JAKARTA - Mengapa anggota Polri bisa kemasukan paham ISIS yang
notabene sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Polri dalam mengedepankan
patriotisme dan kewajiban membela negara?
Demikian
pertanyaan disampaikan Pemerhati Kontra Terorisme, Harist Abu Ulya menanggapi
respon Kapolri terkait Brigadir Syahputra yang diduga bergabung dengan ISIS dan
meninggal di Suriah belum lama ini.
“Seorang anggota Polri
seiring dengan perjalanan waktu, kemudian ia keluar resmi atau disersi karena
sebuah sebab itu wajar,” kata Harist dalam rilisnya kepada hidayatullah.com
belum lama ini.
Menurut
Harist ada kalanya seorang memilih mundur dari Korp Bayangkara karena soal
keyakinan atau nilai-nilai normatif lainnya yang diyakininya dan tidak semata
karena masalah ekonomi ataupun moralitas.
Sosok
Syahputra, lanjut Harist adalah contoh realitas pergulatan seorang manusia yang
mencari nilai yang lebih dianggap mampu memuaskan pikiran, menentramkan batin
dan kadang kala nilai baru yang ia temukan tidak kongkruen dengan
doktrin-doktrin yang diperolehnya selama pendidikan dan bertugas di Korp
Bayangkara.
“Dan hal ini bisa
terjadi kepada siapa saja dan dari korp manapun termasuk dari aparat sipil,”
cetus Harist yang juga Direktur CIIA.
Kasus
Syahputra menurut Harist tidak perlu dibesar-besarkan dan masyarakat harus
proporsional karena di luar kasus ISIS faktanya banyak aparat pemerintah yang
kelakuannya juga kontra dengan patriotisme dan doktrin nasionalisme.
“Bahkan para pejabat
politik di negeri ini sudah berperilaku opurtunis menjual Indonesia untuk
kepentingan asing. Sehingga dampaknya jauh lebih nyata dan lebih besar
dibandingkan pilihan pribadi seorang Syahputra,”
ungkap Harist.
Harist
menegaskan soal bagaimana seorang anggota kepolisian bisa “terkontaminasi”
dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap radikal, itu bukan hal yang mustahil
dan sangat mudah terjadi dengan dunia yang “datar”
seperti saat ini.
“Serta dengan
tingginya teknologi yang bisa menghubungkan kepada semua orang, di luar
interaksi langsung interpersonal dalam beragam momentum,”
pungkas Harist.[Hidayatullah]