IST |
JAKARTA - Kepala
Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Badrodin Haiti telah
menandatangani Surat Edaran (SE) tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech.
Surat Edaran dengan Nomor: SE/06/X/2015 itu ditandatangani Kapolri pada 8
Oktober 2015 lalu. Sudat Edaran tersebut
juga telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia
yang kemudian akan diteruskan sampai ke polsek-polsek.
Dikutip dari laman divhumaspolri, Sabtu (31/10/2015), surat edaran tersebut dikeluarkan menyikapi bahwa persoalan ujaran kebencian semakin
mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring
meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM)
disebutkan pula bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di
luar KUHP.
Bentuk,
Aspek dan Media
Pada
Nomor 2 huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa "ujaran kebencian dapat berupa
tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
1.
Penghinaan,
2.
Pencemaran nama baik,
3.
Penistaan,
4.
Perbuatan tidak menyenangkan,
5.
Memprovokasi,
6.
Menghasut,
7.
Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa
berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau
konflik sosial."
Pada
huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di
atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan
atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1.
Suku,
2.
Agama,
3.
Aliran keagamaan,
4.
Keyakinan atau kepercayaan,
5.
Ras,
6.
Antargolongan,
7.
Warna kulit,
8.
Etnis,
9.
Gender,
10.
Kaum difabel,
11.
Orientasi seksual.
Pada
huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa "ujaran kebencian sebagaimana
dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:
1.
Dalam orasi kegiatan kampanye,
2.
Spanduk atau banner,
3.
Jejaring media sosial,
4.
Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
5.
Ceramah keagamaan,
6.
Media massa cetak atau elektronik,
7.
Pamflet.
Pada
huruf (i), disebutkan bahwa "dengan memperhatikan pengertian ujaran
kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan
efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi
menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa."
Prosedur
penanganan
Adapun,
pada nomor 3 SE itu, diatur pula prosedur polisi dalam menangani perkara yang
didasari pada hate speech agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas.
Pertama,
setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai
bentuk-bentuk kebencian.
Kedua,
personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di
masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Ketiga,
setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi
dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran
kebencian.
Ke-empat,
setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan
kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran
kebencian.
Apabila
ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian,
maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain:
-
Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di
masyarakat,
-
Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian,
-
Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran
kebencian,
-
Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan
pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.
Jika
tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka
penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan:
-
KUHP;
-
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
-
UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
-
UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan
-
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013
tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Para
kepala satuan wilayah perlu penegasan dalam menangani perkara-perkara terkait
hate speech.[ar]