LHOKSEUMAWE - Sejumlah pegiat mengkritisi pernyataan Pangdam IM dan
Kapolda Aceh bahwa pengibaran bendera bintang bulan di Mesjid Islamic Center
Lhokseumawe melanggar hukum.
"Jikalau
melanggar hukum berarti MoU Helsingki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 silam
dan isi Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) ilegal buat Aceh," demikian
dikatakan salah seorang pegiat, Juliadi, Selasa (18/8/2015) malam.
Menurut
Juliadi, orang yang mengibarkan sudah tepat karena sudah disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Bukankah DPRA itu lembaga yang legal? Kalaupun
melanggar hukum, berarti DPRA lah yang pertama sekali melanggar hukum.
"Pengibaran
bendera jangan salahkan rakyat," tegas Juliadi.
Justru,
kata Juliadi lagi, jika pusat tidak segera mengesahkan bendera tersebut, ditakutkan
akan timbul sakit hati dari rakyat Aceh, karena rakyat Aceh lagi-lagi merasa
tertipu oleh pusat yang terkesan ingkar janji.
Soal
ada beberapa pihak menganggap bendera bintang bulan seperatis, dijelaskan
Juliadi bahwa bukankah pasca damai sudah sepakat di Aceh tidak ada lagi
separatis. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah dibubarkan, yang ada hanya Komite
Peralihan Aceh (KPA) dan Aceh di bawah NKRI.
Persoalan
bendera saja sangat berlarut-larut, belum lagi RPP Migas yang tidak sesuai MoU
Helsingki dan turunan UUPA lainnya sampai saat ini masih belum selesai, seperti
Qanun KKR dan lain sebagainya. Jika bapak Kapolda Aceh dan Pangdam IM mengatakan
bintang bulan melanggar hukum, berarti Polda dan Pangdam sebaiknya menangkap
saja DPRA terlebih dahulu dan para petinggi-petingi GAM yang selalu memberikan
janji-janjinya bendera bintang bulan wajib berkibar di Aceh.
Secara
hukum, Qanun nomor 3/2013 tentang bendera dan lambang daerah Aceh yang terkait penggunaan
bendera bintang bulan di dalamnya sudah sah dari tinjaun hukum. Sebab pihak DPRA
dan Pemerintah Aceh dalam penyusunan
Qanun tersebut sudah menepati kaidah atau aturan-aturan yang berlaku sesuai
dengan Undang-undang Pemerintah Aceh atau pemerintah daerah tentang penyusunan
Perda/Qanun, yaitu setelah 60 hari Qanun terbentuk dan tidak ada respon dari
Pemerintah pusat, maka suatu produk Perda/qanun dapat dianggap sah, dimana kemudian
dimasukkan ke dalam lembaran daerah.
Maka,
tambah Juliadi, sesuai sesuai perundangan-undangan jika Pemerintah pusat menilai
qanun tersebut tidak sah, seharusnya bukan dalam bentuk revisi lagi, namun
dikeluarkan Kepres untuk pembatalan atau penolakan qanun tersebut, sebab
apabila revisi dilakukan pada masa 60
hari tersebut tidak akan memungkinkan lagi.
"Apabila
belum ada keputusan lanjutan dari Pemerintah pusat, maka untuk sementara apa yang
tertuang dalam qanun yang telah dibentuk sesuai dengan undang-undang sementara
dianggap telah sah," katanya.[razali]