MATARAM - Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
mengungkapkan pelaku illegal loging dan perambahan hutan di wilayahnya mencapai
ratusan orang. Delapan orang sudah divonis pengadilan dan ratusan orang lainnya
masuk tahap pengadilan serta ada yang masih tahap penyelidikan dan penyidikan.
“Dalam kurun waktu
2015, yang ditangani dinas periode Januari- Oktober se NTB rata-rata pelaku
illegal logging dan perambahan mencapai ratusan orang. Kasus yang masuk
tahap ke pengadilan ada seratusan, yang divonis sudah delapan orang. Kalau
penyelidikan dan penyidikan masih banyak,” ujar Kepala Dishut
NTB, Andi Pramaria kepada wartawan, Jumat (2/10).
Jika
melihat jumlah kasus, ia menuturkan, relatif sedikit. Meski begitu, pada tiap
kasus yang ada bisa menyeret banyak orang tersangka. Tidak hanya itu,
dirinya mengaku melakukan penindakan disiplin dan memindahkan posisi kerja
terhadap tiga pegawai dishut yang diduga membekingi perambahan hutan .
Saat
ini, Andi mengatakan tengah berkonsentrasi menindak pelaku illegal logging dan
perambahan hutan di Mata, Sumbawa. Sebab, tindakan yang melanggar hukum itu
membuat hutan disana rusak parah mencapai ratusan hektare.
Menurutnya,
modus yang digunakan pelaku ilegal loging dan perambahan kayu di Sumbawa dengan
mengubah dokumen negara menjadi dokumen nota kayu olahan. Sehingga, kayu ilegal
bisa menjadi legal. Lebih parahnya, dokumen yang diubah dengan mudah itu
didukung oleh peraturan daerah setempat.
“Semua kayu yang masuk
ke Sumbawa diganti dokumennya. Ada namanya nota, faktur yaitu dokumen
negara, begitu masuk Sumbawa diganti nota kayu olahan. Yang ilegal bisa menjadi
legal,” ungkapnya.
Dirinya
berharap agar peraturan daerah tersebut dicabut agar dinas kehutanan bisa
melacak keberadaan kayu ilegal. Tidak hanya itu, yang menjadi persoalan lain
adalah adanya kawasan hutan lindung yang disertifikatkan oleh masyarakat
seperti di Sekaroh, Lombok Timur mencapai 10 hektar. Ataupun, di hutan Lindung
di Taman Nasional Gunung Rinjani yang diklaim hutan adat mencapai 300 hektare.
Ia
pun meminta agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa berkoordinasi terlebih
dahulu terkait saat mengeluarkan sertifikat. Sehingga, sertifikat yang
dikeluarkan untuk lahan tidak berada di kawasan hutan lindung.[Republika]