JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) membahas hukum tentang program
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam Muktamar ke-33 di
Jombang, Jawa Timur, Selasa, 4 Agustus 2015.
Persoalan
itu dibahas dalam Komisi Waqiiyah untuk merespons fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan BPJS Kesehatan tak sesuai syariat Islam. Fatwa itu
kemudian berkembang seolah BPJS Kesehatan haram karena mekanismenya tak sesuai
hukum Islam.
Menurut
NU, program BPJS Kesehatan tidak haram. Alasannya, perjanjian premi BPJS menggunakan
bank konvensional yang hukumnya ikhtilaf (ada beberapa catatan dan pendapat),
haram, subhat dan mubah.
"Almarhum
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sudah pernah membahas soal bank konvensional secara
khusus yang dihukumi ikhtilaf. Apalagi mayoritas nahdliyin (warga NU) kurang
terikat dengan hukum syar’i (syariat Islam), dan kalau dipaksakan tidak baik
bagi NU," kata Sekretaris Komisi Waqi’iyah, Abdul Ghofur di
lokasi Muktamar.
"MUI
cenderung menghukumi BPJS haram itu wajar, lantaran MUI punya semangat
menggalakkan umat Islam di Indonesia menggunakan Bank Muamalat yang sudah
menggunakan hukum syar’i,” ujar Wakil Rais
Syuriah NU Jawa Tengah itu menambahkan.
Prinsipnya,
kata Ghofur, NU lebih mengedepankan keadilan dan kemanfaatan. Artinya, jaminan
kesehatan bagi seluruh warga negara sangat dibutuhkan. Namun jika ada orang
yang tak mampu membayar, negara wajib memberikan subsidi atau menanggung penuh.
Begitu juga soal denda BPJS Kesehatan, NU memandang hal itu merupakan bagian
dari takzir yang dibolehkan untuk kepentingan umum.
Janji politik
Dalam
kesempatan itu, NU juga membahas hukum tentang perubahan sistem pemilu di
Indonesia dengan cara pemilihan langsung yang dinilai berdampak buruk.
Misalnya, mengumbar janji palsu demi mendapatkan dukungan pemilih.
Menurut
Ghofur, calon pemimpin yang mengikuti Pemilu dilarang atau haram menjanjikan
sesuatu kepada pemilih. Soalnya itu masuk kategori riswah atau sogokan atau
suap kepada perorangan atau kelompok.
"Pemberi
dan penerima janji hukumnya haram, sebab janji politik itu saja sudah dihukumi
haram," ujarnya.
Jika
janji politik itu sesuai kewenangan jabatan yang akan diraih oleh calon
pemimpin dan bisa adil, itu dibolehkan. Masalahnya ditemukan banyak janji
politik yang diungkapkan oleh pejabat yang tak memiliki kewenangan.
"Masa
calon anggota legislatif menjanjikan akan membangun jalan. Padahal yang bisa
membangun jalan adalah pemerintah melalui dinas terkait yang dibiayai APBD. Itu
contoh sebagian janji politik yang diharamkan," katanya menambahkan.
Pijakan
hukum pengharaman janji politik mengacu Al Quran, tafsir Al Baghowi, tafsir
Ibnu Katsir, kitab fikih Fathul Muin dan lain-lain.[Viva]