JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan
swasembada pangan khususnya padi, jagung, dan kedelai dalam waktu tiga tahun ke
depan. Salah satu upaya untuk mencapainya dengan meningkatkan
produktivitas dan indeks pertanaman melalui rehabilitasi irigasi, bantuan
benih, pupuk, dan alsintan atau traktor dan lainnya sebagaimana tertuang dalam
Permentan nomor 3 tahun 2015.
Menanggapi
rencana Kementan tersebut, Ketua Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP),
Said Abdullah mengingatkan, pengalaman petani ketika diberi bantuan benih
hibrida oleh pemerintah periode 2009-2010 yang ternyata lebih mudah terserang
penyakit, terutama wereng. Akibatnya, lebih dari 25 kabupaten sentra produksi
mengalami gagal panen.
"Ketika
gagal panen, petanilah yang paling dirugikan, tak ada kompensasi apalagi ganti
rugi. Tak mengherankan jika tahun-tahun selanjutnya banyak bantuan yang
diparkir di gudang atau dijadikan beras karena tidak ada jaminan berhasil jika
ditanam. Tentu saja jika ini terjadi lagi, uang subsidi benih yang hampir Rp 2
triliun menjadi sia-sia," ujarnya di Jakarta, Senin (19/10).
Menurutnya,
bantuan benih ini justru bertolak belakang dengan semangat dan cita-cita
Kedaulatan Pangan yang termuat dalam Nawa Cita dan RPJMN. Karena kedaulatan
pangan mengharuskan penggunaan sumberdaya lokal sebagai faktor keberhasilan
pembangunan pertanian. Pemberian bantuan benih ini menurutnya bertentangan juga
dengan rencana menyiapkan 100 desa mandiri benih.
"Bantuan
benih tak hanya turut mempercepat kepunahan benih lokal namun juga kemandirian
dan kedaulatan petani atas benih yang dimilikinya," tegasnya.
Selain
itu, menurut Said, pemberian bantuan traktor yang marak diberitakan dan
mendapat banyak pujian sekaligus harapan yang besar dari petani untuk bisa
menjadi jawaban atas persoalan keterbatasan tenaga kerja, nyatanya yang terjadi
sungguh di luar dugaan. Bantuan traktor yang dipertontonkan ke publik hanya
pajangan.
"Peristiwa
di Ngawi, di mana para petani mengalami hal tersebut memberikan pelajaran
penting bahwa pembangunan pertanian yang dilakukan pemerintah hanya berisi
seolah-olah atau dalam bahasa lain pencitraan. Situasi dan kenyataan ini tentu
saja sangat memukul dan melukai perasaan petani. Bagaimana mungkin pemimpin
yang dipilih dengan amanah memberikan baktinya dalam bentuk Seolah-olah.
Seolah-olah memberikan bantuan traktor padahal hanya barang pinjaman untuk
dipamerkan. Seolah-olah peduli petani padahal sesungguhnya sedang menipu diri
sendiri dan petani," ungkapnya.
Said
juga menilai Presiden Jokowi tidak mampu menunjukkan arah pembangunan melalui
jalan dan rambu-rambu yang benar serta memantau kinerja pembangunan pertanian.
Dengan melihat arah yang justru menjauh dari membangun kedaulatan dan
kesejahteraan petani, gerakan petani nusantara memandang bahwa Jokowi gagal
menjadi pemimpin di sektor pertanian.[RMOL]