IST |
SEKARANG lah saat yang tepat untuk kocok ulang pimpinan DPR. Bukan karena pertemuan dengan Donald Trump. Itu hanya lah masalah kecil yang dibesar-besarkan oleh politisi PDIP.
Kondisi negara sudah sangat genting, rupiah terus melorot, tapi DPR sebagai wakil rakyat tetap membisu. Pimpinan DPR gagal membawa parlemen menjadi kekuatan penyeimbang. Hampir semua kebijakan pemerintah tidak pernah mendapatkan kritik yang tajam.
DPR terus disibukkan dengan masalah internal seperti rencana pembangunan 7 proyek DPR, pertemuan dengan Donald Trumph, penaikan tunjangan DPR dan PAW politisi PDIP yang menjadi menteri. Semua yang diributkan itu tidak ada korelasinya dengan kesejahteraan rakyat.
Banyak masalah kebangsaan yang semestinya mendapat respon dari DPR diabaikan begitu. Seperti soal turunnya minyak dunia, mestinya DPR mendesak pemerintah menurunkan harga BBM. Atau soal pelemahan rupiah, DPR sama-sekali tidak bersuara. Padahal kalau rupiah terus melemah, maka banyak rakyat yang akan menjadi sengsara.
Lemahnya kepemimpinan DPR bisa jadi karena faktor latar belakang pribadi dan politik. Seperti Setya Novanto selama ini lebih berpengalaman sebagai bendahara, sehingga agak kurang lihai menjadi Ketua DPR. Atau Fadli Zon selama ini lebih dikenal sebagai pengamat, tiba-tiba menjadi Wakil Ketua DPR.
Sementara, ketiga pimpinan lainnya lebih karena faktor partai. Fahri Hamzah lebih sibuk mempertahankan partai dari opini negatif terkait terseretnya kader PKS dalam kubangan korupsi. Agus Hermanto merefleksikan sikap abu-abu Partai Demokrat. Dan Taufik Kurniawan mencerminkan PAN yang semenjak dipimpin Zulkifli Hasan menjadi bak 'gadis centil' yang ingin buru-buru dilamar, dan akhirnya PAN sudah resmi masuk gerbong pemerintah.
Mencermati problem pimpinan dewan di atas, maka sudah tidak layak untuk dipertahankan lagi. Kocok ulang harus segera dilakukan. Meskipun nantinya ada kemungkinan politisi KIH akan menguasai kursi pimpinan itu tidak masalah.
Jika itu terjadi diharapkan gerbong oposisi semakin militan dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Itu jauh lebih baik daripada menduduki kursi pimpinan tetapi tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat.
Kelompok oposisi ini seharusnya bisa meniru gaya militansi PDIP ketika menjadi oposisi selama 10 tahun lalu. Meskipun di parlemen minoritas, tetapi semangat juangnya terus membara. Hampir semua kebijakan pemerintah SBY disambut kritik. Pansus/panja sering dibentuk sebagai wahana mempertajam kritik ke pemerintah.
DPR adalah tempat pertarungan ide-ide kebangsaan. Oleh karena itu dinamisasi di parlemen harus terus dilakukan. Diam-diam saja seperti ini sama saja menyia-nyiakan gaji besar yang sudah disediakan oleh rakyat kepada para wakilnya di Senayan.
Sya'roni
Sekretaris Jenderal HUMANIKA
(Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan)