-->

Acheh Future: Aceh Seperti Kehilangan Marwah dan Martabat

16 Agustus, 2015, 20.24 WIB Last Updated 2015-08-16T13:25:19Z
Anggota DPR Lhokseumawe dan Aceh Utara pose bersama di Islamic centre 
BANDA ACEH - Perjanjian damai Aceh menginjak usianya ke sepuluh, diwarnai beberapa peristiwa yang mustinya tidak perlu terjadi di Aceh.

Seperti peristiwa agresif dan 'berani' yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa UIN Ar raniry di depan Gedung DPRA, yang berakhir dengan penembakan peringatan ke udara oleh pihak berwajib.

Demikian dikatakan sekjen lembaga yang konsen pada kemanusian, politik, Syukrillah MK, kepada lintasatjeh.com, Ahad (16/8/2015).

Menurutnya, upaya tersebut adalah sia-sia yang sedikit pun tidak berdampak pada upaya penguatan perdamaian. Jika pun kecintaannya dengan bendera Bintang Bulan, tidak harus serendah itu caranya, karena ada cara yang lebih damai dan terhormat untuk dilakukan secara bersama-sama.

"Sebab bisa berakibat tidak baik bagi keberlangsungan perdamaian yang sudah  dengan susah payah kita wujudkan dan pelihara selama ini," ungkap Syukrillah.

Dalam perspektif politik dan hukum, tambah Syukrillah, ini bentuk protes sebagian anak muda Aceh atas ketidakpastian dan berlarut-larutnya polemik terkait Qanun Bendera dan Lambang Aceh, dan bentuk ketidaktotalan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk memperjuangankan hak-hak diskresi yang melekat bagi Aceh sebagaimana tertuang dalam Nota kesepahaman MoU Helsinki.

Selain itu, pada moment MoU Helsinki yang diperingati pada Sabtu (15/8/2015) juga disuguhi peristiwa pengibaran Bintang Bulan yang digelar oleh anggota DPRK Kota Lhoksumawe dan Aceh Utara dari Fraksi Partai Aceh di halaman Mesjid Agung Islamic Centre Lhoksumawe.

"Kami justru menilai aksi ini terlihat seperti  akting politik dan hanya mencari sensasi publik, padahal tidakkah cara ini akan berpotensi menjadi kerikil yang justru akan mengganggu dan memperlemah denyut nadi perdamaian yang secara susah payah serta bersama-sama dipupuk," ucap Syukrillah.

Memang, tambahnya, Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh sudah disahkan beberapa waktu yang lalu, tapi tidakkah ini masih dalam 'polemik' yang belum memiliki kepastian hukum serta pengakuan secara yuridis formal dari Pemerintah Pusat? Dan jika pun ada pendapat dan keyakinan bahwa bendera dan lambang Aceh telah sah secara hukum, lalu kenapa tidak dimulai dari Kantor Pemerintahan Aceh terutama kantor Gubernur dan DPR Aceh atau bahkan di Meuligoe Wali Nanggroe?

Jika ini pun, bentuk kecintaan dan kebanggaan Nasional Aceh atas bendera Bintang Bulan oleh Fraksi PA, kenapa tidak melakukannya secara total, dan seharusnya tidak perlu ada lakonan yang terkesan 'tergesa-gesa' penuh keragu-raguan.

Persoalan bendera, bagi sebagian masyarakat Aceh seperti makanan yang sudah terlalu sering dimakan, tidak akan menjadi begitu menarik lagi jika tidak pantas untuk dikatakan 'memuakkan', polemik yang panjang tanpa kepastian serta lempar bola panas tanpa ada yang berani pasang badan dan bertanggungjawab membuat nasib Bintang Bulan, Aceh seperti kehilangan marwah dan martabat.

Genap sudah 10 tahun usia perjanjian MoU Helsinki, Acheh Future mengajak seluruh lapisan masyarakat Aceh untuk terus memelihara perdamaian dan terus berperan dalam mewujudkan Aceh yang lebih berkeadilan dan sejahtera.

Acheh Future juga mendesak Pemerintah Aceh dan DPR Aceh serta Wali Nanggroe, untuk lebih total memperjuangkan butir-butir MoU Helsinki, sehingga rakyat tidak 'dikorbankan' dari akibat perjuangan cendrung menggantung dan setengah-setengah.

Jika memang memenuhi janji-janji politik dan mensejahterakan rakyat Aceh itu sulit dan tak mampu, paling tidak, rezim penguasa saat ini tidak merusak keadaan yang sebelumnya lebih baik.

"Hiduplah damai Aceh, menuju Aceh yang berkeadilan dan sejahtera," tandasnya.[pin]
Komentar

Tampilkan

Terkini