JAKARTA - Langkah pemerintah mengusulkan pasal penghinaan
Presiden dalam revisi rancangan KUHP dianggap cukup aneh. Pasalnya, Presiden
Joko Widodo dikenal rakyat sebagai pemimpin yang pro rakyat.
“Kalau pro rakyat
artinya pro demokrasi dan tentu saja pro HAM,”
ucap pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Bengkulu, H. Juanda kepada ROL,
Rabu (5/8).
Juanda
tidak tahu persis apakah ini berasal dari pikiran Jokowi sendiri atau
orang-orang terdekatnya. Namun, pemerintah hendaknya sudah mengetahui ketentuan
peraturan hukum tata negara. “Artinya ketika beliau
tahu atau tidak, khalayak menganggapnya tahu,”
kata dia.
Kritik
yang mengarah ke penghinaan presiden hendaknya disikapi dengan bijak. Dia
berpikir ini adalah pikiran yang tidak tepat dalam konteks membangun negara
demokrasi. Seharusnya, pemerintah mencari jalan lain untuk mengantisipasi
penghinaan pada presiden.
Untuk
itu, peran aparatur negara sangat dibutuhkan untuk memberikan pemahaman bahwa
kedudukan presiden sangat penting, yakni sebagai simbol negara. “Makanya
tidak boleh semudah itu melakukan perbuatan yang mengarah ke penghinaan,”
ujar Juanda. Namun saat itu terjadi, masih ada peraturan perundang-undangan
lain yang bisa menjeratnya, misalnya lewat pasal penghinaan nama baik.
Ia
khawatir jika rencana ini dikabulkan, orang-orang yang sudah mendapat putusan
atas sengketa konstitusinya akan kembali lagi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
mengajukan banding.[Republika]