JAKARTA - Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan, nama Indonesia
sudah berseliweran dalam berbagai aktivitas politik kaum pergerakan: rapat
akbar, aksi massa, pawai, famplet, koran, pemogokan, risalah-risalah, dan lain
sebagainya.
Kapan
nama Indonesia pertamakali dipergunakan? Siapa sang penemunya? Dan bagaimana
nama tersebut diadopsi menjadi nama sebuah nation dan negara? Mungkin diantara
kita masih ada yang belum mengetahuinya. Maklum, pelajaran sejarah di
sekolah-sekolah tidak begitu serius memberitahu kita.
Padahal,
mengenal sejarah bangsa itu penting. Apalagi sejarah nama bangsa dan negara
kita. Ingat, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka Indonesia yang banyak
menulis novel sejarah, pernah bilang: “Kalau orang tak tahu
sejarah bangsanya sendiri –tanah airnya sendiri–
gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri.”
Nama
“Indonesia” pertamakali muncul
di tahun 1850, di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Penemunya
adalah dua orang Inggris: James Richardson Logan dan George Samuel Windsor
Earl. Saat itu, nama Hindia—nama wilayah kita
saat itu—sering tertukar dengan nama tempat lain. Karena itu,
keduanya berpikir, daerah jajahan Belanda ini perlu diberi nama tersendiri.
Earl mengusulkan dua nama: Indunesia atau Malayunesia. Earl sendiri memilih
Malayunesia. Sedangkan Logan yang memilih nama Indunesia. Belakangan, Logan
mengganti huruf “u” dari nama tersebut
menjadi “o”. Jadilah: INDONESIA.
Nama
Indonesia kemudian dipopulerkan oleh seorang etnolog Jerman, Adolf Bastian. Dia
mempopulerkan nama Indonesia melalui bukunya, Indonesien Oder Die Inseln Des
Malayischen Archipelsdan Die Volkev des Ostl Asien. Bastian sendiri
mengunjungi Indonesia empat kali. Di bukunya, Bastian menggunakan kata
Indonesia untuk merujuk pulau besar—Jawa, Sumatera,
Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Molukken (Maluku), Timor, hingga
Flores—dan gugusan pulau-pulau yang mengitari pulau tersebut.
Penjajah
Eropa, baik Belanda maupun Portugis, menamai negeri kita ini: India. Namun,
agar tidak sama dengan nama India, maka ditambahi huruf ‘H’
di depannya menjadi: Hindia. Di bawah penjajahan Belanda, negeri kita disebut
Nederlandsch-Indie, yang berarti ‘Hindia kepunyaan
Belanda’. Di bawah penjajahan Portugis, namanya ‘Hindia
kepunyaan Portugis’. (Pramoedya Ananta Toer, Angkatan Muda Sekarang,
1999).
Tahun
1913, Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara mendirikan Kantor Berita
untuk bumiputera di Den Haag, belanda. Namanya: Indonesische Persbureau,
disingkat IP. Saat itu Ki Hajar sedang menjalani pembuangan di negeri Belanda
akibat aktivitas politiknya di tanah air.
Sebelumnya,
di tahun 1912, Ki Hajar bersama dua kawannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto
Mangkukusumo, mendirikan partai politik bernama Indische Partij (IP). IP
merupakan organisasi politik pertama yang terang-terangan memperjuangkan
kemerdekaan Hindia—terpisah dari kolonialisme Belanda. Saat itu, IP
mengusulkan agar nama negeri kita ini adalah Hindia. Slogan IP yang terkenal:
Hindia untuk Hindia! Sayang, usulan IP ini kurang berterima luas di kalangan
kaum pergerakan.
Pada
bulan Februari 1922, para pelajar Indonesia di negeri Belanda sepakat
mengadopsi nama Indonesia. Mereka mengubah nama organisasinya dari Indische
Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging. Kemudian, di tahun 1924, koran
organisasi ini, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Setahun
kemudian, giliran nama Indonesische Vereeniging resmi diubah menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI).
Di
tanah air, organisasi politik yang pertama sekali menggunakan nama Indonesia
adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Itu terjadi pada tahun 1924. PKI sendiri
berdiri tanggal 23 Mei 1920, dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Baru pada
bulan Juni l924, melalui sebuah Kongres di Weltevreden, Perserikatan Komunis
Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia.
Pada
tahun 1927, Soekarno bersama Tjipto Mangunkusumo serta kawan-kawannya di
Algemene Studieclub mendirikan gerakan politik nasionalis bernama Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI). Setahun kemudian, Perserikatan Nasional Indonesia
berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno dan PNI punya
kontribusi besar dalam mempopulerkan nama Indonesia di kalangan rakyat jelata:
petani, buruh, dan kaum melarat lainnya.
Pada
tahun 1928, Kongres Pemuda Indonesia ke-2 mengikrarkan ‘satu
nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: INDONESIA”.
Sejak itulah Indonesia sebagai nama dari sebuah negeri yang diperjuangkan makin
berterima luas di kalangan kaum pergerakan dan rakyat banyak. Dua tahun
sebelumnya, Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu berjudul “Indonees,
Indonees”, yang kemudian di tahun 1944 diubah menjadi “Indonesia
Raya”. Lagu itu diperdengarkan tanpa lirik oleh WR
Soepratman di Kongres Pemuda Indonesia ke-2 di gedung Indonesische Clubgebouw,
Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, tahun 1928. Sejak itulah cita-cita “Indonesia
Raya” bergema di hampir semua pulau-pulau sepanjang
Semenanjung Malaya hingga Papua. Tahun 1937, di Malaya (sekarang Malaysia),
berdiri organisasi nasional bernama Kesatuan Melayu Muda (KMM). Dalam
programnya, KMM menyatakan ingin mempersatukan Malaya ke dalam satu ikatan
dengan ‘Indonesia Raya’.
Tetapi
Pramoedya Ananta Toer kurang setuju dengan nama Indonesia. Menurutnya,
penggunaan nama itu kurang politis dan ahistoris. Kata Pram, Indonesia berarti
kepulauan India; belum keluar dari cara kolonialis menamai negeri kita. Pram
sendiri mengusulkan dua nama yang dilahirkan oleh sejarah bangsa ini, yaitu
Nusantara dan Dipantara. Nusantara muncul semasa dengan Majapahit, yang
berarti: kepulauan Antara (dua benua). Sedangkan Dipantara muncul di era
Singasari, yang berarti: Benteng Antara (dua benua).[Berdikarionline]