BANDA ACEH - Perjanjian damai Aceh genap 10 tahun, namun masyarakat
dan khususnya para mantan Tentara Negara Aceh (TNA) menilai elit Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) belum maksimal memberikan pemahaman makna dan tujuan perdamaian.
"Sangat
kita sayangkan, para mantan petinggi GAM yang terlibat langsung pada saat
penandatangan MoU Helsinki semakin tidak fokus memperjuangkan dan menjalankan
butir-butir MoU yang telah disepakati," ujar eks GAM, Teungku Sufaini Syekhy,
Rabu (12/8/2015).
Lanjutnya,
mereka (mantan petinggi GAM) terkesan telah mengabaikan semua item yang
terkandung pada MoU, dan menurut Syekhy mereka sudah tidak lagi
bertanggungjawab terhadap semua yang telah mereka sepakati. Justru, kini mereka
semakin terjerumus ke jurang yang amat dalam yaitu ke jurang perpecahan sesama
mantan petinggi GAM, akibat perebutan kekuasaan sesaat untuk menjadi Gubernur,
Bupati, Walikota dan Ketua Partai.
"Padahal
tujuan perjuangan awal yaitu untuk me 'Merdeka' kan Aceh dari cengkeraman
Indonesia. Bukan rahasia umum lagi, sekarang cita-cita itu sudah mereka lupakan
karena terlena dengan kekuasaan sesaat saja," ucap Ketua Organisasi Achenese
Australia Association.
Syekhy
mengingatkan, dalam ideologi perjuangan GAM diharamkan para petinggi, anggota
GAM, menghormat bendera Merah Putih, dan haram mencari kerja atau menjadi
pejabat sebagai perpanjangan tangan RI di Aceh.
Kemudian,
dalam perjuangan GAM diharamkan menyerah atau damai dengan RI, perjuangan GAM
harga mati 'Merdeka'.
"Namun
apa yang terjadi sekarang dengan para mantan petinggi GAM dan sebagian mantan
anggota TNA. Mereka telah keluar jauh dari ideologi yang menjadi dotkrin
bersama, kini mereka telah melanggar sumpah yang mereka ucapkan. Mereka hari
ini secara terang-terangan memburu jabatan pada RI dengan menghalalkan segala
cara. Teman dijadikan sebagai lawan, lawan dijadikan lebih dari keluarga,
mereka benar-benar lupa daratan dan mabuk kepayang," tandas Syekhy.
Menurutnya,
perdamaian hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari jabatan, perdamaian bukan
untuk memperjuangkan perjuangan para syuhada, anak yatim, para janda korban
perang, dan para mantan TNA. Rakyat disia-siakan dan dibiarkan hidup dibawah
garis kemiskinan, Aceh seakan-akan sudah menjadi milik mereka, mereka terus
memperkaya diri dan kelompoknya, tapi di lain pihak seakan-akan mereka bak
pahlawan GAM yang berjuang untuk me'Merdeka'kan Aceh.
Mereka
benar-benar sangat dzalim dan bersikap bagai para pecundang. Oleh sebab itu, Syekhy
mengajak semua rakyat Aceh tanpa terkecuali untuk menuntut tanggung jawab
kepada mereka atas ribuan korban TNA, ulama dan rakyat di masa perang dan
implementasi MoU Helsinki.
"Rakyat
Aceh hingga kini masih terlantar, masih sengsara, miskin dan terabaikan,"
imbuhnya.
Syekhy
mengharapkan, semoga kedepan rakyat Aceh terutama para mantan kombatan GAM di
lapangan tidak ragu-ragu dalam memahami
kondisi Aceh pasca terjadi perdamaian. Sehingga saat Pilkada 2017 mendatang
rakyat bisa memilih calon Gubernur, Bupati dan Walikota serta pasangannya yang
benar-benar mempunyai kapasitas, loyalitas, dan punya integritas yang tinggi
untuk selalu memperjuangkan nasib rakyatnya.[Red]