Senpi milik Breujuk yang diamankan Polisi |
BANDA ACEH – World Acehnese
Association (WAA) atau persatuan masyarakat
Aceh seluruh dunia turut berduka atas jatuhnya korban penembakan Junaidi (30) alias
Breujuk oleh aparat kepolisian di area SPBU
Batuphat, Lhokseumawe, Kamis (27/8/2015) lalu.
"Kami mengecam tindakan
polisi yang melakukan extra judicial
killing ketika Aceh dalam keadaan damai," demikian disampaikan
Koordinator WAA, Hassan Basri, kepada lintasatjeh.com, Senin (31/8/2015).
Dia mengatakan, satu persatu regenerasi bangsa Aceh tumbang dan
menghembuskan nafas terakhit setelah dimuntahkan timah panas dari moncong senjata aparat kepolisian di Aceh ke
tubuh para tersangka. WAA sangat
menyayangkan di saat Aceh dalam situasi damai yang sudah dibina
sepuluh tahun, namun pola zaman seperti masa konflik kembali di praktekkan oleh
TNI/Polri, misalnya adanya pasukan siluman buatan kapolda Aceh dan
anggota TNI masuk ke kawasan perkampungan Aceh dengan menjadikan medan latihan. Ada apa ini ?
Dengan
itu, WAA sangat berharap kepada lembaga-lembaga (LSM) yang ada
di Aceh untuk membatu dan mendampingi pihak keluarga korban dalam membuat
laporan kepada pihak komisi nasional hak asasi manusia (Komnas HAM) secara fakta
sehingga dapat diinvestigasi sesuai dengan aturan yang ada, apakah penembakan
di Aceh itu sudah melalui prosedur yang diatur oleh undang-undang.
Karena
semua sama di muka hukum, apakah rakyat biasa, polisi,
tentara, pajabat dan sebagainya, maka pihak komnas HAM yang ada di
Indonesia-Aceh harus menindak lanjuti atas perilaku pelanggaran hak asasi
manusia yang ada di Aceh.
Untuk itu, World Acehnese Association menghimbau Komnas HAM harus independent, pihak Kapolda Aceh harus berkerja dengan profesional
sesuai prosdur hukum, dan persoalan-persoalan yang terjadi di Aceh pada saat ini harus bisa dibongkar dan mendapatkan siapa yang bermain di Aceh saat ini.
WAA juga akan melakukan
evaluasi lebih mendalam atas desas desus insiden
penembakan di Aceh selama ini yang telah jatuh korban jiwa atau kehilangan nyawa
masyarakat sipil di saat Aceh damai. Pihaknya juga akan melaporkan kasus ini kepada Amnesty
International di Denmark dan di negara-negara lain yang ada perwakilan WAA, di mana tindakan aparat kepolisian Indonesia-di Aceh sudah menodai norma-norma
hak asasi kemanusiaan, bahkan mereka telah berani melakukan extra pembunuhan
terhadap warga sipil.
WAA sangat khawatir, dengan adanya kelompok siluman
buatan kapolda Aceh dalam membuat operasi untuk mencari anggota
kelompok-kelompok tertentu yang natabenya terduga melakukan kriminal. Ini akan
memperparah trauma masyarakat Aceh dan termasuk mengusik tatanan perdamaian
Aceh. Apalagi sikap polisi itu yang tidak mengedepankan etika kamanusiaan saat
bereaksi di lapangan.
Hassan Basri menegaskan, ada baiknya polisi mempunyai prosudur yang harus
diikuti. Karena apapun salahnya, jangan mengutamakan senjata polisi untuk
langsung mengeksekusi mati para tersangaka. Itu yang sudah dilakukan oleh
polisi di Aceh namanya extra judicial killing yang melanggar aturan negara dan
aturan internasional. Polisi harus taat aturan untuk menegakkan aturan.
Buktikan
pada rakyat kalau itu negara hukum, gunakan hukum sebagai panglima, bukan
senjata. Senjata pernah menjadi panglima di Aceh pada waktu yang sangat lama,
semestinya hal ini tidak perlu terulang lagi.
Kalau
betul-betul polisi untuk mengayomi masyarakat umum, maka upayakan untuk membuat
pendekatan dengan semua pihak, terutama dengan kepala pemerintah Aceh dalam
menyelesaikan persoalan yang mengarah bertambah peningkatnya kriminalitas di
Aceh. Pemerintah Aceh pun jangan asal mengeluarkan
perintah, masalah kriminal urusan polisi, hidup atau mati. Selepas itu kepala
pemerintah Aceh asik tidur dalam meuligoë gubernur.
Pihaknya yakin, kalau pemerintah Aceh masih mempunyai hati dan
rasa berbangsa terhadap bangsanya, tentu personal yang dituntut oleh kelompok
di Aceh untuk keadilan tidak sampai kehilangan lagi nyawa manusai. Apalagi
selama ini kan jelas, kelompok yang sedang menuntut keadilan di Aceh dengan
senjata mantan kombatan GAM dan anak korban konflik yang di abaikan.
Pesan
khusus untuk pemerintah Aceh;
”Kamoë peuingat keupada ule peumeurintah Atjeh, Gubernur, Bupati, Walikota, DPR, DPRA, DPRK beuna rasa tanggoëng jaweub moral dengôn kondisi Aceh uroë njoë ”. Haruh peubukti bak rakyat Aceh, uroë njoë peumeurintah Aceh katamat keudroë, kataatoë keudroë, katajaga keudroë, katabangun keudroë, maka tabanguën keuh dari sigala aspek njang peunoëh deungôn nilai-nilai keuadelan bansigom Aceh. Peng Otonomi khusus beuteupat guna untuk peumakmu bangsa ? meunan tjit peng aspirasi dewan beubeutoi-beutoi peuna program nibak peuseudjahtra rakjat djeulata. Bek talet musôh tatjoëk peurangui !
Peureule
beu neu tupue beut pemerintah Atjeh geutanjoë bandum saboh nasib, peurangoë meu
nafsi-nafsi, peurangoë “peuglaih putjôk droë”
deungon hana piké keu bansa teuh teungoeh keadaan Atjeh njang ka lageë meunoe,
han meuhasé dan hana keuneuleuëh menjoë meunoë tjara ureung droeneuh seumike
njang duek dalam pemerintah Atjeh uroenjoe.
Secara
khusu, kamoë meupeudeuk perhatian pada persoalan-persoalan njang
kompleks, njang dihadapi oleh Eks kombata GAM dan masyarakat di tanoh rincong
uroenjoë. Kamoë meupeuingat agar pemerintah Atjeh hana menggunakan pendekatan
militir dalam penyelesaian masalah- masalah njang timbul dalam masyarakat Atjeh
tetapi kamoe meundorong pemerintah mengupayakan dialog national njang
komperensif adil, dan bermartabat dalam penyelesaian masalah njang na di Aceh
uroenjoë.[pin]