IST |
ACEH
TAMIANG
- Kasus dugaan korupsi sejumlah proyek bermasalah banyak terjadi di Kabupaten
Aceh Tamiang. Hal ini dikarenakan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang serta
adanya dugaan mark up anggaran diawali adanya konspirasi kepentingan
oknum-oknum di jajaran eksekutif maupun legislatif yang ada di Kabupaten Aceh
Tamiang. Kemudian, tidak adanya perencanaan yang matang dalam pembangunan dan
terkesan asal-asalan serta tidak transparansinya asal anggaran, justru besar
potensi timbulnya kerugian keuangan negara. Dengan adanya keanehan dan
kejanggalan terutama diproses penganggaran, maka ini harus diusut tuntas.
Seperti kasus dugaan
mark up lahan milik Suherli alias Asiong untuk lokasi pembangunan pasar
tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda,
Kabupaten Aceh Tamiang, diduga akan menyeret banyak oknum pejabat eksekutif
beserta oknum pejabat legislatif di kabupaten setempat. Nilai dugaan mark up
cukup fantastis dimana harga lahan ditaksir tidak mencapai Rp 800 juta namun
dianggarkan hingga angka Rp 2,5 miliar. Saat ini proses penyidikan masih
berjalan, dalam proses penyidikan pihak Kejari Kuala Simpang, Aceh Tamiang.
Berikut hasil penelusuran
dan investigasi wartawan dalam upaya mengungkap jejak kasus lingkaran 'SETAN'
dugaan korupsi anggaran ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Kebun
Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang.
Berdasarkan hasil
pengumpulan data di lapangan yang dilakukan oleh LSM LembAHtari yang menemukan
adanya indikasi tindak pidana korupsi ganti rugi lahan untuk pusat pasar
tradisional di Kebun Tengah, dugaan itu muncul karena usulan ganti rugi lahan
tidak pernah dibahas oleh Badan Anggaran DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lalu.
Memang, pada tanggal 8 Agustus 2014, ada rapat terakhir Badan Anggaran DPRK
yang dipimpin Wakil Ketua DPRK H. Arman Muis. Namun berdasarkan resume dan
hasil rapat tersebut, Banggar tidak membahas tentang persoalan ganti rugi lahan
untuk pusat pasar tradisional itu. Tapi anehnya, pada tanggal 5 September 2014,
muncul anggaran ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional tersebut, di
APBK Perubahan 2014 dengan anggaran sebesar RP 2,5 Milyar dan ditetapkan dalam
Qanun APBK P No.5 Tahun 2014.
"Kalau kita usut
ke belakang. Pada awalnya pihak terkait, dalam hal ini Disperindagkop Aceh
Tamiang di bulan 4, 5, 6 dan bulan 7 tahun 2014, tidak pernah ada usulan
program itu. Ini suatu keanehan, kok tiba-tiba diplotkan di APBK P, darimana
sumber dananya?" demikian tanya Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed
Zainal M, SH, beberapa waktu lalu kepada wartawan.
Masih kata Sayed,
namun ini perlu pembuktian, dan kita sudah ada data penunjang. Karena soal
ganti rugi lahan tersebut di akhir Tahun 2012, tidak mencapai Rp 800 juta, tapi
kok Tahun 2014 bisa di angka Rp 2,5 Milyar. Meski ada pemotongan di BPHTB,
namun apabila berpatokan NJOB, tidak sampai di angka itu. Seharusnya, dalam
menentukan harga ganti rugi lahan memakai nilai kepatutan. Ternyata, tidak ada
estimasi anggaran lagi dari Disperindagkop untuk pembangunan lokasi itu
kedepan.
"Sudah
perencanaan asal-asalan, kemudian tidak ada pengembangan lanjutan. Jelas, ada
indikasi mark up, ada potensi korupsi," sebut Sayed Zaenal.
Pengakuan
Mantan Kadisperindagkop Kabupaten Aceh Tamiang
Terkait kasus
tersebut, mantan Kadisperindagkop Kabupaten Aceh Tamiang, Abdul Hadi, mulai
berani menyampaikan kejujurannya bahwa berita yang beredar mengandung unsur
kebenaran. Cuma menurutnya, terkait permasalahan indikasi mark up yang harus
diklarifikasi balik. Mantan Kadisperindagkop mengaku proses ganti rugi lahan
untuk lokasi pusat pasar tradisional Minuran sudah sesuai dengan standar
perbandingan harga. Dengan sertifikat pembanding dan juga telah sesuai dengan
surat keterangan harga dari datok desa setempat.
“Jujur, saya katakan
bahwa pekerjaan tentang pembangunan pusat pasar tradisional di Minuran tersebut
bukanlah usulan dari saya. Dan saya hanya menjalankan perintah dari pimpinan.
Dan saat itu saya hanya menjalankan perintah dari pimpinan untuk membuat usulan
karena dikabarkan ada anggaran di bagian keuangan dan rancangannya pun sudah
disiapkan oleh pihak Bapeda Kabupaten Aceh Tamiang. Oleh karenanya semua data
untuk pekerjaan yang saya usulkan tersebut, langsung di drop out dari pihak
badan anggaran ke pihak petugas anggaran di Disperindagkop Aceh Tamiang,”
katanya.
"Ironisnya,
usulan tersebut sudah ada dokumennya dan ada kesan bahwa seolah-olah dokumen
yang sudah dipersiapkan itu sebagai alat pembuktian bahwa jauh-jauh hari saya
sudah membuat usulan tentang pekerjaan yang sedang didera masalah besar ini.
Saya membuat usulan setelah dinyatakan adanya anggaran oleh bagian keuangan
serta pihak Bapeda Aceh Tamiang. Ketentuannya, jauh-jauh hari saya harus
membuat usulan terlebih dahulu, barulah nantinya akan muncul anggaran untuk
usulan tersebut. Bukankan pekerjaan ini sangat rancu?" tanyanya serius.
Masih menurut Abdul
Hadi, biasanya untuk mengusulkan anggaran berupa pengecatan kantor ataupun
untuk perbaikan komputer rusak, sangatlah sulit prosesnya. Tapi entah kenapa
untuk anggaran yang jumlahnya sangat besar tersebut, yakni sejumlah Rp. 2,5
Milyar, sangat mudah sekali pencairannya? Siapa sesungguhnya yang telah nekad
bermain curang dalam permasalahan ini? Kita harus menganalisa tentang kapasitas
dan sistem kerja pihak Panitia Anggaran Kabupaten Aceh Tamiang. Apakah panitia
anggaran yang terdiri dari A, B, C dan seterusnya merupakan panitia beneran,
top down, ataukah hanya panitia titipan?
"Adapun keanehan
lainnya yang terlihat adalah usulan tentang permasalahan pusat pasar
tradisional di Minuran tidak pernah dibahas dalam sidang-sidang saat menuju
pencairan anggaran. Saya justru merasa curiga terhadap sikap kepedulian yang
terkesan berlebihan dari seorang Ketua DPRK Aceh Tamiang terhadap kasus ganti
rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Minuran. Selama ganti rugi tanah
untuk pusat pasar tradisional di Minuran tersandung masalah, Ketua DPRK Aceh
Tamiang sangat sering menelpon saya, dan selalu menanyakan tentang kabar
permasalahan tersebut. Bahkan saat sekda menggelar rapat terkait permasalahan
tersebut, Ketua DPRK Aceh Tamiang berupaya hadir walaupun tanpa ada undangan.
Ketua DPRK berupaya untuk terus memantau (memonitor_red), tentang permasalahan
ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Kec. Kejuruan
Muda. Apa maksud dan tujuan atas perilaku aneh Ketua DPRK Aceh Tamiang
tersebut?" tanya Abdul Hadi dengan perasaan aneh.
Kesaksian
Anggota Banggar dan Wakil Pimpinan DPRK Aceh Tamiang
Kasus ini diduga
melibatkan oknum-oknum di DPRK Aceh Tamiang serta Pemerintah Kabupaten Aceh
Tamiang sebagai pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melalui Kadisperindagkop.
Karena kasus ini dirasakan banyak kejanggalan dan penuh rekayasa sebab tidak
pernah dibahas dalam rapat-rapat Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014. Hal ini
diperkuat dari hasil konfirmasi wartawan dengan beberapa anggota Banggar yang
terlibat saat itu.
Salah seorang anggota
Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, dari Partai Aceh (PA), Juniati
menyampaikan bahwa seingat dirinya usulan ganti rugi lahan untuk pasar
tradisional di Desa Minuran tidak pernah ada pembahasan di badan anggaran
(banggar).
"Seingat saya,
tidak ada dibahas di badan anggaran," sebut Juniati singkat.
Hal yang sama juga
disampaikan anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lainnya, yakni Juanda
dari Partai Amanat Nasional (PAN). "Seingat dirinya di Banggar DPRK Aceh
Tamiang Tahun 2014, tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang permasalahan
ganti rugi lahan untuk pasar tradisional di Desa Minuran, Kecamatan Kejuruan
Muda. Oleh karenanya, saat pencairan dana ganti rugi lahan tersebut, pada
pertengahan bulan Desember 2014 kemarin, saya pribadi beserta banyak anggota
Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lainnya, merasa sangat terkejut,"
demikian terang Juanda.
Bukan hanya itu saja,
saat sejumlah saksi dipanggil dan dimintai keterangan oleh pihak Kejaksaan
Negeri Kuala Simpang, menyatakan keterangan yang hampir sama. Diantara mereka
menyatakan tidak pernah tahu pembahasannya. Ada enam anggota Badan Anggaran
(Banggar) DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, telah dipanggil dan diperiksa. Yang
pertama sekali dipanggil dan diperiksa oleh pihak Kejari Kuala Simpang yakni
Arman dari PDIP, pada hari Rabu, 10 Juni 2015 kemarin. Dan pada hari Jum'at, 12
Juni 2015, kembali menyusul untuk dimintai keterangannya yakni lima anggota
Banggar lainnya. Adapun kelima anggota Banggar tersebut, masing-masing T.
Insyafudin (PKS), Hamdani (PA), Bukhari (PA), Marlina (PDA) dan Hermanto (PAN).
Saat dikonfirmasi
terkait hasil pemeriksaan oleh pihak Kejari Kuala Simpang, T. Insyafudin (PKS),
menjelaskan bahwa pertanyaan pertama yang dilemparkan oleh pihak penyidik,
apakah usulan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Minuran ada
dibahas dalam sidang dibanggar?
“Dikarenakan usulan
tersebut memang tidak pernah dibahas, maka saat itu saya jawab bahwa usulan
terkait ganti rugi tanah di Minuran tidak pernah ada pembahasan sekalipun oleh
pihak Banggar DPRK Aceh Tamiang 2014. Hampir seluruh kawan-kawan di Banggar
DPRK Aceh Tamiang sangatlah merasa terkejut ketika mengetahui bahwa usulan
tersebut telah dicairkan pada pertengahan bulan Desember 2014 kemarin. Kita
sangat berharap semoga pihak penyidik di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang segera
dapat mengungkapkan tentang sosok tokoh intelektual di balik kasus
tersebut," tandasnya.
Kemudian, salah
seorang anggota Banggar lainnya, Hamdani dari Partai Aceh, turut menjelaskan
bahwa saat diperiksa oleh pihak penyidik di Kejari Kuala Simpang, dirinya juga
dimintai keterangan terkait usulan ganti rugi lahan untuk pusat pasar
tradisional di Desa Minuran.
“Kebetulan pada saat
sidang di Banggar waktu itu, saya berhalangan hadir. Oleh sebab itu, kemarin
saya tidak bisa menjelaskan secara rinci tentang usulan tersebut. Cuma bila
ditilik dari notulen sidang dan juga ditambah dari pengakuan para rekan-rekan
di Banggar, maka saya dapat menerangkan bahwa usulan ganti rugi lahan di
Minuran tidak pernah dibahas sama sekali. Menurut keterangan lainnya dari
rekan-rekan yang ikut sidang bahwa usulan yang sempat dimunculkan pada saat
persidangan saat itu, yakni usulan tentang pengadaan lahan untuk Kantor Camat
Kota Kuala Simpang. Namun usulan itu batal karena ditolak oleh rekan-rekan di
banggar. Kita sangat berharap agar aktor utama atas dugaan kejahatan tersebut
dapat segera terungkap dan dimintai pertanggungjawabkan atas semua kesalahan
yang telah dilakukan selama ini. Dan jangan bawa-bawa nama lembaga dalam
kejahatan ini. Janganlah mendzalimi kawan-kawan, termasuk diri saya yang selama
ini tidak tahu menahu tentang kejahatan tersebut, namun harus berurusan dengan
pihak hukum. Kita yakin bahwa pihak Kejaksaan Negeri Kuala Simpang akan
mengusut tuntas kasus ini," ungkap politisi Partai Aceh tersebut dengan
tegas.
Sedangkan adanya
pengakuan pihak ketiga atau pemilik lahan (Asiong_red) saat diperiksa oleh
penyidik Kejari Kuala Simpang, yang menyampaikan kepada penyidik bahwa dirinya
pernah memberikan uang sejumlah ratusan juta rupiah kepada tiga pimpinan DPRK
Aceh Tamiang periode lalu. Dua wakil pimpinan dewan membantah kesaksian Asiong
kepada pihak penyidik.
Menurut keterangan
dari salah satu Wakil Pimpinan DPRK, Juanda, SIP, mengaku tidak paham tentang
nyanyian Asiong tersebut. "Saya tidak paham tentang nyanyian Asiong. Di
APBK P 2014 lalu, saya masih berstatus anggota dewan," ujarnya singkat.
Wakil Pimpinan DPRK
lainnya, Nora Idah Nita, SE ketika dikonfirmasi mengatakan bahwasanya tidak
tahu menahu mengenai anggaran tersebut, karena dalam KUA PPAS tidak dibahas. "Di
cek dalam notulen rapat juga tidak ada. Saya baru tahu setelah isu merebak dan
diberitahu oleh mantan anggota Banggar DPRK periode lalu yang sekarang menjabat
sebagai Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang 2014-2019, Bapak Juanda, SIP. Jangankan
menerima aliran dana, anggarannya sendiri saya tidak tahu menahu. Kita
percayakan saja kepada pihak penegak hukum untuk menuntaskan masalah ini,"
demikian jelas Nora Idah Nita, SE.
PJ.
Datok Desa Bukit Rata Sebut Ada Titipan Dana Aspirasi Ketua DPRK
Hal itu diperkuat
dari SMS yang dikirim Anggi Fahrian, Pj. Datok Desa Bukit Rata, Kecamatan
Kejuruan Muda, kepada wartawan. Katanya, usulan ganti rugi lahan Asiong
kemarin, ada titipan dana aspirasi dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRK)
Atam, Ir. Rusman, sebesar Rp 1 Miliar. Menurut Anggi, dirinya mengetahui
tentang adanya titipan tersebut karena sering diberitahu oleh Ketua Asosiasi
Kontraktor Aceh (AKA) Kabupaten Atam, H. Richard dan juga dari pemilik lahan,
Asiong.
"Bila bapak
kenal dengan Pak Hadi, Kadisperindagkop, mungkin beliau lebih tahu tentang hal
tersebut," sebutnya.
Abdul Hadi, pun tak
menampik bahwa usulan ganti rugi lahan Asiong kemarin, ada titipan dana
aspirasi dari Ir. Rusman. Namun dia tidak mengetahui besaran nominalnya.
Sedangkan Ketua AKA
Aceh Tamiang, H. Richard, yang dikonfirmasi melalui telepon mengaku tidak tahu
tentang permasalahan ganti rugi tanah Asiong.
"Lokasi tanahnya
saja saya tidak tahu dimana," ujar Richard kilahnya.
Aksi
Bungkam Sekda dan Ketua DPRK Aceh Tamiang
Indikasi mark up dan
dugaan tindak pidana korupsi ganti rugi tanah milik Asiong, saat ini kasusnya
terus bergulir dalam penyidikan pihak Kejaksaan Negeri Kuala Simpang. Tinggal tunggu "Jum'at Keramat" ala
KPK untuk menentukan sang pesakitan. Dalam perkembangannya, kasus yang sudah
lama diendus LSM LembAHtari ini,
sesungguhnya tidak bisa terlepas dari tanggung jawab Ketua Panitia
Anggaran, yang dijabat Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tamiang. Pria kelahiran
9 Desember 1961 ini, sebagai Ketua Panitia Anggaran ganti rugi tanah untuk
pusat pasar tradisional diduga kuat turut andil dengan timbulnya usulan siluman
yang merugikan uang negara. Akan tetapi, sebagai Ketua Panitia Anggaran, pria
bernama Ir. Razuardi, MT, saat ini terkesan bersikap tidak memiliki kesalahan
apapun dalam permasalahan ganti rugi tanah milik Asiong tersebut. Dirinya
berpura-pura tidak tahu terhadap pengakuan dari mantan Kadisperindagkop Aceh
Tamiang, Abdul Hadi, yang menjelaskan bahwa tidak pernah mengusulkan kegiatan
ganti rugi tersebut. Razuardi juga berpura-pura tidak tahu tentang pengakuan
dari sebagian besar anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRK Aceh Tamiang Tahun
2014, yang membeberkan bahwa usulan ganti rugi tanah Asiong, tidak pernah
dibahas sekalipun dalam sidang-sidang Banggar DPRK Aceh Tamiang.
Wartawan saat
melakukan konfirmasi hanya mendapatkan jawaban,"Nggak paham saya soal apa
itu?"
Anehnya lagi, Sekda
Aceh Tamiang yang dilantik oleh Bupati H. Hamdan Sati, ST, berdasarkan
Keputusan Gubernur Aceh Nomor Peg.821.21/005/2013, tanggal 26 April tahun 2013
lalu, terkesan berupaya berkilah dengan jawaban yang terkesan tidak nyambung
dan asal ceplos.
"Saya aja tadi
diinfokan, ya saya pelajari aja."
Serunya lagi,
Razuardi juga berupaya memakai jurus diam seribu bahasa ketika diajukan dengan
pertanyaan tentang sebab pelengseran Abdul Hadi dari Kadisperindagkop Aceh
Tamiang yang diduga kuat karena untuk penyelamatan jabatannya. Karena saat itu,
dirinya didera isu akan digusur bupati dari kursi jabatan Sekdakab Aceh
Tamiang. Razuardi terlihat semakin enggan diajak komunikasi saat disinggung
tentang pengakuan Pj. Datok Desa Bukit Rata, Anggi Fahrian yang secara
blak-blakkan menyampaikan bahwa harga tanah milik Asiong yang bernilai sejumlah
Rp.2,5 Milyar, sangatlah tidak pantas. Tapi nyatanya, harga itu merupakan hasil
rembukan dari orang-orang yang mengikuti rapat di ruang Sekda pada tahun 2014
lalu.
Razuardi beralasan,"Makasihlah
dialognya. Ni dah ngantuk juga. Untuk apa tanya-tanya ma yang nggak tahu. Ma'aflah
kalau nggak berkenan."
Lain hal dengan Ketua
DPRK Ketua DPRK Aceh Tamiang, Ir. Rusman, yang selama ini nekad memainkan jurus
bungkam mengenai kasus ini. Padahal, Ir. Rusman diduga tahu persis usulan
siluman ini yang berpotensi merugikan uang negara karena adanya mark up ganti
rugi lahan Asiong senilai 2,5 Milyar. Jurus bungkam yang dimainkan oleh Rusman
selama ini, diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan tentang keterlibatan
dirinya dalam persoalaan ganti rugi lahan milik sahabat dekatnya, Asiong. Rusman
yang selama ini terkesan takut memberikan hak jawabnya atas permasalahan ganti
rugi lahan milik Asiong seharga 2,5 Milyar tersebut, telah menimbulkan
pandangan bagi publik di Aceh Tamiang bahwa Rusman adalah salah satu oknum
pejabat tinggi Tamiang yang diduga turut terlibat dalam kasus ganti rugi lahan
yang sarat masalah. Bahkan dalam usulan ganti rugi ini berhembus kabar
merupakan titipan dana aspirasi dewan milik Ketua DPRK. Namun wartawan selalu
nihil melakukan konfirmasi karena sang Ketua DPRK saat dihubungi beberapa nomor
selularnya tidak aktif, di sms pun tidak pernah terjawab bahkan berupaya
ditemui dikantornya juga tidak ada di tempat.
LSM,
Tokoh Pemuda dan Mahasiswa Siap Kawal Kasus
Sejumlah LSM, Tokoh
Pemuda dan Mahasiswa Aceh Tamiang juga tidak tinggal diam mensikapi adanya
konspirasi kepentingan antar pejabat publik baik di jajaran Pemerintah
Kabupaten Aceh Tamiang ataupun Pimpinan DPRK terkait kasus tersebut. Hal ini
dipicu akibat aktor yang terlibat belum diperiksa oleh penyidik Kejari Kuala
Simpang, padahal Sekda dan Ketua DPRK
merupakan pejabat yang diduga mengetahui persis asal mula usulan ganti rugi
lahan Asiong senilai 2,5 M. Selain itu, belum ditetapkannya tersangka oleh
Kejari Kuala Simpang menimbulkan reaksi beragam.
Direktur Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda, H. A. Muthallib IBR, SE, SH, Msi,
menyampaikan keprihatinannya atas terjadinya konspirasi dan dugaan tindak
pidana korupsi pada pelaksanaan kegiatan ganti rugi lahan milik Asiong untuk
lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata,
Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang. Menurut H. A. Muthallib IBR,
pembuktian adanya konspirasi jahat dan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan
ganti rugi lahan milik Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di
Kebun Tengah, semakin terlihat secara terang benderang setelah mendengar
pengakuan Pj. Datok Desa Buket Rata, Kecamatan Kejuruan Muda.
Pj. Datok Desa Buket
Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, yang bernama Anggi Fahrian pernah mengungkapkan
bahwa tanah milik Asiong seluas 12.000 M2 di Kebun Tengah akan dijual seluas
10.000 M2 (satu hektar_red), kepada pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang
untuk dijadikan lokasi pembangunan "Gudang Bongkar Muat". Dari
awalnya saja sudah ada pembohongan terhadap Pj. Datok Desa Buket Rata. Selain itu,
Pj. Datok juga pernah menerangkan bahwa perbandingan harga tanah Asiong untuk
dipinggiran jalan sekitar Rp.260 ribu s/d Rp.280 ribu. Dan untuk harga ke
dalamnya lebih murah lagi. Selain itu, Pj. Datok Desa Buket Rata juga turut
membeberkan bahwa harga tanah milik Asiong yang bernilai sejumlah Rp.2,5
Milyar, sangatlah tidak pantas. Namun menurutnya, harga setinggi itu adalah
hasil rembukan dari orang-orang yang mengikuti rapat di ruang Sekda pada tahun
2014 lalu
"Tragisnya lagi,
persoalan persen jual beli tanah untuk desa dan untuk kecamatan belum diberikan
oleh si pemilik tanah yang terkenal dengan nama Asiong. Didasari oleh segala
uraian di atas, maka selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda,
saya memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan ganti rugi lahan milik Asiong untuk
lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata,
Kecamatan Kejuruan Muda, sudah cukup bukti adanya konspirasi dan dugaan tindak
pidana korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara. Kejaksaan Negeri
Kuala Simpang harus berani usut secara transparan dan tuntas kasus ganti rugi
tanah Asiong di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, yang
katanya untuk lokasi pasar tradisional. Jikalau pihak Kejari Kuala Simpang
mendiamkan kasus ini, maka kita akan melaporkan ke Kajati Aceh," demikian
ditegaskan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda, H. A.
Muthallib IBR, SE, SH, Msi yang juga Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia
Aceh.
Sementara salah satu
tokoh pemuda Aceh Tamiang, Irwan Agusti, S.Pd mengatakan kejahatan besar ini
harus dijadikan moment oleh rakyat Tamiang untuk bangkit dan segera merapatkan
barisan dalam upaya memerangi para koruptor yang semakin merajalela di
Kabupaten Aceh Tamiang. Kasus terkait
indikasi mark up ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran
harus benar-benar dikawal. Bila tidak ada pengawalan secara intensif,
dikhawatirkan kasus tersebut akan mudah menguap dan bisa saja dilenyapkan oleh
para oknum yang tidak bertanggungjawab.
"Apalagi saat
ini telah berkembang isu bahwa ada oknum yang berupaya melobby anggota Banggar
DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 untuk membuat pengakuan palsu bahwa usulan ganti
rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, telah ada pembahasan
di Banggar DPRK Aceh Tamiang. Saya sangat berharap kepada para anggota Banggar
DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, agar tidak mengkhianati kebenaran dan harus
berani melawan konspirasi para oknum yang terindikasi melakukan pencurian uang
negara," pungkas Irwan.
Persatuan Mahasiswa
Aceh Tamiang (Pematang), pun angkat bicara soal kasus ini. Sebab, menurut
Pematang, terkuaknya kasus tersebut merupakan pelengkap dari sekian banyak
kasus-kasus yang terkesan dipeti"es"kan.
"Saya sangat
mengharapkan transparansi dan profesionalisme pihak Kejari Kuala Simpang.
Apalagi kasus ini diduga melibatkan nama Sekda dan Ketua DPRK Aceh Tamiang yang
notabene sebagai wakil rakyat Tamiang. Pematang juga meminta semua LSM, Ormas,
Pemuda, Mahasiswa dan masyarakat tetap lantang mengawal kasus ini hingga
tuntas. Sehingga jangan sampai ada pihak yang terbeli karena kelicikan dan
bujuk rayu sang "Aktor" kasus yang dinilai merugikan uang negara ini.
Sebagai mahasiswa, kami siap mengawal proses dan kelanjutan dari kasus ini.
Kami tidak mau rakyat Aceh Tamiang menjadi yang paling dirugikan. Dengan adanya
isu cuci tangan dari pihak-pihak yang terlibat dan bahkan ada indikasi aktor
kasus tersebut akan mengorbankan orang lain atas kebusukan pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab," tegas Mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik
Industri, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ini.
Hal lain, diungkapkan
Lembaga Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Provinsi Aceh, yang menyampaikan rasa
keprihatinannya terhadap sikap pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuala Simpang yang
terkesan lamban dalam melakukan proses penyelidikan kasus ganti rugi lahan ini.
“Seharusnya pada saat ini, pihak Kejari
Kuala Simpang sudah memunculkan nama-nama para tersangka kasus ganti rugi lahan
untuk lokasi pasar tradisional di Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan
Muda," ungkap Ketua LAKI Aceh, Abubakar
Menurut Abubakar,
kasus ganti rugi lahan untuk lokasi pasar tradisional di Desa Bukit Rata,
Kecamatan Kejuruan Muda adalah kasus besar yang harus dikawal bersama sampai
tuntas. "Kita tidak boleh lengah dan membiarkan kasus tersebut masuk
angin. Sebagai Ketua LAKI Provinsi Aceh, saya menyatakan ikut bergabung dalam
tim pengawal kasus ganti rugi lahan untuk lokasi pasar tradisional di
Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang," terang
Abubakar.
“Kalau terbukti,
aktor mark up ganti rugi lahan milik Asiong bisa dijerat Pasal 2 dan 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman pasal 2
itu minimal 4 tahun maksimal 20 tahun, pasal 3 minimal satu tahun dan maksimal
20 tahun,” sebutnya.
LSM Komunitas Aneuk
Nanggroe (KaNA) juga sependapat dan berkomitmen
mengawal kasus ini. KaNA menduga bahwa saat ini ada pihak-pihak yang
berupaya 'mengaburkan' kasus ganti rugi tanah milik Suherli alias Asiong. Dugaan
itu terlihat jelas dari sikap pihak Kejaksaan Negeri (Kejari), Kuala Simpang
yang terindikasi sangat lamban memunculkan para tersangka atas kasus ganti rugi
bernilai Rp 2,5 miliar, yang melibatkan banyak oknum pejabat eksekutif dan
legislatif di Kabupaten Tamiang.
Muzakkir mengingatkan
bahwa kasus ganti rugi tanah milik Asiong merupakan kasus besar dan melibatkan
banyak oknum pejabat eksekutif dan legislatif di Kabupaten Aceh Tamiang,
makanya dia berharap agar jangan lengah dan terus mengawal kasus tersebut
sampai tuntas.
"Mantan
Kadisperindagkop Aceh Tamiang, telah berani sampaikan secara terang-terangan ke
publik bahwa ada yang lebih bertanggungjawab tentang kasus dugaan mark up ini. Kami
melihat ada upaya pengalihan isu dari pihak-pihak tertentu dengan tujuan agar
publik lengah dan lupa terhadap kasus ganti rugi tanah milik Asiong. Kemudian
kami minta seluruh elemen sipil, LSM, Ormas, Mahasiswa bisa bersatu padu
memberangus kasus korupsi dan mark up ini. Demi tuntasnya kasus besar tersebut,
LSM KaNA akan turut bergabung dalam barisan pengawal dan kita desak agar pihak
Kejari Kuala Simpang segera menuntaskan kasus ini. Bila pihak Kejari masih
memperlambat proses penyelidikan kasus itu, maka tidak ada alasan lain bagi
kita selain kita demo pihak Kejari Kuala Simpang," tegas Muzakkir.
Sementara itu, LSM Forum Peduli
Rakyat Miskin (FPRM) Aceh mengambil langkah nyata dengan menuntut adanya
transparansi penanganan kasus dugaan tindak pidana mark up anggaran ganti rugi
lahan pusat pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan
Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, yang saat ini sedang ditangani oleh
Kejaksaan Negeri Kuala Simpang. Atas hal tersebut FPRM mengirimkan surat kepada
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati Aceh) dengan tembusan ke Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia, Kejaksaan Agung RI, Sekretariat Jenderal DPR RI (Komisi III
DPR RI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman Republik
Indonesia, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang.
Adapun beberapa hal yang disampaikan diantaranya: pertama
agar mengawasi proses penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan dan penuntutan kasus ini
sehingga berjalan profesional dan transparan tanpa intervensi dari pihak
manapun; kedua meminta kepada Kejaksaan
Negeri Kuala Simpang agar memberikan keterbukaan informasi publik atas
pemeriksaan kasus dugaan mark up dan tindak pidana korupsi dalam program ganti
rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata,
Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang; ketiga meminta kepada semua pihak agar mendukung indepensi Kejaksaan Negeri
Kuala Simpang dalam menangani kasus ini, supaya memberikan transparansi, dan kepastian
perkara ini kepada masyarakat; dan keempat meminta kepada Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, untuk bekerja cepat dan
transparan,
baik dalam melakukan penyelidikan ataupun saat penyidikan.
“FPRM mengharapkan ada
respon positif untuk mengungkap kasus ini hingga tuntas. Jangan korbankan
seseorang untuk menjadi “Tersangka” demi menyelematkan aktor yang diduga
merupakan “Orang Penting” di Pemkab Aceh Tamiang dan DPRK,” demikian pinta Ketua FPRM Aceh, Nasruddin.
Penjelasan
Kejari Kuala Simpang
Kasus dugaan mark up
lahan milik Suherli alias Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di
Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang,
diduga akan menyeret banyak oknum pejabat eksekutif beserta oknum pejabat
legislatif di kabupaten setempat. Hingga hari ini, total sudah 33 orang yang diperiksa
oleh Tim Penyidik dari Kejari Kuala Simpang. Adapun 33 orang yang diperiksa
yakni 6 orang mantan anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, 7 orang dari
Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, 9 orang dari Disperindagkop, 2
orang dari Bapeda, 3 orang dari DPPKA, ditambah dengan Datok Bukit Rata, Camat
Kejuruan Muda, pemilik tanah beserta isterinya dan Ketua AKA Tamiang serta
beberapa saksi lainnya.
Namun, hingga saat
inipun belum ada tersangka yang ditetapkan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari)
Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang. Kejari Kuala Simpang belum dapat
menentukan sikap terkait kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan untuk
pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan
Kejuruan Muda, meskipun pihak Kejaksaan sudah memeriksa para saksi sejumlah 33
orang. Hal ini dikarenakan belum adanya hasil perhitungan (audit_red) kerugian
negara dari Badan Pemeriksaan Keuangan Pembangunan (BPKP) Banda Aceh sebagai
kelengkapan berkas pada sidang perkara nantinya.
Kepala Kejaksaan
Negeri (Kejari) Kuala Simpang, Amir Syarifuddin. SH, melalui Kasi Intel,
Muhammad Arfi, SH, kepada wartawan, Jum'at (2/10/2015), mengatakan hasil
perhitungan kerugian negara adalah salah satu berkas yang dipersyaratkan untuk
proses penuntutan atau persidangan pada perkara kasus dugaan korupsi. Oleh
karena itu, pihak kejaksaan masih menunggu hasil perhitungan tersebut dari BPKP
Wilayah Banda Aceh dan selanjutnya berkas perkara itu akan segera dirampungkan.
"Kami masih
menunggu hasil perhitungan kerugian keuangan negara dari BPKP, sementara
perhitungan itu adalah kewenangan mereka (BPKP), kapan hasil perhitungan itu
ada. Kejari Kuala Simpang sangat serius menangani kasus dugaan korupsi ganti
rugi lahan Asiong. Kasus tersebut adalah salah satu dari tiga kasus korupsi di
Tamiang yang sedang diselidiki oleh pihak Kejari Kuala Simpang pada tahun ini.
Insya Allah, jika hasil perhitungan dari BPKP Banda Aceh sudah turun maka
barulah kita tetapkan para tersangka atas kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan
untuk pembangunan gedung pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit
Rata," demikian penjelasan Kasi Intel Kejari Kuala Simpang, Muhammad Arfi,
SH.[red]