korban dalam tragedi tersebut.
Sementara itu, ratusan orang dipenjara dan sekitar 12 ribu orang di buang ke Pulau Buru.
Alih-alih ada titik terang untuk menuntaskan kasus itu, tahun ini
justru ditandai dengan kembalinya ‘Hantu PKI’. Diskusi dan semua hal
yang berbau tragedi ‘65 dituduh akan menghidupkan kembali paham
komunisme yang telah lama mati.
Dan, biasanya akan berujung dengan represi dan intimidasi. Seperti
yang menimpa Tom Iljas. Warga Indonesia yang terusir dan harus hidup di
luar negeri, karena kewarganegaraanya telah dicabut oleh Orde Baru, dan
harus berurusan dengan polisi dan imigrasi hanya gara-gara berziarah ke
makam orangtuanya.
Majalah Lentera yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, juga ditarik oleh Rektorat Kampus UKSW. Gaya purba itu dilakukan, karena majalah tersebut membahas soal “Peristiwa PKI” 50 tahun silam di Salatiga. Tak hanya itu, majalah Lentera yang tersebar di agen koran, atau di luar kampus juga 'diambil' Kepolisian Resor Salatiga.
Kasus serupa juga menimpa Ubud Writers Festival. Sejumlah agenda
acara terkait peristiwa pembantaian massal 1965 di Indonesia, dalam event Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2015 terpaksa dibatalkan, karena tidak mendapat restu dari Kepolisian.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam,
menilai kasus-kasus tersebut terjadi, karena sejumlah kalangan masih
takut wacana tragedi 1965 kembali dihidupkan.
Menurut dia, ada pihak-pihak yang tak mau tragedi kemanusiaan yang
menyedot perhatian dunia internasional tersebut, dibuka dan diungkap ke
publik.
Pria yang bergelut dalam pelurusan sejarah Indonesia ini mengatakan,
mereka tidak takut Partai Komunis Indonesia (PKI) akan hidup lagi.
Mereka hanya cemas diminta bertanggung jawab atas tragedi yang terjadi
50 tahun silam tersebut.
Demikian petikan wawancara yang dilakukan VIVA.co.id dengan ahli sejarah asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat ini. Wawancara dilakukan di Gedung Joang, Jakarta, Rabu 28 Oktober 2015.
Bagaimana tanggapan Anda dengan pembredelan Majalah Lentera?
Itu fenomena ketakutan terhadap palu arit (PKI). Jadi, ketakutannya
pada palu aritnya. Jadi, cover Lentera itu ada orang yang berdemo dan
mengacungkan bendera yang bergambar palu arit.
Kenapa harus takut?
Ketakutan terhadap palu arit selalu dikeluarkan dan direproduksi
menjelang tanggal 30 September. Selalu dari tahun ke tahun sejak masa
Orde Baru untuk memperlihatkan masih ada bahaya laten PKI.
Apa benar PKI hidup lagi?
Saya menolak dengan keras fakta, atau ungkapan yang pernah
disampaikan Kivlan Zein (Mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal
(Purn) Kivlan Zen) yang mengatakan bahwa di Magelang, kalau saya tidak
salah, ada pembentukan PKI baru.
Saya ingin katakan, buktinya apa? Kalau itu benar, tentunya akan
diberitakan di suratkabar. Ini tidak ada satu pun media yang resmi
memberitakan. Kalau pun ada, tentunya mereka diproses oleh polisi,
karena dianggap mendirikan partai terlarang. Ini kan tidak ada. Jadi,
pernyataan-pernyataan seperti itu menurut saya, pernyataan yang tidak
ada buktinya, tidak ada kebenarannya dan sangat berlebihan.
Jadi, tidak benar PKI hidup lagi?
Tidak benar sama sekali. Tidak ada. Coba sampaikan pada saya, di mana ada pembentukan partai komunis yang baru itu?
Menurut Anda sendiri?
Saya melihat, tidak ada lagi gerakan dari kelompok komunisme dan yang
menyebarkan marxisme tidak ada. Yang ada, hanya solidaritas para korban
1965 yang mencoba berkumpul dan saling berbagi nasib.
Kenapa mereka harus berkumpul?
Itu bagi mereka semacam healing, semacam pengobatan bertemu
sesama mereka dan bercerita dan melakukan kegiatan yang produktif.
Misalnya, mereka membentuk paduan suara. Ini menyalurkan rasa seni
mereka. Ada paduan suara dari kalangan ibu-ibu korban 1965. Ada yang
melakukan kegiatan kesenian yang lain, melukis misalnya.
Mengapa tahun ini gerakan anti PKI begitu mengeras?
Hantunya ada dua. Pertama, hantunya gambar palu arit. Jadi,
pada bulan September - Oktober ini ada gambar palu arit yang ditemukan
di kos mahasiswa dan itu diributkan.
Dan, yang ironis di Bali. Ada kejadian pelatih selancar dari Rusia.
Pelatih dari Rusia ini sudah enam bulan di Bali melatih selancar dan
tiap melatih ingin tahu arah dan kekuatan angin.
Selama ini, dia memakai bendera merah putih. Kebetulan bendera merah
putih sudah sobek dan dia tanya pada teman-temannya apakah mereka ada
bendera. Kebetulan ada yang mempunyai bendera Uni Soviet. Uni Soviet kan
sudah bubar. Jadi, benderanya tidak dipakai lagi. Itu yang dia kibarkan
di depan rumahnya untuk tahu kekuatan arah angin. Begitu dikibarkan 15
menit, rumahnya sudah dikepung polisi. Padahal, tujuannya sangat
praktis, yakni untuk mengetahui arah angin.
Apa yang membuat mereka begitu takut dengan simbol-simbol itu?
Mereka sengaja menciptakan ketakutan terhadap simbol ini. Karena palu
arit adalah PKI. Jadi, ketakutan terhadap PKI ini dipelihara terus
menerus dengan simbol palu arit. Padahal, kita tahu palu lambang buruh
dan arit petani. Kenapa harus selalu dikaitkan bahwa palu arit adalah
PKI?
Lalu, hantu kedua?
Kedua, itu kuburan. Kuburan itu sangat ditakuti. Karena pada
masa lampau terjadi pembunuhan massal yang menurut saya itu sekitar 500
ribu orang menjadi korban. Kalau ada upaya-upaya untuk menggali kuburan
massal ini akan selalu dihalangi. Ada saja kelompok yang menghadang dan
mengejar mereka.
Kenapa?
Artinya, jangan ganggu kuburan massal itu. Jangan coba tanamkan nisan
di kuburan massal itu. Artinya, jangan diungkap pembunuhan massal yang
terjadi pada 1965-1966.
Seperti kasus Tom Iljas?
Dia hampir tiap tahun pulang. Karena ibunya sudah berusia 100 tahun.
Baru meninggal mungkin 1-2 tahun ini. Dia pulang karena menjenguk ibunya
yang berusia sangat tua itu. Tapi tahun ini, dia juga mengetahui kalau
ayahnya dikuburkan di kuburan massal di daerah pesisir selatan.
Dan, ketika dia ingin mencoba berdoa di sana dan memotret, sudah ada
massa yang menghadang. Kemudian, dia ditangkap dan dideportasi. Jadi,
ada dua hantu di sini. Pertama, palu arit. Kedua, kuburan. Jadi, hantu itu yang tetap dipelihara.
Untuk apa mereka mereproduksi ketakutan itu?
Untuk menghalangi pengungkapan kebenaran. Untuk menghalangi upaya-upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat ini.
Siapa mereka?
Tentunya, pihak yang menghalangi ini adalah orang-orang yang dulunya
terlibat di dalam upaya, atau tindakan pelanggaran HAM berat, atau
instansi yang dulu terlibat dalam melakukan kekerasan itu.
Artinya, ada ketakutan dari pelaku terkait dengan pengungkapan tragedi 1965?
Ya, betul
Belakangan ada ketakutan akan munculnya PKI baru. Tanggapan Anda?
Menurut saya, marxisme itu sudah ambruk. Komunisme itu sudah runtuh
di Uni Soviet. Di China pun demikian. Mereka masih menganut komunisme,
tetapi di sisi lain mereka sudah menerapkan kapitalisme. Saya sendiri
menganggap, tidak ada prospek kebangkitan ideologi marxisme. Jadi, apa
yang ditakuti?
Artinya, reproduksi isu PKI itu bukan karena takut munculnya
ideologi komunisme, tetapi lebih pada upaya menutupi agar kasus 1965 tak
terungkap?
Iya, lebih pada upaya defensif, mempertahankan diri, menyelamatkan
diri supaya kejahatan masa lalu tidak terungkap. Supaya nama mereka
tidak tercemar dan tertulis dalam sejarah sebagai pelaku pelanggaran HAM
berat.
Menurut Anda, siapa yang memproduksi isu dan hantu PKI ini?
Lembaga-lembaga yang dulu terlibat dalam pemberantasan PKI, atau
organisasi yang ikut terlibat dalam pemberantasan PKI pada tahun ‘65.
Bagaimana Anda melihat posisi pemerintah dalam masalah ini?
Pada mulanya, ada wacana pemerintah akan meminta maaf. Tetapi, wacana
itu diplesetkan dengan Jokowi (Presiden Joko Widodo) meminta maaf
kepada PKI. Tidak benar. Jokowi tidak akan minta maaf pada PKI. Jokowi
kalau minta maaf pada korban pelanggaran HAM berat. Jadi, bukan pada
PKI. Tetapi, karena diplesetkan wacana itu menjadi turun.
Lalu?
Jokowi dalam pidato kenegaraan mengatakan, supaya dilakukan,
dipikirkan, direncanakan, bagaimana cara yang bijaksana dan bermartabat.
Dalam hal ini pemerintah, atau Presiden Jokowi sangat positif untuk
menyelesaikan kasus ini. Namun, resistensinya cukup tinggi, termasuk
orang-orang yang ada di lingkungan Jokowi sendiri. Apakah itu istana,
atau orang-orang Kejaksaan dan lainnya.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini?
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dihidupkan kembali. Tapi
tidak melalui undang- undang, karena prosesnya sangat lama dan
tergantung DPR. Jadi, melalui Kepres. Saya usulkan supaya komisi itu
dibentuk Presiden dan bersifat independen.
Anggotanya?
Anggotanya terdiri dari sembilan orang perempuan yang selama ini
bergerak dalam bidang HAM. Mereka dalam tempo 1-2 tahun mengeluarkan
rekomendasi untuk rehabilitasi dan lainnya.
Kenapa harus sembilan perempuan?
Karena terinspirasi sembilan perempuan yang menjadi Pansel Komisi
Pemberantasan Korupsi. Ketika Jokowi mengambil kebijakan sembilan
perempuan, semua orang tidak ada yang menolak. Tetapi, sembilan orang
ini adalah orang yang sudah belasan tahun menekuni masalah HAM dan
perempuan. Mereka sudah aktif di Komnas HAM, Komnas Perempuan, LBH dan
KontraS.
Menurut Anda, bagaimana peluang Jokowi untuk menyelesaikan kasus ini?
Jokowi punya keuntungan, karena tidak memiliki beban masa lalu.
Berbeda dengan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Karena SBY
adalah menantu Sarwo Edhie (mantan Komandan RPKAD-kini Kopassus). Dan,
Sarwo dikaitkan dengan operasi militer tahun 1965 dan itu menjadi beban
bagi SBY. Jadi, ini kesempatan Jokowi agar dalam empat tahun bisa
menyelesaikan persoalan ini.
Apa yang harus dilakukan bangsa ini untuk menyelesaikan masalah ini?
Dengan pembentukan KKR itu akan diungkapkan kebenaran bahwa mereka
yang dibuang ke Pulau Buru tidak salah. Mereka dibuang tanpa proses
pengadilan selama 10 tahun. Ini kan harus diungkap.
Kenapa?
Agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Banyak kasus di
Indonesia tidak pernah diungkapkan dan diselesaikan sampai tuntas,
sehingga kasus yang sama terulang lagi.
Contohnya?
Kasus penculikan. Kasus penculikan sejak Indonesia merdeka terulang
terus sampai 1997. Ini terjadi, karena kasus ini tidak pernah
dituntaskan oleh pemerintah.
Jadi, kalau tidak diselesaikan, ada potensi kasus ini akan terulang?
Iya. Ada potensi pembunuhan-pembunuhan massal ini akan terjadi pada masa yang akan datang.
Apa dampaknya kalau kasus ini tidak diselesaikan?
Pertama ada ribuan, bahkan jutaan orang yang terkena stigma dari
peristiwa ini. Mereka menutup diri mereka, mereka menderita karena
peristiwa ini.
Harapan Anda terhadap pemerintah?
Pertama, kebangkitan PKI itu sesuatu yang absurd. Penyebaran komunis
adalah sesuatu yang tidak menarik lagi bagi orang Indonesia, bahkan di
dunia. Karena itu, ketakutan terhadap komunisme seharusnya tidak
dipelihara terus.
Selain itu?
Membuka ruang dialog yang mau saling mendengarkan. Walau saya sendiri
tak begitu yakin mereka yang selama ini gencar mengampanyekan tentang
bahaya laten PKI akan mengubah sikapnya. Tetapi, pada generasi
berikutnya, pada generasi kedua atau ketiga. Saya tidak berharap pada
generasi pertama yang dulunya terlibat pada pelanggaran HAM berat.
Tetapi, pada generasi berikutnya yang ketika membaca sejarah, mereka
bisa melihat peristiwa itu dengan lebih jernih.
Anda yakin Jokowi akan menyelesaikan masalah ini?
Kesempatannya hanya empat tahun. Setelah empat tahun ini, kita tidak
tahu apa yang akan terjadi. Jokowi memang tidak punya beban masa lalu.
Tetapi, tergantung dari orang orang yang ada di sekelilingnya.[Viva]