-->

Jika Bintang Bulan Melanggar Hukum, Tangkap Saja Anggota DPRA!

19 Agustus, 2015, 13.19 WIB Last Updated 2015-08-19T06:19:18Z
LHOKSEUMAWE - Sejumlah pegiat mengkritisi pernyataan Pangdam IM dan Kapolda Aceh bahwa pengibaran bendera bintang bulan di Mesjid Islamic Center Lhokseumawe melanggar hukum.

"Jikalau melanggar hukum berarti MoU Helsingki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 silam dan isi Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) ilegal buat Aceh," demikian dikatakan salah seorang pegiat, Juliadi, Selasa (18/8/2015) malam.

Menurut Juliadi, orang yang mengibarkan sudah tepat karena sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Bukankah DPRA itu lembaga yang legal? Kalaupun melanggar hukum, berarti DPRA lah yang pertama sekali melanggar hukum.

"Pengibaran bendera jangan salahkan rakyat," tegas Juliadi.

Justru, kata Juliadi lagi, jika pusat tidak segera mengesahkan bendera tersebut, ditakutkan akan timbul sakit hati dari rakyat Aceh, karena rakyat Aceh lagi-lagi merasa tertipu oleh pusat yang terkesan ingkar janji.

Soal ada beberapa pihak menganggap bendera bintang bulan seperatis, dijelaskan Juliadi bahwa bukankah pasca damai sudah sepakat di Aceh tidak ada lagi separatis. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah dibubarkan, yang ada hanya Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Aceh di bawah NKRI.

Persoalan bendera saja sangat berlarut-larut, belum lagi RPP Migas yang tidak sesuai MoU Helsingki dan turunan UUPA lainnya sampai saat ini masih belum selesai, seperti Qanun KKR dan lain sebagainya. Jika bapak Kapolda Aceh dan Pangdam IM mengatakan bintang bulan melanggar hukum, berarti Polda dan Pangdam sebaiknya menangkap saja DPRA terlebih dahulu dan para petinggi-petingi GAM yang selalu memberikan janji-janjinya bendera bintang bulan wajib berkibar di Aceh.

Secara hukum, Qanun nomor 3/2013 tentang bendera dan lambang daerah Aceh yang terkait penggunaan bendera bintang bulan di dalamnya sudah sah dari tinjaun hukum. Sebab pihak DPRA dan Pemerintah  Aceh dalam penyusunan Qanun tersebut sudah menepati kaidah atau aturan-aturan yang berlaku sesuai dengan Undang-undang Pemerintah Aceh atau pemerintah daerah tentang penyusunan Perda/Qanun, yaitu setelah 60 hari Qanun terbentuk dan tidak ada respon dari Pemerintah pusat, maka suatu produk Perda/qanun dapat dianggap sah, dimana kemudian dimasukkan ke dalam lembaran daerah.

Maka, tambah Juliadi, sesuai sesuai perundangan-undangan jika Pemerintah pusat menilai qanun tersebut tidak sah, seharusnya bukan dalam bentuk revisi lagi, namun dikeluarkan Kepres untuk pembatalan atau penolakan qanun tersebut, sebab apabila revisi dilakukan pada masa  60 hari tersebut tidak akan memungkinkan lagi.

"Apabila belum ada keputusan lanjutan dari Pemerintah pusat, maka untuk sementara apa yang tertuang dalam qanun yang telah dibentuk sesuai dengan undang-undang sementara dianggap telah sah," katanya.[razali]
Komentar

Tampilkan

Terkini