BANDA ACEH - Pengamat Politik, Hukum dan Keamanan Aceh Aryos
Nivada mengatakan tanpa pasal 205 dalam UUPA ataupun ada sangat terbuka peluang
polisi bermain mata dengan penguasa di setiap momentum Pilkada.
Menurutnya,
tidak ada persoalan dengan pasal 205 Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) soal
pengangkatan Kapolda Aceh harus disetujui Gubernur. Namun yang terpenting
bagaimana fungsi element masyarakat sipil melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap kinerja aparat penegak hukum.
“Jika melanggar maupun
menyimpang dengan mendukung partai politik dan penguasa di eksekutif maka bisa
dilaporkan ke Mabes Polri dan Kompolnas, Komnas HAM, dan lainnya. Pertanyaan
apakah element masyarakat sipil ada menjalankan fungsi kontrol terhadap aparat
kepolisian?,” ungkap Aryos, Jum'at (30/10/2015).
Aryos
menambahkan, jika diperlukan buat usulan masyarakat sipil kepada Pemerintah
Aceh tentang mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
Sehingga jelas apakah bermain mata dengan penguasa atau tidak dalam proses
pemberian persetujuan tersebut.
Aryos
berkeyakinan pihak kepolisian tidak masalah Pasal itu diberlakukan bagi Aceh
secara khsusus terhadap pengangkatan Kapolda. Karena ada mekanisme yang ketat
dalam penempatan seorang Kapolda di Aceh, karena Polda Aceh tipe A bukan tipe
B.
Peneliti
Jaringan Survey Inisiatif itu lebih lanjut mengatakan, Mabes Polri memiliki
syarat ataupun kriteria yang tidak sembarangan orang ditempatkan, salah satu
syaratnya pasti akan mempertimbangkan orang daerah, memahami kultur Aceh.
“Kalau pun tetap
berkeinginan mengajukan judicial review maka Mahkamah Konstitusi harus
benar-benar mempertimbangkan kematangan aspek yuridis yang dilanggar dalam
pasal tersebut dan efek sosiologis bagi masyarakat Aceh. Jika tidak ini akan
menjadi bumerang bagi Aceh secara stabilitas keamanan atas reaksi publik
masyarakat Aceh yang pro dan kontra,” ujarnya panjang
lebar.
Dirinya
pun telah menelusuri asal mula diusulkan Pasal 205 pada Undang-Undang (UU) No
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan, penetapan Kapolda Aceh
berdasarkan persetujuan dari Gubernur Aceh pada aspek filosofi dan historis
ditemukan bahwa, pengusulan pasal itu pertimbangannya karena faktor ingin
melakukan fungsi kontrol (chek and balance) terhadap penempatan kapolda di
Provinsi Aceh.
“Selain itu pengusulan
pasal itu ketika dalam perjanjian MoU Helsinki para pengusul mempertimbangkan
bahwa seorang kapolda yang ditempatkan di Aceh harus memahami tradisional
wisdom, dimana seorang kapolda harus memahami kultur masyarakat Aceh,”
tutup Penulis Buku Wajah Politik dan Keamanan Aceh.[Red]