Senpi milik GAM yang dimusnahkan pasca damai (Ist) |
LHOKSUKON –
Genap sepuluh tahun berjalannya perdamaian di bumi serambi mekah (15 Agustus
2005-15 agustus 2015), dimana proses pendewasaan terhadap sebuah kesepahaman dimaknai dengan proses pencapaian
yang masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh mandegnya proses regulasi
produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah Aceh harus sesuai dengan aturan
hukum yang lebih tinggi.
Hal tersebut diungkapkan Muhammad Azmuni alias Bodrex,
mantan Gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pasee, menurutnya,
seolah Pemerintah Aceh saat ini terlalu
disibukkan dengan masalah pranata hukum tersebut sehingga kurang sensitif
terhadap isu-isu kesejahteraan mantan kombatan GAM dan Rakyat. Ironisnya lagi,
katanya, hal ini akan jadi bumerang bagi Pemerintahan saat ini karena dengan
isu paket kesejahteraanlah proses tuntutan regulasi hukum tersebut diganjal,
dengan isu kepentingan kesjahteraan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang
memiliki kepentingan politik, disadari atau tidak Pemerintahan Aceh saat ini
didominasi oleh mantan petinggi GAM sebenarnnya harus konsen terhadap instrumen
perang masa konflik (mantan kombatan) dimana mereka digunakan sebagai ujung
tombak perjuangan yang hari ini kesejahteraan mereka seolah terabaikan, namun
secara pribadi dirinya menilai konsentrasi terhadap isu kesejahteraan telah
dilakukan namun belum optimal.
“Ketahuilah bahwa ketika konflik berkecamuk di Aceh, para
kombatan GAM begitu santun dan sangat menjunjung tinggi perintah komando (peunutoh) bukan hanya dikalangan jajaran
GAM saja bahkan masyarakat sekalipun sangat bersimpati terhadap perjuangan,
seolah saya ingin me review kembali
dimana ketika terjadi mogok massal serentak di seantero Aceh, peunutoh tersebut hanya beberapa jam
setelah dikeluarkan oleh pimpinan GAM, berlaku efektif tanpa ada pihak-pihak
yang tidak mengindahkannya meskipun dibawah ancaman militer yang saat itu
menguasai sebagian besar wilayah Aceh,” ungkap Bodrex di Lhokseumawe, Rabu
(12/8/2015).
Menurutnya lagi, pelajaran yang dapat dipetik ketika itu
adalah tingginya rasa solidaritas dan integritas terhadap but peurdjuwangan bahwa para leadership di kalangan GAM masih satu
tujuan dalam menjalankan visi dan misi but
perdjuwangan tanpa terkontaminasi konflik kepentingan.
Namun, katanya, satu dekade ini pasca perdamaian dihadapkan
pada proses disentegrasi dimana faktor kepentingan menjadi pemicu utamanya.
Herannya, sambung Bodrex, melihat atmosfir politik dewasa ini yang terkesan
melucuti tujuan dasar berjuang, lebih terperangah lagi oleh statement para
elite politik yang saling peupachep sesama rekan seperjuangan.
“Jika saya flashback
ke awal terjadinya proses perdamaian di Aceh, maka kita telah berada pada dimensi
pengorbanan. Betapa tidak, konfrontasi antara GAM dan TNI telah menyisakan
puluhan ribu nisan yang tanpa nama dan ratusan ribu anak yatim, dan mencapai
klimaksnya pada musibah yang super dahsyat dan dunia terhenyak dibuatnya, yaitu
tsunami yang meluluh lantakkan Nanggroe Aceh
seolah tak bertuan dengan ratusan ribu korban nyawa, adakah hikmah
dibalik bencana yang sarat makna ini?,” ujarnya.
Seraya mengatakan, ketika mendengar kabar bahwa sebentar
lagi akan terjadinya perdamaian melalui
jaringan radio satelit yang dipegang pimpinan, namun ada kekhawatiran di dalam
hati tentang kondisi keamanan paska perdamaian, pihaknya selaku mantan kombatan
mengakui harus rela berpisah dengan sahabat sejatinya yakni beuso batok alias senjata yang menemani
keseharian semasa konflik, senjata merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupannya, karena prinsip seorang gerilyawan adalah hilang senjata diartikan
dengan hilang nyawa, namun rela atau tidak rela pimpinan kami telah mengintruksikan
agar semua senjata atau atribut militer diserahkan kepada pihak AMM untuk di
lakukan proses decomissioning, secara
serentak tanpa ada pertanyaan, meski dibelit rasa was-was namun harus rela walaupun nyawanya terancam demi sebuah
intruksi yang namanya peunutoh.
“Kalau dulu pimpinan kami searah dan sejalan alias kompak
(solid) dalam memberikan peunutoh,
tetapi kenapa hari ini anda-anda pimpinan kami justru yang terlihat tidak
kompak lagi dalam menjalankan peunutoh,
jangan jadikan jabatan sebagai alasan untuk menghentikan tujuan dasar
perjuangan,” keluhnya.
Bodrex menambahkan, “Saya teringat kepada alm Tgk Abdullah Syafii yang ketika ditanya
kenapa bermunajat agar disyahidkan sebelum tujuan perjuangan tercapai beliau
menjawab bahwa ketika nanti tujuan perjuangan tercapai saya tidak ingin dicap
sebagai seseorang yang haus akan jabatan, karena saya berperang melawan
kesewenang-wenangan terhadap rakyat, yang saya lakukan adalah tanpa pamrih,”
tambah kader Partai Aceh itu.
Sejatinya, sambungnya, pemimpin politik berkaca pada
kesehajaan seorang Tgk Lah bukan
justru berkompetisi memperebutkan jabatan, tetapi lebih kepada tujuan bersama.
Karena esensi perdamaian itu sendiri adalah tercapainya tujuan menyeluruh dari
kesepakatan politik yang telah di tanda tangani.
Sebuah pernyataan yang pernah dikeluarkan
oleh George Washington Presiden
pertama Amerika tentang pentingnya persatuan, ”persatuan merupakan syarat utama
terpeliharanya kebebasan, cinta anda harusnya membuat anda menjaga orang lain.”
“Pemimpin politik kami mohon anda bersinergi dalam upaya
mewujudkan cita-cita perjuangan kalau anda masih ingin didengar, maka dengarlah
isi hati kami mantan kombatan yang sudah lelah menyaksikan teatrikal politik
anda yang syamsyareh alias peugah meunoe puebut meudeh, lebih
obyektiflah melihat fakta yang
sebenarnya bahwa sekelumit kepentingan anda telah menghilangkan sebongkah
tujuan dasar perjuangan,” harapnya.
Dirinya juga mengharapkan, hilangkan konspirasi kepentingan
yang berpotensi merusak citra keutuhan perjuangan untuk upaya tersebut
dibutuhkan konsolidasi agar terjadi keseragaman dalam hal menentukan tujuan
perdamaian.
Usia gaek tidak menjadi patokan dalam bertindak dan bersikap
dewasa, namun bersikap jiwa besarlah dalam menerima perbedaan serta menyatukan
persepsi yang berseberangan sangat diharapkan, jadi jangan berkomitmen, jika
tidak bisa menjalankan komitmen tersebut. Bahwa pihaknya para mantan prajurit
GAM mampu mengesampingkan sifat egoisme dan darah muda karena respect terhadap pimpinan, meski
terkadang pihaknya melihat kebijakan melukai hati.
“Almarhum proklamator Gerakan Aceh Merdeka hendaknya bisa
dijadikan panutan, bagaimana beliau dengan ideologi ke-Aceh-annya mampu
menggerakkan semangat juang bagi menentang kedzaliman, tidak hanya itu saja
beliau juga rela mengorbankan kebahagiannya demi kebahagiaan kita semua,
tidakkah menjadi iktibar bagi kita bahwa harapan beliau hanya satu Aceh yang
bermartabat di segala sector,” ungkapnya lagi.
Seraya menambahkan, “dengan semboyan yang pernah saya dengar
dahulu “keurja keu nanggroe bek kerja bak
nanggroe” bisa kita transformasikan
sebagai apa yang telah kita lakukan terhadap kepentingan Aceh tidaklah menjadikan kita sebagai seseorang
yang mengambil manfaat secara pribadi dari sebuah kepentingan bersama,” tambahnya.
Menurutnya, sebenarnya tidaklah sulit mencapai tujuan jika
didasari dari ideologi yang sama hanya saja kita masih “peutimang mbong” untuk tidak saling membuka ruang komunikasi dan
diskusi, agar mencapai kesepakatan dalam koridor perjuangan dengan mengedepankan
konsep care, respect and trust sehingga mampu mewujudkan harmonisasi kembali
semangat juang yang terkesan mati suri.
Dalam catatan ini pihaknya di lini bawah alias “sikrek balok “ mengharapkan pimpinan GAM
untuk saling bersatu dengan menghilangkan perbedaan pandangan politik demi
menyelamatkan kepentingan Aceh, ciptakan kembali nuansa kebersamaan dengan
mempererat tali silaturahmi.
“Karena orang geutanyoe
memang memiliki filosofi “menyoe hate
hana teupeh nyawong siblah tabagi dua, meunyoe hate kateupeh bu leubeh han ta
peutaba” maka sangat dibutuhkan
kesabaran dan keuletan dalam menghadapi karakteristik orang geutanyoe yang sebenarnya, sangatlah
baik jika dihadapi dengan kebaikan namun ketika di hadapi dengan arogansi maka
dia siap jadi lawan yang tangguh,” imbuhnya.
Lanjutnya, dalam usia perdamaian 10 tahun ini pula pihaknya
mengajak seluruh element yang ada di Aceh, agar menjadikan momentum satu dekade
peringatan MoU helsinki sebagai tuntutan bagi Pemerintah Pusat agar segera
menuntaskan point-point MoU Helsinki yang belum sepenuhnya direalisasikan, dan
segera hilangkan kekhawatiran bahwa dengan mengimplementasikan seluruh butiran
MoU akan mengancam kedaulatan, hal ini sebagaimana upaya yang dilakukan oleh
Gubernur Zaini Abdullah yang menyatakan bahwa mimpi memerdekakan telah dilupakan dan berharap Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) memenuhi janjinya untuk merealisasikan semua regulasi
turunan Undang-Undann (UUPA) sebelum masa jabatannya berakhir, lalu apalagi
yang harus dikorbankan supaya turunan UUPA itu dikeluarkan?
“Sebagai konsituen politik kami berharap para legislator
yang mewakili di tingkat DPD dan DPR RI
sudah seyognya memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam konteks kepentingan Aceh harus lebih
diutamakan ketimbang kepentingan Partai yang menaungi aktivitas politik
mereka,” ujarnya.
Setidaknya sebuah ungkapan dari Wali Nanggroe Malik Mahmud
Al Haytar akan menjadi kesimpulan makna hierarki dari sebuah perdamaian yakni, “Dalam
perang, kita telah banyak berkorban. Tetapi dalam perdamaian juga kita harus
banyak berkorban lagi. Biaya perang memang mahal, tetapi biaya merawat
perdamaian jauh lebih mahal. Maka peliharalah perdamaian ini untuk
kesejahteraan seluruh rakyat Aceh.”
“Pupuk kembali rasa persatuan yang telah memudar dimasa transisi
ini dengan saling berinteraksi sesama di semua level baik di kepemimpinan bawah
maupun di level kepemimpinan elite semoga saja kualitas hubungan baik ini
menjadi ikatan simbiosis mutualisme,” demikian ungkap Muhammad Azmuni alias
Bodrex. [rls/pin]