IST |
JAKARTA - Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka “Elemen-elemen Jurnalisme”, jurnalisme adalah sistem yang dilahirkan oleh masyarakat untuk memasok berita. Jurnalisme hadir untuk membangun kewargaan dan untuk memenuhi hak-hak warga negara, sehingga semakin demokratis sebuah masyarakat semakin banyak berita dan informasi yang didapatkan.
Saya telah membaca tulisan Wilson Lalengke berjudul: Jurnalis Dikriminalisasi, Dewan Pers tak Berguna dan Harus Dibubarkan.” Sebagai seorang warga negara Indonesia yang miskin, saya berpendapat salah satu wacana yang digulirkan Wilson Lalengke tersebut luar biasa, patut dicermati dan layak diacungi jempol.
Dikutip dari pewarta-indonesia.com, Sabtu (19/9/2015), itu adalah bagian langkah nyata awal kebebasan pers di Indonesia. Karena tulisan tersebut dilatarbelakangi oleh peristiwa kriminalisasi terhadap dua orang jurnalis media online di Nangroe Aceh Darussalam. Tapi Wilson Lalengke kecewa karena Dewan Pers tidak berusaha memediasi atau membantu menyelesaikan hal tersebut. Jika jurnalis media online yang melaksanakan kegiatan jurnalistik tidak dianggap sebagai bagian dari pers, lantas apa gunanya rakyat Indonesia bersusah payah memperjuangkan reformasi?
Jika pers acap kali disebut sebagai pilar demokrasi yang keempat, maka kita harus memaknai demokrasi secara arif dan bijaksana. Demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat. Jika rakyat/warga yang mengungkapkan fakta dan informasi tidak dihargai, tetapi justru dikriminalisasi, maka akan berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Rakyat/warga akan menjadi ketakutan jika menyampaikan fakta atau kebenaran. Negara harus menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia bagi seluruh rakyatnya.
Saya pikir ide Wilson Lalengke seorang tokoh nasional yang juga salah seorang Pendiri dan Ketua Umum PPWI tersebut perlu diikuti dengan langkah gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 9 UU Pers dan Surat Edaran Dewan Pers Nomor 01/SE-DP/I/2014 yang isinya perusahaan pers harus berbadan hukum Perseroan terbatas (PT). Karena ini adalah sumber masalah utama pembatasan perusahaan pers. Jadi, jika ada warga negara Indonesia atau lembaga swadaya masyarakat yang menggugat ke MK, maka dalam gugatan ke MK, PPWI dan para penggugat diharapkan dapat menghadirkan saksi ahli pakar ekonomi kerakyatan yang paham jenis-jenis perusahaan, pakar jurnalisme warga, praktisi jurnalisme warga, pakar hukum progresif yang dipelopori begawan ilmu hukum di Indonesia Prof. Satjipto Rahardjo (alm. Semoga beliau mendapat tempat terbaik disisi Allah Swt. aamiin), pakar HAM (Hak Asasi Manusia) dan pakar komunikasi yang kredibel dan pro kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin UUD 1945. Jadi dalam hal ini harus melihat perusahaan secara komprehensif. Jangan hanya melihat perusahaan pers adalah yang punya modal besar saja.
Ini artinya bahwa Dewan Pers jangan hanya berpihak kepada perusahaan pers yang mempunyai modal relatif besar, dibandingkan dengan lembaga pers yang berbentuk badan hukum lainnya, misalnya perkumpulan, yayasan dan koperasi. Dewan Pers berarti juga tidak mengakomodir perusahaan pers yang berbadan usaha perusahaan perseorangan, firma, persekutuan komanditer (CV). Padahal perusahaan yang berbadan usaha perusahaan perseorangan, firma, persekutuan komanditer (CV) sebagai bagian UMKM relatif membuka banyak lapangan kerja untuk mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Dan pengalaman krisis ekonomi tahun 1998, UMKM relatif lebih tahan terhadap gejolak ekonomi.
Mengapa dewan pers tidak menggunakan dan mengakui badan hukum koperasi dan badan hukum lainnya tersebut dan perusahaan pers berbadan usaha lainnya dalam surat edaran tersebut di atas? Mengapa dewan pers seolah mengabaikan potensi perusahaan pers yang berbadan usaha perusahaan perseorangan, firma, persekutuan komanditer (CV)? Koperasi sebagai produk dalam negeri yang berakar dari budaya asli Indonesia yang bersemangat gotong royong justru harus diperhatikan pula. Padahal koperasi, misalnya, adalah badan hukum yang tumbuh berkembang di Indonesia, kenapa tidak diakomodasi? Ada apa dengan Dewan Pers saat ini? Apakah Dewan Pers hanya ingin melindungi konglomerasi media di Indonesia? Atau Dewan Pers tidak ingin berpihak kepada kebebasan berpendapat rakyat/warga dengan aturan yang cenderung menghambat berkembangnya jurnalisme warga?
Saya minta kepada Dewan Pers, mohon jangan istimewakan PT. Dewan Pers mendapat anggaran dari uang rakyat bukan untuk mengistimewakan PT. Pertanyaan selanjutnya, apakah kebebasan pers sebagai buah reformasi di Indonesia itu diperjuangkan oleh rakyat/warga atau diperjuangkan oleh PT? Apakah Dewan Pers dapat menjamin bahwa perusahaan pers berbadan hukum PT akan memperjuangkan kebebasan berpendapat di Indonesia? Apakah Dewan Pers dapat menjamin bahwa perusahaan pers berbadan hukum PT akan bebas dari kepentingan para pemilik modal dan tidak menggunakan perusahaan pers untuk melindungi kepentingannya dan berkongkalikong dengan penguasa?
Dan saya minta Dewan Pers jangan diskriminatif atau pilih kasih. Seharusnya ketika Dewan Pers memutuskan perusahaan pers harus berbentuk PT, Dewan Pers harus memberikan solusi dan membantu perkembangan perusahaan pers yang kecil-kecil. Bukan malah lepas dari tanggung jawab, dan membiarkan jurnalis dikriminalisasi.
Para anggota Dewan Pers harus dapat membuktikan bahwa mereka dapat berperan optimal sebagaimana aturan UU Pers dan berpihak kepada rakyat/warga Indonesia dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Jika mereka tidak dapat berperan optimal sebagaimana aturan UU Pers, maka mereka sebaiknya mundur saja dari keanggotaan Dewan Pers dan biarkan orang yang lebih berpotensi untuk meneruskankan perjuangan.
Pembatasan perusahaan pers harus berbadan hukum PT ini tentu bertentangan dengan semangat kebebasan berpendapat dan membatasi potensi tumbuh kembang jurnalisme warga di Indonesia, dan saya setuju dengan usulan Wilson Lalengke agar ada revisi Undang-Undang Pers sehingga jurnalis media online termasuk citizen journalist tidak dikriminalisasi. Jurnalis media online termasuk citizen journalist juga harus dilindungi UU Pers. Jangan ada diskriminasi perlakuan tehadap citizen journalist.
Disamping itu, ke depan harus ada track record keberpihakan calon anggota dewan pers pada pers termasuk di dalamnya jurnalisme warga. Calon anggota dewan pers harus orang yang betul-betul mengerti pers dan menghargai kemerdekaan berpendapat yang dijamin konstitusi dan menghargai keterbukaan informasi publik, bukan karena popularitas atau jabatannya di masa lampau. Jangan sampai Dewan Pers yang terhormat sebagian diisi oleh orang yang tidak mau berjuang mengembangkan pers, termasuk citizen journalism yang kini sedang berkembang pesat di Indonesia.
Dewan pers yang cukup berfungsi bagus di era kepemimpinan Prof Ichlasul Amal dan di era kepemimpinan Atmakusumah Astraatmaja yang memiliki jejak pengalaman, kredibilitas dan kapabilitas mumpuni sebagai seorang jurnalis. Saatnya era kebangkitan pers termasuk citizen journalism dimulai dan semoga kebebasan berpendapat dapat dinikmati lebih dari 250 juta jiwa tanpa rasa takut berpendapat dan berekspresi dan tidak diancam dikriminalisasi karena menyampaikan fakta dan informasi publik.
Apakah Dewan Pers ingin rakyat/warga hanya diam jika ada kedzaliman atau kesewenang-wenangan di tengah masyarakat? Apakah Dewan Pers ingin pers hanya dimonopoli oleh PT yang bermodal besar atau konglomerasi media?
Rakyat Indonesia tentu ingin tahu apa saja hasil kerja nyata Dewan Pers bagi kemajuan pers dan demokrasi di Indonesia. Akhirnya, kalau Dewan Pers tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya berdasarkan UU Pers: tidak dapat melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, tidak dapat melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, tidak dapat menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; tidak dapat memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; tidak dapat mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; tidak dapat memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; tidak dapat mendata perusahaan pers. Bubarkan saja.
Atau kalau dewan pers masih dirasa perlu keberadaannya, maka harus dilakukan seleksi ulang anggota dewan pers. Mana yang masih layak bertahan sebagai anggota dewan pers dan mana yang harus diganti, tentu perlu diseleksi ulang. Kalau dalam bahasa bapak bangsa, Gus Dur, “Gitu aja kok repot.” Saya mendukung upaya menyelamatkan kebebasan pers yang sesungguhnya di Indonesia. Kebebasan pers dan kemerdekaan berpendapat harus terus-menerus diupayakan dan dilindungi.
Sebagai warga negara Indonesia, saya mengusulkan kepada lembaga yang berwenang menyeleksi calon anggota Dewan Pers agar Wilson Lalengke diangkat sebagai anggota Dewan Pers mewakili organisasi PPWI/jurnalisme warga yang anggotanya ribuan di Indonesia dari berbagai daerah. Bahkan saya pikir Wilson Lalengke juga layak dan tepat memimpin Dewan Pers untuk berjuang mengembangkan pers di Indonesia. Jangan sampai kebebasan pers dan kebebasan berpendapat terancam dan tidak dapat dinikmati oleh rakyat/warga negara Indonesia yang jumlahnya lebih dari 250 juta jiwa.[red]