JAKARTA – Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk tidak main-main dengan
kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Pengekangan terhadap
kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan ancaman serius bagi kebebasan
pers.
Untuk
itu, AJI meminta Presiden Jokowi jangan membawa Indonesia kembali ke era
pengekangan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers seperti di masa Orde Baru.
Ketua
Umum AJI Suwarjono menyatakan, ada tiga sinyalemen yang memperlihatkan kecenderungan
Jokowi akan mengekang kebebasan berpendapat yang mengancam kebebasan pers.
Pertama,
melalui draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan diajukan
pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat, dengan menghidupkan lagi pasal
penghinaan kepala negara yang sudah dihapus melalui keputusan Mahkamah
Konstitusi.
“Korban pertama bila
pasal tersebut kembali diberlakukan adalah pers. Pasal penghinaan kepala negara
ini lentur dan bisa ditafsirkan dengan sesuai keinginan. Bila ada narasumber
atau media kritis, dengan mudah penguasa membungkam,”
kata Jono, panggilan akrab Suwarjono, dalam rilisnya ke redaksi
hidayatullah.com.
Atas
upaya pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan kepala negara ini, AJI
prihatin dan mendesak agar DPR dan pemerintah tidak membahasnya. Bila tetap
dibahas, ini merupakan langkah mundur dan bisa berakibat buruk bagi
kelangsungan demokrasi.
Kedua,
pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga tidak
berupaya menghapus kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di ranah Internet.
Draf revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disusun
Kemenkominfo masih memuat ancaman pemidanaan terhadap kebebasan berpendapat,
tidak menghapuskan seperti yang didesakkan oleh masyarakat sipil.
“Pasal pidana
sebaiknya disinkronkan dengan Rancangan KUHP yang akan dibahas DPR, sehingga
semua materi di UU yang terkait pidana, cukup di KUHP,”
kata Suwarjono.
Ketiga,
dari upaya Jokowi membelenggu kebebasan berpendapat adalah seperti disinggung
dalam pidatonya di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jumat
14 Agustus 2015.
Di
sisi lain, AJI menilai Jokowi menempatkan semua media, termasuk yang
sungguh-sungguh bekerja melayani publik, sebagai kambing hitam. Hal ini terkait
dengan pidato Jokowi di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Jumat 14 Agustus 2015 yang mengatakan, “Lebih-lebih, saat ini
ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku
dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif
ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk
meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.”
AJI
menilai, Jokowi justru bersikap hipokrit dengan pernyataannya itu, karena
sehari sebelum dia berpidato, telah menganugerahkan penghargaan Bintang
Mahaputra Utama kepada Surya Paloh, pemilik stasiun televisi MetroTV. Tahun
2014 lalu, AJI mengumumkan penanggung jawab redaksi stasiun televisi MetroTV,
yang dimiliki Surya Paloh, sebagai Musuh Kebebasan Pers.
Padahal
menurut AJI, pemilihan Surya Paloh menjadi preseden buruk atas sikap negara
terhadap kebebasan pers dan independensi ruang redaksi di Indonesia. Surya
Paloh turut mewarnai wajah buram keberpihakan media saat pemilihan umum 2014.
Menurut
Ketua Bidang Advokasi AJI, Iman D Nugroho, ancaman pidana terhadap kebebasan
berpendapat seberapapun besarnya, tetap merupakan ancaman terhadap kebebasan
berpendapat.
“Pemerintah bebal
terhadap kenyataan banyaknya warga negara tidak berdosa dimasukkan ke tahanan
karena status yang ditulis di jejaring sosial atau karena berkeluh-kesah
melalui chat tertutup dengan temannya,” kata Iman.
Bila
kebebasan berpendapat dan berekspresi dibungkam, Iman khawatir selain menjadi
ancaman serius kebebasan pers, juga menjadi jalan mudah untuk mengkriminalisasi
pihak-pihak yang dinilai tidak sepaham dengan kepala negara.
“Di negara demokratis,
perbedaan pendapat yang disampaikan melalui media massa adalah hal biasa. Bila
ada pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan pemberitaan, pihak yang
bersangkutan seharusnya bisa menempuh prosedur Hak Jawab atau koreksi kepada
media bersangkutan. Jika tidak puas, barulah membawa persoalan itu ke Dewan
Pers, bukan ke polisi,” kata Iman.
Iman
berharap Presiden Jokowi tidak membuat kebijakan yang akan menjadi senjata baru
bagi aparat penegak hukum untuk menjerat rakyatnya yang kritis.
“Kebebasan berpendapat
dan kebebasan pers menjadi bagian penting dari sistem demokrasi. Bila kebebasan
ini dicabut, siap-siap saja kembali ke jaman kegelapan,”
kata Iman.[Hidayatullah]