BANDA ACEH - Banyaknya pendapat yang timbul dalam pengamalan
ibadah agama Islam dengan dasar pegangan dalil-dalil yang sama-sama kuat, telah
memunculkan berbagai pemahaman di tengah tengah kehidupan umat dalam
menjalankan agamanya sejak zaman dulu hingga sekarang.
Hal
paling mendasar yang perlu disikapi dari perbedaan
pemahaman tersebut adalah saling menghargai dan menghormati antara pengikut
satu pendapat atau mazhab dengan pendapat lainnya dalam agama Islam, tidak
saling mencela dan menunjukkan kedewasaan sehingga persatuan umat akhir zaman
ini tetap terjaga.
Demikian
antara lain disampaikan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh, Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA saat mengisi pengajian
rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak,
Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (9/9) malam.
"Barang
kali, yang perlu menjadi penekanan kita di tengah perbedaan pendapat sejak dulu
hingga kini adalah, perlunya menghormati pendapat yang
berbeda tersebut dalam Islam, tidak saling menyalahkan. Pendapat dan
pemahaman yang berbeda ini, sama-sama kuat dalilnya," ujar
Prof Muslim Ibrahim.
Dalam
pengajian KWPSI yang dimoderatori Dosi Elfian dengan tema "Menyikapi
perbedaan pemahaman dalam beragama Islam" itu, Prof Muslim mengungkapkan,
dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal baru. Tidak
terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus
untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai
pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.
Jauh
sebelum masa kita, perselisihan diantara para Sahabat Nabi juga sudah terjadi.
Para sahabat, meski Nabi SAW masih hidup, mereka kerap ada perselisihan paham.
Seperti yang terjadi antara Abu Bakar As-Siddiq dengan Umar bin Khattab.
Perbedaan
pendapat (ikhtilaf) itu berbeda dengan perpecahan (iftiraq). Perbedaan pendapat
tidak selalu berujung jadi perpecahan, namun memang setiap perpecahan adalah
akibat dari adanya perbedaan.
Perbedaan
pendapat tidak dilarang dan bukan sesuatu yang tercela dalam Islam, karena
fakta menunjukkan perbedaan pendapat banyak terjadi di kalangan para sahabat
juga terjadi diantara para Imam mazhab yang empat. Namun perbedaan diantara
mereka tidak menjadikan runtuhnya ukhuwah Islamiyah.
Guru
Besar Fiqh Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry ini menegaskan, yang
dilarang dan tercela dalam Islam adalah perpecahan (iftiraq). Sebagaimana
firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan lain karena itu akan mencerai beraikan kalian dari
jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153).
Prof. Muslim Ibrahim
lalu mengisahkan perbedaan pendapat yang sangat tajam dan tidak pernah tuntas
antara Imam Malik dengan muridnya, Imam Syafi'i. Tapi guru dan murid ini tetap
saling menghormati dan menghargai.
"Imam
Syaf’i juga berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab
fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik, pendahulunya, Imam Hanafi ataupun
muridnya, Imam Hambali," ungkapnya.
Soal
qunut misalnya. Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas bahwa qunut tidak perlu pada
shalat subuh subuh, kecuali pada shalat witir. Dalilnya, dalam shalat subuh,
Nabi melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak.
Imam
Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah
kuat, ia meyakini qunut subuh juga berstatus sunnah. Sebagai ulama yang
konsekuen, Imam Syafi’i tak putus dan selalu membaca qunut subuh sepanjang
hidupnya.
Namun,
pada suatu hari Imam Syafi’i dengan sengaja
meninggalkan qunut subuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati
pendapatnya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah
makam.
Ternyata
Imam Syafi’i sedang memberi hormat yang tinggi kepada ilmu dan
jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena
di tanah makam di sekitar tempat ia shalat itu telah bersemayam jasad mujtahid
agung, Abu Hanifah atau Imam Hanafi.
"Kita
sangat mengharapkan dan mendambakan sikap toleran dan saling menghormati
seperti ini di Aceh sekarang ini. Tidak saling menyesatkan, menyalahkan
pendapat yang satu dengan lainnya, apalagi sampai mencela dan caci maki sesama
umat Islam," tegas Tgk. Muslim Ibrahim.
Dalam
mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui
secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap dan toleransi yang
tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al-Quran dan Hadits,
tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun
datangnya.
Mereka
tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga
wajib diikuti, dan menolak pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu
yang bertentangan dengan agama.
Bahkan,
Imam Syafi'i pernah berkata, “Pendapatku benar,
tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah,
tapi memiliki kemungkinan untuk benar”.
Muslim Ibrahim juga
menyebutkan beberapa faktor yang mengakibatkan perbedaan pendapat yang berujung
perpecahan bahkan jadi permusuhan, diantaranya, kurang wawasan dan pemahaman
dalam agama
Rendahnya
kualitas pemahaman agama akibat tidak sungguh-sungguh dalam mencari ilmu
sehingga kurang wawasan, akhirnya yang diandalkan adalah sekadar pemikiran
tanpa landasan keterangan yang jelas.
Tidak
senang, rasa permusuhan kepada pihak lain kerap melahirkan sikap yang
berlebihan. Pada gilirannya, sikap ini akan berujung pada sikap ujub dan
akhirnya penolakan terhadap kebenaran yang datang dari kelompok yang tidak
disukainya.
"Karenanya,
kita perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat, banyak pengajian, mudarasah.
Belajarlah pada ulama-ulama yang alim. Bahkan ayat pertama saja Iqra' disuruh
membaca dan belajar. Karenanya, shalat tanpa ilmu itu akan shalat sia-sia
saja," jelasnya.
Terkait
dengan pengamalan yang mengikuti satu mazhab di satu daerah seperti halnya Aceh
yang tunduk pada pemahaman Ahlussunnah Waljamaah, Prof. Muslim menyatakan, juga
sepakat dengan mengikuti mazhab yang telah ada dan tidak memaksa pemahaman
lainnya kepada masyarakat yang telah terbiasa dengan satu mazhab.
"Saya
juga sependapat jika harkat dan martabat Aceh harus dijaga, jangan hanya di
mulut saja. Ahlussunnah Waljamaah bukan bicara hari ini di Aceh. Sejak zaman
Sultan Mugayatsyah sudah diumumkan bahwa kerajaan Aceh didirikan dengan
pemahaman Ahlussunnah Waljamaah," terangnya.
Soal
penghormatan terhadap satu pemahaman yang telah lebih dulu ada di satu daerah,
menurut Prof Muslim, ini perlu dihormati oleh tamu yang datang kemudian, dengan
tidak mengajarkan pemahaman mazhab lainnya.
Imam
Malik sendiri justru menolak penyampaian suatu pemahaman mazhab kepada pengikut
mazhab lainnya, dan meminta agar umat di setiap wilayah dibiarkan tetap
mengikuti mazhab yang telah lebih dahulu mereka anut.
"Karena
itu lebih duluan itu, jangan diatur tamu yang berbeda yang datang
kemudian. Jangan mengusik sesuatu yang sudah lazim berlaku sepanjang itu
sesuau dengan dalil kuat," katanya.
Wakil
Ketua MPU Aceh ini secara tegas menekankan, yang perlu dipertahankan oleh
masyarakat Aceh sekarang adalah kalau sudah menyerang akidah, apalagi yang
menjurus sesat.
"Harus
dpertahankan kalau soal akidah. Perlu kita jaga, kalo ada hal
yang sulit dibedakan antara akidah yang benar atau salah, perlu dekat dengan
ulama yang jelas sumber ilmunya. Karena kalau tidak
dijaga, Aceh bisa darurat akidah, masuknya bisa dari macam-macam. Jangan
bergeser dari keaslian Aceh. Kita punya pagar, bukan daerah tak
berpunya. Perlu dihargai oleh pemahaman luar," tegasnya.[rls/ar]