Anggota DPR Lhokseumawe dan Aceh Utara pose bersama di Islamic centre |
BANDA ACEH - Perjanjian damai Aceh menginjak usianya ke sepuluh,
diwarnai beberapa peristiwa yang mustinya tidak perlu terjadi di Aceh.
Seperti
peristiwa agresif dan 'berani' yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa UIN Ar
raniry di depan Gedung DPRA, yang berakhir dengan penembakan peringatan ke
udara oleh pihak berwajib.
Demikian
dikatakan sekjen lembaga yang konsen pada kemanusian, politik, Syukrillah MK,
kepada lintasatjeh.com, Ahad (16/8/2015).
Menurutnya,
upaya tersebut adalah sia-sia yang sedikit pun tidak berdampak pada upaya
penguatan perdamaian. Jika pun kecintaannya dengan bendera Bintang Bulan, tidak
harus serendah itu caranya, karena ada cara yang lebih damai dan terhormat
untuk dilakukan secara bersama-sama.
"Sebab
bisa berakibat tidak baik bagi keberlangsungan perdamaian yang sudah dengan susah payah kita wujudkan dan pelihara
selama ini," ungkap Syukrillah.
Dalam
perspektif politik dan hukum, tambah Syukrillah, ini bentuk protes sebagian
anak muda Aceh atas ketidakpastian dan berlarut-larutnya polemik terkait Qanun
Bendera dan Lambang Aceh, dan bentuk ketidaktotalan Pemerintah Aceh dan DPR
Aceh untuk memperjuangankan hak-hak diskresi yang melekat bagi Aceh sebagaimana
tertuang dalam Nota kesepahaman MoU Helsinki.
Selain
itu, pada moment MoU Helsinki yang diperingati pada Sabtu (15/8/2015) juga disuguhi
peristiwa pengibaran Bintang Bulan yang digelar oleh anggota DPRK Kota
Lhoksumawe dan Aceh Utara dari Fraksi Partai Aceh di halaman Mesjid Agung
Islamic Centre Lhoksumawe.
"Kami
justru menilai aksi ini terlihat seperti
akting politik dan hanya mencari sensasi publik, padahal tidakkah cara
ini akan berpotensi menjadi kerikil yang justru akan mengganggu dan memperlemah
denyut nadi perdamaian yang secara susah payah serta bersama-sama dipupuk,"
ucap Syukrillah.
Memang,
tambahnya, Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh sudah disahkan beberapa waktu
yang lalu, tapi tidakkah ini masih dalam 'polemik' yang belum memiliki
kepastian hukum serta pengakuan secara yuridis formal dari Pemerintah Pusat?
Dan jika pun ada pendapat dan keyakinan bahwa bendera dan lambang Aceh telah
sah secara hukum, lalu kenapa tidak dimulai dari Kantor Pemerintahan Aceh
terutama kantor Gubernur dan DPR Aceh atau bahkan di Meuligoe Wali Nanggroe?
Jika
ini pun, bentuk kecintaan dan kebanggaan Nasional Aceh atas bendera Bintang Bulan
oleh Fraksi PA, kenapa tidak melakukannya secara total, dan seharusnya tidak
perlu ada lakonan yang terkesan 'tergesa-gesa' penuh keragu-raguan.
Persoalan
bendera, bagi sebagian masyarakat Aceh seperti makanan yang sudah terlalu
sering dimakan, tidak akan menjadi begitu menarik lagi jika tidak pantas untuk
dikatakan 'memuakkan', polemik yang panjang tanpa kepastian serta lempar bola
panas tanpa ada yang berani pasang badan dan bertanggungjawab membuat nasib Bintang
Bulan, Aceh seperti kehilangan marwah dan martabat.
Genap
sudah 10 tahun usia perjanjian MoU Helsinki, Acheh Future mengajak seluruh
lapisan masyarakat Aceh untuk terus memelihara perdamaian dan terus berperan
dalam mewujudkan Aceh yang lebih berkeadilan dan sejahtera.
Acheh
Future juga mendesak Pemerintah Aceh dan DPR Aceh serta Wali Nanggroe, untuk
lebih total memperjuangkan butir-butir MoU Helsinki, sehingga rakyat tidak
'dikorbankan' dari akibat perjuangan cendrung menggantung dan setengah-setengah.
Jika
memang memenuhi janji-janji politik dan mensejahterakan rakyat Aceh itu sulit
dan tak mampu, paling tidak, rezim penguasa saat ini tidak merusak keadaan yang
sebelumnya lebih baik.
"Hiduplah
damai Aceh, menuju Aceh yang berkeadilan dan sejahtera," tandasnya.[pin]