JAKARTA - Tanpa disadari, peristiwa Tolikara menujukkan ada
proses awal dari sebuah kebiadaban besar bernama terorisme.
"Unsur-unsur
dari peristiwa terorisme sebenarnya telah terpenuhi pada kejadian di
Tolikara," kata peneliti terorisme dari Indonesia Crime Analyst Forum
(ICAF), Mustofa B Nahrawardaya, dalam keterangan beberapa saat lalu (Sabtu,
24/7).
Unsur
itu, jelas Mustofa, pertama ada ideologi yang mendorong pelaku untuk melakukan
kekerasan berupa perusakan, pembakaran, dan perbuatan menebar kebencian yang mana
beberapa perilaku ini dapat disebut sebagai tindakan-tindakan radikalisme.
Adanya surat intoleran dari GIDI, cukup sebagai bukti adanya satu ideologi yang
mendorong mereka untuk melakukan teror.
Kedua,
ada efek berantai akibat perbuatan teror para pelaku. Efek ini berupa ketakutan
massal. Efek ketakutan massal tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja,
tetapi juga dirasakan oleh Kristen selain yang mengikuti aliran atau organisasi
para pelaku.
"Seperti
diketahui, bahwa korban dari perbuatan pelaku teror Tolikara, tidak hanya pihak
Islam, namun juga pemeluk agama-agama lain, termasuk Kristen sendiri,"
ungkap Mustofa.
Ketiga,
lanjtunya, pelaku diketahui memiliki jaringan. Dengan adanya banyak cabang
organisasi para pelaku, bahkan adanya jaringan di luar negeri, maka
dimungkinkan jaringan ini telah dan akan berkontribusi untuk melakukan perilaku
teror bahkan bisa lakukan tindakan terorisme pada waktu dan tempat berbeda di
waktu mendatang.
"Jika
tidak dihentikan dari awal, maka GIDI berpotensi menjadi organisasi teroris
besar seperti Al Qaeda atau Jamaah Islamiyah," tegas Mustofa.
Keempat,
sambungnya lagi, terkait dengan pendanaan teror. Tidak mungkin para pelaku
teror lapangan bekerja tanpa pendanaan. Banyaknya massa, adanya minyak, adanya
pemantik api, adanya peralaan sound system, adanya gerakan massa merusak bahkan
keberanian melakukan teror di depan markas militer, sangat mungkin didorong
oleh adanya unsur pendanaan untuk melakukan teror.
Kelima,
ungkap Mustofa, adanya penghinaan kepada Negara. Perilaku kekerasan berupa
pembakaran tempat ibadah yang mana bangunan tersebut terletak di dekat Koramil,
membuktikan bahwa para pelaku dan sutradaranya terbukti secara brutal melakukan
penghinaan dan pelecehan pada simbol negara tanpa rasa takut.
"Sudah
intoleran, plus pamer kekerasan di depan hidung tentara," demikian
Mustofa.[rmol]